Menjadi ibu rumah tangga seakan begitu dekat dengan perasaan insecurity. Perasaan tak berarti atau tak lebih dihargai. Belum lagi apa yang dilakukan seringnya tak beroleh apresiasi. Sekalipun aktivitas yang dilakoni seolah tak putus dari bangun tidur ke tidur lagi. Ritme yang sama dalam 24 jam dan terus saja berulang-ulang .. tak jarang menimbulkan perasaan jenuh.

Apapun yang dirasakan, seorang ibu rumah tangga harus selalu menjaga mood dan kewarasan dirinya agar tetap bisa paripurna dalam mengemban peran dan mengerja segala sesuatunya.

Tak sedikit penilaian minus yang dilayangkan pada ibu rumah tangga yang dianggap tak lebih banyak bekerja dibanding mereka yang jelas-jelas berseragam rapi, menghasilkan uang, dan pulang di penghujung hari.

Jika hendak dirunut pun.. justru pekerjaan ibu rumah tangga lah yang tak mengenal kata libur. Walau sakit, lelah, bagaimanapun perasaan yang menyesaki ruang dalam dirinya, seorang ibu tetap akan menunaikan tugas-tugasnya tanpa diperintah.

Sayangnya, masih saja ada mulut yang dengan tega menyayat hati seorang ibu dengan perkataan diskriminatif,

"Kamu yang cuma di rumah ngapain aja?"

"Alah, pekerjaan ibu rumah tangga nggak seberapa toh.."

"Kamu sih enak, cuma diam di rumah, bisa leyeh-leyeh.."

Padahal diam di rumah pun bukan berarti tak mengerja apa-apa. Bukan berarti hanya tidur-tiduran saja.

Dari merapikan rumah, membersihkan rumah, merapikan mainan anak yang berkali-kali disebar. Masih harus memasak, memastikan anak-anak kenyang, membersamai anak bermain kendati lelah. Belum termasuk cuci piring, mencuci baju, melipat pakaian bersih, menyetrika seragam kantor suami dan pakaian anggota rumah. Belanja keperluan dapur. PR seakan bertambah di masa pandemi, sebab masih harus merangkap sebagai guru kendati itu sudah biasa. Hanya saja, kali ini benar-benar full time menambah sederet daftar yang begitu banyak dan harus dikerjakan seharian sedang tangan hanyalah dua.

Rasa lelah ibu rumah tangga akan berbeda dengan mereka yang anak-anaknya sudah bisa mandiri dan mau meringankan pekerjaan ibunya. Apa lagi mereka yang memang dibantu asisten rumah tangga. Bagaimana dengan para ibu yang memiliki balita sekaligus bayi sedang hanya mengerjakan segalanya seorang diri? Tentu saja lain cerita. Menunggu suami pulang bekerja di sore harinya setelah mengerja segalanya sendirian, yang tersisa hanya rasa penat luar biasa. Belum lagi perasaan kantuk yang kadang-kadang sulit ditahan tetapi masih harus meladeni kebutuhan sang suami.

Sudah begitu, seorang ibu rumah tangga tetap dirongrong dengan kalimat "Seharian diam di rumah ngapain saja?"

Perkataan yang mengentengkan sekali ya, Bund. Mendengarnya saja jika kebetulan di waktu dan sikon yang tak pas, rasanya ingin menangis di waktu bersamaan. Seperti tak berharga lelah yang dilalui setiap hari. Apalagi jika ucapan itu datang dari orang-orang terdekat, seperti suami..

Mungkin saja para istri sekaligus ibu rumah tangga di luar sana pernah mengalami kejadian serupa atau bahkan jauh lebih tak mengenakkan dari contoh kasus di atas.

Tak ada yang lebih menyedihkan memang ketika peran kita dikecilkan, diremehkan, bahkan sama sekali tak dianggap layak oleh orang lain. Ketika kita sendiri sudah mati-matian berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarga, tetapi masih saja dipandang tak lebih banyak memberikan jasa hanya karena diam di rumah, membersamai anak-anak, dan tak menghasilkan pundi rupiah.

Seorang ibu rumah tangga hanya dipandang ibu rumah tangga biasa seberat apapun hari yang dilalui, sebanyak apapun pekerjaan yang dikerjakan.

Namun ketika seorang istri memutuskan untuk bekerja di luar rumah, ia mulai dianggap tak becus, egois, terlalu mandiri dan minim peran bagi keluarga.

Hanya diam di rumah, juga dianggap tak mengerja apa-apa dan cuma bisa menadahkan tangan pada suami yang mencari nafkah. Dianggap menghabiskan uang suami ketika belanja, walau yang dibeli adalah kebutuhan keluarga. Sederhana, karena stigma yang terarah padanya adalah ibu rumah tangga yang tak bekerja.

Padahal tak jarang, uang nafkah justru hanya cukup untuk belanja kebutuhan keluarga yang belum mencakup keperluan pribadi. Ibu rumah tangga boleh protes? Bisaa, tetapi seringnya akan dianggap "lagi-lagi" tak bersyukur atau kurang nrimo. Jadi kalau ada tudingan hanya menghabiskan uang suami, sepertinya harus diralat ya. Karena di lapangan tak sepenuhnya berjalan seperti apa yang sering ditudingkan.

Justru para istri juga mengalah dan mengerem keinginan.

Ibu rumah tangga melakoni banyak peran dalam waktu bersamaan dengan hanya dua tangan. Kalau dikata "itu kan memang kewajiban seorang istri".. Lantas, apa yang menjadikan beda ketika suami memberi lebih kepada istri yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga seketika langsung dituding cuma pandai menghabiskan gaji suami? Padahal, memberi nafkah pada istri juga kewajiban seorang suami.

Di sisi lain, perempuan yang berpendidikan dan memilih diam di rumah membersamai anak-anaknya.. menjalani peran sebagai istri sekaligus ibu, turut pula dipandang sebelah mata karena toh, apa bedanya perempuan yang berpendidikan tinggi dengan yang tak sekolah jika ujung-ujungnya juga berakhir di urusan dapur, kasur dan sumur. Itu menurut pikiran sempit mereka.

Padahal, entah akan lebih banyak di rumah atau memilih berkarier di luar rumah.. setiap perempuan berhak beroleh pendidikan lebih. Jika tak bisa mengajar atau bekerja di instansi/lembaga manapun karena memilih berdikari dari rumah, paling tidak perempuan yang berwawasan luas dan memiliki banyak ilmu pengetahuan, tentu akan lebih mudah dalam mengemban perannya. Justru akan lebih pandai mengatur segala sesuatunya dengan baik.

Minimal, ilmunya akan tetap bermanfaat dalam mendidik dan membesarkan buah hatinya sendiri. Serta menjalani peran sebaik mungkin.

Bagaimana dengan para ibu yang insecure sebab tak memiliki latar belakang akademisi yang mumpuni? Sudah begitu mereka terus menerus dipandang sebelah mata padahal berperan luar biasa bagi keluarga. Tak bisa dipungkiri, ada banyak orang besar, orang sukses, yang lahir dan dibesarkan dari sosok ibu yang tak pernah mencecap bangku sekolah lebih tinggi. Tetapi anak-anaknya tumbuh dewasa menjadi sosok yang berbudi luhur, dapat mengenyam pendidikan hingga ke bangku sekolah tinggi, tetap menjadi anak-anak yang penuh bakti pada orangtua yang dianggap bukan apa-apa.

Seringnya perasaan tak layak dan merasa rendah diri disempurnakan dengan penilaian dan ucapan dari orang-orang yang seharusnya memberi dukungan moriil dan pelukan hangat. Seperti dukungan yang diberikan seorang ibu pada ibu lainnya. Sebab sama-sama mengemban peran yang sama hebatnya walau dengan medan berbeda. Tahap kesulitan yang juga berbeda.

Paling tidak, takkan ada perlakuan mom shaming yang justru datang dari sesama ibu. Karena realitanya, justru para ibu-ibu sendiri lah yang tak kalah julid mengomentari peran orang lain yang seakan tak lebih baik dari dirinya. Kita sangat perlu belajar untuk menghargai ranah siapapun.. alih-alih menggurui, mengapa tak saling memberikan support dan belajar lebih banyak mendengar ketimbang hanya mencecar.

Aku yakin, para ibu yang sering kelelahan di penghujung hari tetapi tak beroleh waktu untuk berisitirahat barang sejenak, para ibu yang lelah batin maupun fisiknya.. jauh lebih butuh untuk didengar ketimbang mendapatkan berbagai bentuk masukan begini dan begitu yang sebenarnya tak diminta. Apalagi kalimat intimidasi seolah dirinya tak berusaha lebih baik dari yang seharusnya.

Bagaimanapun, seorang ibu itu hebat dan luar biasa lewat bidangnya masing-masing. Mereka belajar langsung dari kehidupan yang tersuguh di hadapannya. Mereka yang secara naluriah akan beradaptasi dengan berbagai kendala dan situasi baru bahkan ketika usai melahirkan. Ketika tubuh letih namun tetap berusaha bangun merangkul bayi yang butuh ditangani dan disusui, sekalipun dirinya tak dibekali segudang ilmu parenting.

Seorang ibu tetaplah seorang ibu. Entah dia berpendidikan tinggi atau tidak. Apakah dia berkarier atau hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Seorang ibu tak lantas tanggal predikat keibuannya hanya karena memilih berkarier, menempuh pendidikan lagi, atau melakukan minat pribadi di sela-sela waktu yang dimiliki.

Barangkali pekerjaan seorang ibu tak terlihat di depan mata banyak orang, sebagaimana doa dan perasaannya yang tak berwarna hingga harus begitu ketara di depan mata. Tetapi dirinya lah sosok tangguh di belakang suami dan anak-anaknya. Doanya adalah tameng bagi keluarganya. Perasaannya yang fluktuatif sering terabaikan oleh orang-orang sekelilingnya, namun masih bisa bersikap biasa saja.

Ibu rumah tangga adalah profesi yang menuntut dedikasi tanpa libur. Lelah, sakit, seolah tak lagi dirasa walau ujung-ujungnya tak sedikit ibu yang tenggelam dalam depresi karena tak beroleh empati dan waktu untuk merehatkan diri baik secara fisik maupun psikis.

Betapa tak ada yang lebih lelah dan menyiksa batin seorang ibu dari kelelahan psikis berkepanjangan.

Saat lelah.. sebenarnya ibu hanya butuh mengambil jeda dan didengarkan saja. Tetapi tak sedikit orang-orang yang hanya bisa melontar ucapan yang bersifat menghakimi, disuruh untuk perbanyak syukur dari pada mengeluh. Mereka menganggap para ibu yang kelelahan siang dan malam ini tak sedikitpun menyampirkan rasa syukur ketika mengerja kewajiban demi keluarga. Mereka berpikir seolah lelah psikis yang didera para ibu hanyalah imbas dari keimanan yang kurang. Mereka hanya bisa berspekulasi tetapi sebenarnya sedang menghakimi.

Menurut mereka nasehat demikian seharusnya bisa menyadarkan para ibu yang dianggap tak bersyukur tersebab futur. Sebenarnya mereka tak benar-benar memahami rasa lelah seorang ibu. Juga orang-orang sekeliling yang dibiarkan bersikap sinis, terus menerus memaksa ibu untuk berbuat lebih dan lebih.

Mereka hanya berkata bahwa seorang ibu seharusnya begini dan begitu. Seorang ibu tak layak melakukan ini dan itu setelah berkeluarga. Mereka selalu berspekulasi tentang bagaimana menjadi ibu yang ideal dan sempurna dalam banyak hal di mata semua orang.

Mengapa tak ada yang berkata bahwa yang terpenting adalah menjadi ibu yang berbahagia? Bahagia dengan perannya. Bahagia dengan segala lebih dan kurangnya. Memberi waktu untuk para ibu beroleh istirahat yang nyenyak barang sejenak. Bukan hanya mendesak mereka dengan perkataan yang mengecilkan peran dan pengorbanannya.

Para ibu yang bahkan rela menangguhkan impian pribadinya demi mengedepankan orang lain, yaitu suami dan anak-anaknya.. untuk alasan apalagi ketika mereka hanya ingin mengutarakan perasaan lantas dianggap berkurang keimanan dan rendahnya rasa syukur?

Menjadi ibu rumah tangga itu juga profesi yang melelahkan. Siapa bilang ibu rumah tangga tak lebih banyak bekerja ketika mereka sendiri sering hanya menghabiskan waktu untuk mengurus keluarga dan pekerjaan rumah ketimbang merawat dirinya sendiri? Atau sekedar beroleh me time untuk menikmati hobby pribadi..

Barangkali, kita perlu belajar untuk lebih bisa mengapresiasi setiap kebaikan sekecil apapun yang orang lain usahakan. Kita bisa berhenti sejenak untuk hanya menyorot kekurangan apa yang seseorang miliki untuk dikoreksi, dan mulai melihat sisi baik apa yang orang itu punya dalam diri dan kesehariannya.

Menjadi ibu rumah tangga itu tak mudah. Dengan segala perasaan insecure dalam dirinya.

Menjadi ibu yang bekerja juga tak mudah, dengan berbagai penilaian miring yang tertuju padanya.

Menjadi ibu yang berpendidikan atau tidak, kita tetap seorang ibu dari anak-anak yang dilahirkan.

Mengapa tak saling mendukung saja, dari pada memilih untuk mencari celah dan menjatuhkan hanya untuk terlihat lebih baik dari orang lain?

Tak ada yang benar-benar mudah. Bahkan ukuran baik juga sangat relatif dalam perspektif setiap orang. Jadi paling tidak kita bisa memulai dan membiasakan diri untuk saling memberi apresiasi, mengerem diri dari kebiasaan berkomentar seenak hati, dari pada sibuk menggunjing sana-sini lebih baik upgrade kapasitas diri.

Iya, aku ingin berkata ini pada diriku sendiri dan juga ke semua ibu..

Kamu perempuan. Kamu seorang istri. Kamu seorang ibu. Tetapi bukan berarti kamu tak boleh menjadi diri sendiri dan meraih impian yang lebih tinggi. Hempas cantik apa itu insecurity? Karenanya penting bagi kita untuk memahami kapasitas dan kelebihan diri, untuk diasah lebih baik dan bersinar dengannya. Kita mungkin tak bisa jadi sebaik apa yang orang lain raih dalam hidupnya. Paling tidak kita menjadi yang terbaik dari versi diri sendiri. Fokus saja pada jalan yang ada di depan. Fokus pada hal-hal baik yang ingin kamu bumikan agar suatu hari nanti, kebaikan itu bertumbuh dan berbuah untuk dinikmati banyak orang di sekelilingmu. Abaikan yang tak penting. Jangan pusingkan apa yang hanya menguras waktu dan energi dengan percuma, tetapi membuatmu terpuruk dalam waktu bersamaan.

Kita perlu berhenti mempermasalahkan pilihan-pilihan yang orang lain tentukan dan jalani dalam hidup mereka.

Menyadari bahwa setiap ibu adalah luar biasa dengan perannya masing-masing.

Tetap semangat ya! Peluk virtual dariku, emak pembelajar dari dua anak lelaki. Selama kita mau terus belajar, apapun keterbatasannya, apapun wadahnya, itu tak jadi masalah :)

Yang suka koar-koar ibu rumah tangga begini dan begitu, pulang ke rumah dan tanya seberapa lelah ibumu sepanjang melakoni profesi sebagai ibu rumah tangga? Hal sulit apa saja yang telah dilaluinya tetapi baginya menangis dalam diam seolah bukan hal baru ketimbang dihujani berbagai prasangka atas rasa lelahnya.

Hai dear, seorang ibu juga manusia biasa. Kita tak pernah bisa sungguh-sungguh sempurna. Tetapi dengan berbahagia, segala sesuatunya akan terasa lebih ringan.

Para suami, mertua, keluarga, support para ibu untuk berbahagia menikmati perannya tanpa tuntutan untuk meraih standar terbaik dari versi manusia. Anak-anak yang sedang bertumbuh dari didikan seorang ibu, mereka memerlukan ibu yang berbahagia bukan ibu yang sempurna tanpa cela.

Semoga bermanfaat 😊 Jangan lupa bahagia!

____________________________


Magelang, 29 Januari 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

0 Komentar