Berani Untuk Tak Disukai, Saat Harus Membela Diri Sendiri
Kemarin, acara peringatan dua tahun sepeninggal ibu mertua. Belasan tahun menyandang status sebagai menantu orang Jawa, si perempuan berdarah Bugis ini telah belajar tentang banyak hal. Ada fase-fase yang seiring waktu turut berubah. Dulu awal menikah, alih-alih memberanikan diri untuk sedikit membela diri jika beroleh perlakuan yang tak mengenakkan... aku lebih sering menahan diri, menangis di kamar, dan melabuhkan keluh itu pada suami.
Kendati tentu, selalu ada upaya untuk merekatkan hubungan yang tetap saja terasa asing hingga beliau tutup usia. Pun lagi, tak ada klarifikasi atas cerita buruk yang dulu pernah beliau sampaikan ke orang-orang yang hingga kini masih beranggapan salah tentangku. Orang-orang yang tak sungguh mengenalku dengan baik. Tak pula pernah menghabiskan waktu denganku, atau mengetahui cerita versiku yang sebenarnya. Yang mereka dengar hanya sepotong cerita tak utuh, yang bahkan tak sesuai realita sesungguhnya.
Itu mengapa, kebenaran kadang terasa tak cukup adil memihak jika tak mengetahui segala sesuatunya secara utuh. Kita butuh mendengar cerita dari tiap sisi yang bersangkutan. Sebab jika hanya di satu sisi, kebenaran itu terlalu subjektif untuk diyakini begitu saja. Sebab ego bisa saja mendominasi. Buruknya, lisan manusia bisa sebegitu jahat menebar fitnah hanya untuk beroleh dukungan dan membenarkan posisinya. Sebab ia butuh teman yang memvalidasi ketidaksukaannya. Ia butuh sekawanan orang untuk membenarkan bahwa sosok yang tak ia suka memang sedemikian buruknya.
Semakin ke sini, aku memahami.. setiap cerita yang sampai kepadaku, adalah latihan untuk berbijaksana dan tak buru-buru menghakimi. Sebab manusia selemah itu, mudah menghakimi dan acap pula keliru dalam menilai. Jika yang kita tahu baru sepotong cerita dalam bilangan menit duduk bersama, belum tentu merangkum kebenaran utuh yang tersembunyi di balik kepentingan masing-masing.
12 tahun lebih menikah dan menjadi menantu di keluarga ini, aku tak merasa harus menyembunyikan fakta bahwa perasaan asing itu masih ada. Seperti halnya kemarin, meski berusaha beramah tamah dan ikut tertawa bersama yang lainnya. Ada obrolan yang terasa tak nyaman sampai di telinga sebab disampaikan tidak pada tempatnya.
Tapi aku bisa apa? Bukan si pemilik remot yang bisa menekan pause agar seseorang berhenti meneruskan ucapannya. Tak juga bisa memencet next agar pembicaraan yang tak menyenangkan itu beralih pada topik lain yang jauh lebih berguna. Kurasa, setiap menantu akan membawa perasaan asing ini sekalipun telah menjadi bagian dari keluarga si suami selama berpuluh tahun lamanya.
Dan perasaan ini juga valid, mengingat pengalaman-pengalaman yang kudapatkan sejak menjadi bagian di keluarga ini tak melulu hal yang menyenangkan. Tak ada yang berhak menyalahkan perasaan demikian, sebab emosi yang ada pun juga manusiawi, bukan?
Entah berapa banyak praduga tak benar yang mengarah padaku tanpa pernah mereka tahu kebenaran aslinya, kemudian ketika aku mulai menjadi lebih berani untuk membela diri.. mereka melabeliku dengan persepsi baru. Si pemberani bersuara, yang senang berdebat, yang suka gubris.. atau label negatif lain yang mereka tautkan sekehendak hati sebab tak mengira sisi lainku akan hadir setelah bertahun-tahun di mode bertahan.
Bedanya, kini aku menyadari betul... diamku dulu tak mendatangkan kebaikan apapun. Kesehatan mentalku dipertaruhkan. Menjadi people pleaser nyatanya tak pernah benar-benar bisa memuaskan mereka yang sejak awal memang tak memberikan ruang bagi sisi baikku untuk tampak di hadapannya. Apalagi sekadar menerima bahwa aku yang mereka anggap keliru juga memiliki sisi lain yang tak mereka ketahui dan itu tidak seburuk persangkaan mereka.
Pada akhirnya, beberapa tahun sebelum ini... aku sampai di fase tak merasa perlu persetujuan atau rasa suka orang lain untuk merasa ada dan diterima. Dulu si people pleaser melakukan upaya-upaya yang tanpa sadar membunuh kesehatan mental dan kewarasan dirinya. Saat ini, aku memilih menyuarakan apa yang memang terasa tak benar. Meski di mata mereka dianggap frontal. Tapi apa bedanya dengan mereka yang juga bisa berbicara halus tapi menusuk?
Perlu diperjelas, bahwa ada bedanya; antara membela diri dengan membenarkan diri untuk membuat orang lain menjadi kerdil. Aku berada di mode membela diri, bukan hanya bertahan tanpa melakukan apa-apa.
Mungkin benar, pengalaman buruk yang menimpa kehidupan seseorang pada akhirnya menjadi awal dari kesadaran itu sendiri.
Awareness untuk menyadari bahwa eksistensi dan keberhargaan diriku bukan dari penilaian orang lain tentangku. Bukan pula bergantung dari sebaik apa penerimaan mereka, sebab jika terlalu banyak berharap, potensi kecewanya juga sama besarnya. Jadi yang terpenting adalah sejauh apa aku bisa bertumbuh lebih baik dari sebelumnya, terus berkembang dan upgrading diri, meraih impian-impian yang hendak dicapai, menjadi pribadi yang dikenal akan kebermanfaatan dirinya, hal-hal positif yang menjadikan hidup lebih hidup.
Tak ingin berkecil hati mengapa terkadang, perlakuan di sini tak seramah yang diharapkan. Ada ungkapan yang mengatakan seperti ini; kita tak gagal hanya karena berada di tempat yang salah. Tetapi di tempat yang tepat, setiap orang justru akan beroleh kesempatan sama untuk menjadi versi terbaik dirinya tanpa dibandingkan atau pun direndahkan.
Pernah dengar kalimat ini? Bahwa kita akan berharga di tempat yang benar-benar tepat. Ada perumpamaan yang agak sarkas tapi benar adanya. Jika kita menganggap kemampuan ikan dari bagaimana cara dia memanjat, bisa jadi si ikan akan percaya bahwa dia memang tak memiliki kemampuan apa-apa sebab selamanya ikan tak akan bisa memanjat. Bisa jadi si ikan tak menyadari bahwa kemampuan sejati yang ia miliki adalah berenang, bukan memanjat seperti halnya seekor monyet.
Kurang lebih sama, kita tak boleh mengukur keberhargaan diri dari bagaimana orang lain mempersepsikan siapa diri kita. Bagaimana jika mereka yang salah mengenali kita yang sebenarnya? Apa selamanya kita akan menganggap diri tak cukup baik, dan pelan-pelan mati karena itu semua?
Jadi diri sendiri juga berarti percaya dengan diri seutuhnya. Berani mengambil sikap dan menentukan batasan yang mau tak mau harus orang lain hargai dengan tidak melewati batasan tersebut.
Sekalipun, konsekuensi dari menjadi aku yang berani dan mampu membela diri; adalah menyaksikan orang-orang yang dulu mati-matian hendak kumenangkan hatinya walau lisan dan sikapnya membuatku tampak kerdil, saat ini mulai berbalik arah dengan menjauh satu persatu. Tanpa sempat memberiku ruang untuk dekat dan saling mengenal lebih baik. Setidaknya, tak ada praduga dan perasaan tidak suka.
Tapi tak masalah, begini ternyata memberiku lebih banyak kesempatan untuk bertumbuh dalam diam. Dan jauh leluasa mengerja apa yang memang semestinya menjadi prioritas utama. Tak lagi berfokus pada yang ada di luar lingkar kendaliku.
Berani untuk tidak disukai.
Bukankah semakin asli diri kita.. maka akan sedikit pula orang-orang yang siap menerima kita seapa adanya? Ada banyak orang yang bisa menerima tiap kelebihan dirimu, tapi tak benar-benar siap menoleransi sisi gelapmu sebagai manusia. Padahal, sisi gelap dan kurang itu juga ada di dalam diri mereka.
Maka, yang bisa kita lakukan adalah menjadi diri sendiri dengan jujur. Meski tak benar-benar disukai, sebab barangkali itu cerminan bagaimana mereka memandang sosok di dalam dirinya sendiri?
Aku bersyukur ada di titik ketika lisanku bisa dipermudah untuk menjawab apa-apa yang perlu diperjelas. Bukan seperti dulu, yang orang lain kata bahwa diam adalah emas, tetapi saat ini diam justru tak selalu menjadi pintu kebaikan itu. Diam tak selalu emas, jika diam hanya akan membuatmu semakin ditindas.
Satu hal yang kupelajari untuk seni bertahan hidup di lingkup asing yang kumasuki setelah menikah; beranilah, bela dirimu sendiri, karena tak ada yang bisa melakukannya sebaik dirimu. Tak ada yang lebih jujur dalam mengenali, mengapresiasi, dan menyuarakan kebenaran yang kau miliki selain dirimu sendiri.
Semakin dewasa, usia di kepala tiga ini.. cukuplah untuk fokus pada hal-hal yang bertujuan dalam pengembangan dan kebermanfaatan diri. Jika tidak begitu, manusiawi jika batin akan mudah penuh oleh hal-hal yang tak perlu.
Ingat perkataan Ali bin Abi Thalib? Biarkan perkataan atau hal-hal yang dapat melukaimu berlalu begitu saja, sebab hati manusia tak akan sanggup menampung itu semua. Kita tak punya kendali atas sikap dan perkataan seseorang. Tapi kendali kita terletak pada bagaimana kita menyikapi dan tutup telinga di kanan kiri.
Jika kebetulan rasa sakit atas perlakuan yang diperoleh sepanjang menjadi menantu muncul kembali ke permukaan, aku menarik ingatan-ingatan baru yang lebih positif. Bagaimanapun, aku tak bisa menjadi seperti apa yang mereka inginkan sepenuhnya. Sebagaimana mereka yang tak cukup ideal sebagai ganti keluargaku yang jauh di sana. Orang yang sama-sama tak sempurna, seharusnya siapapun menyadari hal ini.
Realita lainnya, aku memang tak lahir di tanah Jawa. Tak tumbuh, tak dibesarkan, tak dididik dengan cara-cara mereka. Jadi wajar jika aku tak bisa memenuhi beberapa ekspektasi. Ada hal-hal yang bertolak belakang dengan cara & keyakinanku, dan itu kuterima tanpa perlu dipermasalahkan. Aku telah banyak beradaptasi dan berimprovisasi untuk bisa menjalankan seni bertahan hidup di sini.
Meski orang-orang yang salah paham mengenaliku dikarenakan ketidaktahuan mereka.. semoga Allah memberiku hati yang lebih luas dari apa yang kumiliki saat ini. Dengan begitu, ketika mereka bersikap sama dan tanpa sadar membuka ulang luka yang telah berusaha untuk kusembuhkan... aku bisa kembali menata hati, memberikan maaf dan pemakluman.
Dulu, aku berpikir betapa tak adilnya diperlakukan demikian. Sampai-sampai tak sadar menjadi people pleaser hanya demi diterima. Kemudian ada satu moment di mana semua akumulasi dari pertahanan diri dan emosi yang tadinya ditahan, lalu meledak luar biasa. Moment di mana semua emosi itu meluap hebat. Rasanya melelahkan sekali, selalu disalahkan atas kesalahan yang bahkan bukan diri sendiri penyebabnya. Kesalahan yang dikarang seseorang, yang tak bisa bertanggung jawab atas rasa rendah dirinya.
Sekaligus keadaan yang ternyata membuktikan; ketika engkau mengalah, kau masih dianggap salah. Ketika kau jujur dan terbuka menampakkan emosi yang dipunya, kau lah yang dianggap bermasalah. Manusia bisa sekejam itu memang.
Setidaknya, aku bersyukur sebab ledakan itu menjadi titik balik untuk mengenali diri sendiri.
Bahwa emosi yang kumiliki juga valid. Aku tak butuh penerimaan siapapun untuk keberhargaan diri sendiri.
Aku dengan sisi terang atau pun sisi gelap yang ada, tak perlu mati-matian untuk menjadi sepenuhnya ideal untuk bisa diterima. Toh, tak ada manusia yang sempurna. Tak pula bisa memuaskan hati siapa saja. Bahkan, bisa jadi pula.. ketika engkau membaca ini, barangkali ada sedikit ketidaksetujuan terkait apa yang kutulis. See? Persepsi manusia kadang terlalu subjektif. Karena pengalaman, pendidikan, dan kesadaran yang kita miliki juga tak sama tingkatannya.
Hari kemarin, ketika ada kerabat jauh yang berusaha memasuki ranah pribadiku dengan berkomentar yang tidak pada tempatnya... aku mengapresiasi diri sebab berani bersuara dan tak menjadi bahan omong kosongnya.
Juga untuk Mbok'e, barangkali sulit menerima posisi menantu ketika beliau sendiri belum pernah menyalurkan kasih sayang pada buah hati yang terlahir langsung dari rahimnya. Meski tak pula ada kata maaf yang keluar dari lisannya hingga akhir tutup usia. Tapi tak mengapa, Mbok'e sudah tenang di sana. Apa-apa yang tidak terlihat di mata manusia, Allah Maha Mengetahui segalanya.
Semoga sabarku dalam menerima dan menghadapi sikap beliau semasa hidup.. akan Allah ganti dengan ganjaran yang lebih baik. Menjadi sebentuk pembelajaran, agar kelak lebih bisa memanusiakan anak perempuan orang lain yang datang ke kehidupan tiga anak lelakiku.
Pasti ada hikmah. Mengapa di sini. Mengapa dipertemukan dengan orang-orang ini. Begitu pula dengan sepaket pengalaman hidup yang melengkapi jejak perjalananku sejak dulu hingga sekarang.
Ternyata, menjadi dewasa... juga tentang memaklumi dan belajar memahami, bahwa orang-orang yang melukai kita, bisa jadi adalah orang-orang yang juga memiliki luka tapi belum berhasil sembuh. Alih-alih bisa sembuh, justru merekalah orang-orang yang butuh bantuan untuk menyadari bahwa ada luka dalam dirinya yang butuh dirawat untuk pulih seutuhnya.
Tak dipungkiri jika hanya orang-orang yang terluka lah, yang berpotensi memberikan luka. Orang-orang yang tak sadar bahwa kesakitan yang ia pantulkan keluar, adalah manifestasi dari luka yang belum mampu ia sembuhkan.
Jadi stop merasa paling kuat, paling hebat, dan merasa berhak menghakimi kehidupan orang lain.
Rasa sakit kita adalah cermin, hentikan pada diri dengan cara memulihkannya. Orang lain tak perlu didera rasa yang sama sakitnya atas apa yang kita lakukan.
Kita tak perlu menjadi juri atau wasit di kehidupan siapapun.
Isi piringnya bukan kita yang mengisi.
Baju kotornya bukan kita yang mencuci.
Kebutuhan hidupnya bukan kita pula yang memenuhi.
Menjadi manusia yang mampu memanusiakan, semata-mata karena karma baik itu terbayar instan. Tak ada kebaikan yang berlaku cuma-cuma di sisi-Nya.
Yukk, jadi manusia yang lebih.... (jawab sendiri)
______________________Selamat malam, semoga tulisan ini bermanfaat :)
Magelang, 20 November 2024
Copyright: www.bianglalahijrah.com
0 Komentar
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)