Bismillah. Lima bulan dalam proses yang luar biasa. Lima bulan menepikan diri dari aktivitas menulis blog karena kesibukan yang ada di dunia nyata. Akun instagramku saja yang masih terus update berisi konten fotografi dengan caption agak panjang, klik di sini untuk mengintip sebagian foto-foto hasil jepretanku.

Bagaimana dengan menulis ekspresif atau jurnal terkait healing?

Insyaa Allah nanti masih akan dibahas di sini, meski aku tak lagi menemui psikolog setelah beliau menyatakan kondisiku jauh membaik di pertemuan kami terakhir kali, lima bulan yang lalu pula. Aku sendiri merasa regulasi emosiku menjadi jauh lebih dapat kuatasi. Mood memang masih fluktuatif, tapi pelan-pelan aku menemukan ritme untuk menghadapi situasi tersebut dengan lebih tenang.

Refleksi, melakukan relaksasi, menyibukkan diri dengan rutinitas khas ibu rumah tangga, membersamai anak-anak, waktu luang untuk duduk khusyuk membaca buku. Dan sesekali, keluar bentar bersama suami beserta anak-anak, untuk trip tipis ke destinasi wisata terdekat. Ketika memutuskan untuk fokus pada keluarga, aku tahu ada hal lain yang untuk sementara harus kuletakkan sejenak.

Bukan untuk meninggalkan dunia ngeblog yang tak hanya menghasilkan, tetapi juga menjadi sarana healing bagiku. Akan tetapi, mengurus rumah dengan segala rutinitas hariannya.. membersamai anak-anak, waktuku sudah cukup terkuras. Untuk orang sepertiku, kelelahan, dan kurang tidur dapat dengan mudah menjadi trigger rusaknya mood.

Itu mengapa, aku dengan berbahagia melalui lima bulan ini. Dari bangun ke tidur, tidur ke bangun, segala kehidupan di dalamnya berusaha kunikmati. Ini ladang jariyahku sebagai istri, sebagai seorang ibu. Insyaa Allah.

Dengan memahami kondisiku, aku berdamai dengan diri sendiri. Aku tak lagi mengekang diri, memaksakan diri, bersikap terlalu keras ke diri sendiri, bahwa segala sesuatu harus berjalan sebaik apa yang kuinginkan. Nyatanya dua tangan ini memiliki batasan untuk mengerja lebih, ditambah adanya rasa lelah. Jadi ketika terasa letih, aku akan beristirahat. Ketika membutuhkan suasana pengganti sekedar selingan agar tak jenuh di rumah, kami keluar rumah.

Alhamdulillahilladzi bini'matihi tattimmush shalihat..

Aku berjuang, aku bertahan, dan beberapa waktu lalu.. aku sempat mengabari psikolog soal progressku sejauh ini. Beliau mengucapkan selamat, turut senang akan itu. Masyaa Allah..

Seperti yang kukatakan pada beliau lewat pesan WhatsApp, bertemunya kami, tergeraknya langkah untuk berkonsultasi dengan profesional.. tentu tak lepas dari bagian rencana baik Allah.

Jika tahun lalu aku tak datang ke psikolog, meski sempat down dengan diagnosa sementara yang ada di kertas rujukan, itu karena aku mungkin belum menemukan turning point di balik ini semua. Namun pelan-pelan aku belajar untuk tidak denial, aku belajar untuk memahami kondisiku lewat berbagai ruang pembelajaran yang menjadi lebih mudah kudapatkan pada saat itu.

Dari komunitasnya, orang-orang yang kebetulan mendedikasikan diri untuk merangkul para survivor, informasi, coach, ilmu baru, pemahaman baru, bahkan buku-buku yang bertambah.. juga terkait healing, self improvement, mental health awareness, dan masih banyak lagi.

Aku bersyukur, betapa baiknya Allah sebab terasa sekali ketika kemudahan demi kemudahan yang datang.. seolah Allah turut menyertai proses pulihku, prosesku menjemput pulih.

Ternyata memang, kita hanya butuh keberanian sedikit saja untuk memulai membuat perubahan.

Untuk menengok jauh ke dalam diri, dan membangun koneksi yang mungkin sempat terputus.

Mengapa kok harus membangun koneksi?

Kemarin tepatnya, lewat postingan teman Facebook yang kebetulan juga seorang terapis.. ia menjelaskan tentang bagaimana membangun koneksi ke dalam diri sendiri, termasuk membenahi koneksi kita terhadap Allah. Cukup Panjang, tapi alih-alih merasa disentil, tersindir, apalagi tersinggung. Apa yang beliau tulis, lagi-lagi mengena tepat sekali. Seperti sedang beroleh nasehat halus, sembari dirangkul oleh si pemberi nasehat, tanpa judgement sama sekali.

Karenanya setelah ashar-an, aku mematut diri.

Diam-diam kubisikkan lagi kalimat afirmasi, terima kasih, sekaligus apresiasi, terhadap 'aku' yang selama ini telah bertahan, dan hidup dengan hebat sesuai peran yang diberikan oleh-Nya.

Aku bahkan mulai bisa bersikap bodo amat terhadap hal-hal yang berseberangan, dan tak perlulah menuntut pemahaman atau pengertian orang lain jika memang mereka enggan memahami.

Keluar seperlunya, berinteraksi secukupnya, kendati circle intiku mengerucut kian kecil. Tetapi aku menemukan kelapangan, kebahagiaan, ada kepuasaan di sini. Jika sebelumnya aku terkesan menarik diri karena enggan menemui orang-orang, salah satunya karena serangan panik.

Kali ini, aku menjumpai diriku dengan nyaman berinteraksi pada siapa saja yang kutemui.

Menerapkan personal boundaries jauh lebih baik, lebih enteng, tanpa merasa lagi-lagi 'nggak enakan' karena takut orang lain mungkin tersinggung, merasa tak nyaman, atau tak disukai.

Akan tetapi setelah kupikir-pikir, ketika kita berusaha terus menjaga perasaan orang lain.. ada orang-orang yang tak jarang kebablasan memaknai sikap kita. Alih-alih bersikap sama menjaga, tetap menghargai batasan yang kita punya, pun tak melewati ruang personal yang kita miliki.. mereka justru melangkah lebih jauh, dan menerobos hal-hal yang tak semestinya mereka recoki.

Alhamdulillah, aku bisa, memutuskan pergi ketika merasa tak nyaman berada diantara orang-orang dengan pembicaraan yang menggiring. Memilih diam atau menyahut ketika ada yang memang perlu dipertegas. Memilih tetap menjadi diri sendiri, tanpa perlu sepertujuan siapapun. Tanpa perlu keberpihakan siapapun. Karena yang suka alhamdulillah, yang tak suka biarlah.

Selama tak merugikan siapapun, juga tak menyakiti diri sendiri, tak mengapa jika kita tak melulu harus memenuhi ekspektasi semua orang. Ada kala mereka yang harus mengerti, bahwa beginilah kita, suka atau tidak.

Karena terkadang, kita terlalu sibuk menjaga rasa orang lain.. sampai mengenyampingkan perasaan sendiri.

Kita terlalu menghargai value yang ada pada orang lain, sampai tak sadar bahwa ada orang-orang yang ternyata hanya sedang bertindak manipulatif terhadapmu.. dan diam-diam memanfaatkan kebaikanmu.

Kita juga terlalu sering memaklumi ketidaksesuaian yang ada terkait diri seseorang, sampai kita sendiri nyaris tak memiliki ruang untuk menjadi diri sendiri, untuk tampil menjadi sosok tanpa kedok hanya demi disenangi saja.

Jadi, apa yang kutemui lima bulan ini?

Banyak.

Sebuah proses.

Adanya progress.

Hikmah, ibrah.

Masyaa Allah, laa quwwata illa Billah.. semua tak lepas dari kebaikan, dan bantuan Allah.


Seperti biasa, nulis di blog jarang-jarang bisa nulis yang agak pendek dari ini. Insyaa Allah ke depannya, mulai aktif nulis lagi. Terima kasih sudah menunggu, dan mampir kembali untuk membaca ini.


You never need to apologize for how you choose to survive. :)


Baca juga :

Katarsis dengan Menulis, Manfaat Menulis Jurnal Harian

Bersyukurlah Jika Itu Bukan Kamu

How to Respect Myself : Cara Menghargai Diri Sendiri


______________________________

Magelang, 24 Maret 2022

copyright : www.bianglalahijrah.com

0 Komentar