Lahir dan tumbuh di keluarga yang disfungsional, terlebih setelah orangtua bercerai, ternyata memberikan impact yang besar. Meski selama ini aku berusaha keras untuk melupakan sebagian besar pengalaman yang membekaskan trauma itu, ternyata tak pernah sedemikian mudah. Aku tumbuh dewasa dengan membawa lukanya. Itu juga yang menjadi akar dari trauma inner-childku selama ini.

Bahkan ketika aku berusaha menjadi manusia dewasa yang menjalani kehidupan normal, tetapi sebenarnya, ada yang belum tuntas dalam diriku.

Itu mengapa, aku mempertanyakan banyak hal yang terasa tak lazim selama ini. 

Seperti, mengapa perasaan yang terus menerus merasa tertolak, merasa tak diterima, merasa diabaikan, perasaan-perasaan negatif lainnya selalu muncul sampai sekarang? Kendati mungkin, aku berada di lingkungan yang sebenarnya menerimaku. Pun ketika merasa dicintai, aku masih terus mencurigai orang-orang akan diam-diam melukai.

Ada yang tak benar dengan perasaan itu, kan? Itu yang sedang berusaha aku pahami hari ini. Mempertanyakan apa penyebabnya? Mengapa harus begitu? Bagaimana membuatku agar tak lagi ada di situasi tersebut?

Sampai kemarin aku masih bertanya-tanya. Akan tetapi, tadi malam jawaban itu sudah kutemukan dari mengikuti live Instagram yang menghadirkan dr. Jiemi Adrian, Sp. Kj sebagai narasumbernya. Kebetulan tema yang diangkat sesuai dengan struggle-ku selama ini. Entah mengapa aku merasa bahwa issue itu pula yang ada dalam diriku. Who am I? Jika orangtuaku saja tak menerimaku apa adanya, bagaimana dengan orang lain? Pertanyaan yang seakan dilempar pada diri tiap orang yang melalui pengalaman serupa, sekaligus menjadi topik dalam dialognya.

Sembari menyimak penjelasan dokter Jiemi, sesekali aku menimpali, seakan tengah berbicara pada diri sendiri. Bahwa apa yang disampaikan oleh dokter Jiemi memang demikianlah adanya. Itu yang kurasakan selama ini.

Q : Mengapa ya, anak dari keluarga yang broken home seringkali memiliki pandangan yang negatif terhadap dirinya sendiri? Merasa tak punya tempat. Merasa tak diterima oleh siapapun. Itu semacam keyakinan/belief dalam dirinya. Bahwasanya, broken home is broken you. Apakah pengalaman di keluarga juga berdampak besar?

dr. Jiemi : Jadi ketika kita tumbuh, lingkungan terdekat adalah tempat pertama bagi kita untuk belajar. Keluarga adalah tempat di mana kita akan belajar bagaimana menjadi keseluruhan manusia, termasuk di dalamnya bagaimana merespon emosi, bagaimana merasa aman, bagaimana merasa bersama-sama. Itu semua sebenarnya dipelajari. Yang pada beberapa kasus di dalam rumah, pembelajaran tersebut tidak terlalu baik. Misalnya ketika orangtua tidak saling menerima satu sama lain, jadi kita belajar tentang perasaan tidak diterima. Marah-marah, kita juga belajar tentang perasaan tak aman. Karena seringnya ketika kita menangis, kita akan dimarahi orangtua. Sejak itu kita sebenarnya sudah belajar untuk merasa tidak aman, merasa tidak diterima, itu menjadi pembelajaran yang tanpa sadar dilatihkan pada kita.

Jadi menurut dokter Jiemi ada impact dari semua pengalaman itu. Termasuk diantaranya perasaan tidak diterima, karena sejak kecil ada pengalaman buruk yang diperoleh dari keluarga. Pengaruh keluarga begitu berdampak besar, sangat signifikan, sekalipun tanpa kita sadari.

Padahal, apa yang kita pelajari sejak kecil, itu pula yang akan terbawa, dan kita rasakan sampai dewasa. Sekalipun mungkin kita sebenarnya menjalani kehidupan yang jauh lebih baik, berada di lingkungan yang menerima kita, tetapi ada keyakinan negatif yang seperti menghalangi kita untuk merasa baik-baik saja.

Speechless. Ini yang aku rasakan selama ini. Perasaan tak berharga, tak diterima, merasa tertolak, dan pandangan terhadap diri sendiri yang begitu rendah. Oh ternyata, dari menyimak penjelasan dokter Jiemi, aku mulai semakin memahami. Inilah yang disebut sebab-akibat. Respon kita hari ini tak serta merta terbentuk begitu saja, muncul tanpa ada sebabnya, melainkan impact dari apa yang pernah kita peroleh di fase bertumbuh. Akumulasi dari semua pengalaman kita di masa kecil. Bahkan sejak di dalam rahim sekalipun. Itu mengapa, ada penelitian yang mengatakan ibu hamil dilarang stress. Karena ternyata, janin juga bisa merasakan itu.

Ada benang merah nih dari apa yang baru kupelajari, juga dari apa yang dokter Jiemi sampaikan.

Sembari mendengar perbincangan antara host behome dan dokter Jiemi, aku sempat menulis beberapa pointer yang kurasa penting. Berharap dengan menuliskannya di sini, maka bisa menjadi semacam alarm warning bagi diri sendiri, agar secara perlahan bisa terus berproses pulih. Karena bertumbuh dewasa sembari membawa emosi-emosi negatif yang tertimbun sejak kecil, itu memberi dampak yang juga tak baik pada mental seseorang. Aku sendiri buktinya.



Lantas, apa solusi yang bisa diterapkan? Menurut dokter Jiemi, tidak semua yang kita percaya benar adalah benar. Karena itu kita butuh kemampuan untuk mengevaluasi segala sesuatu secara objektif. Sebab sebagai manusia, kita memiliki kecenderungan untuk bias atensi/confirmation bias. Kita mencari-cari bukti untuk menguatkan keyakinan itu. Sekalipun di waktu bersamaan, kita sebenarnya tahu kalau ada fakta sebaliknya.

Semisal, ketika kita percaya bahwa kita memang tidak dicintai, maka kita akan mengumpulkan bukti-bukti yang kuat terhadap orang-orang yang tidak mencintai kita. Padahal, di waktu bersamaan ada orang-orang yang sebenarnya berdiri di samping kita, dan menerima kita apa adanya. Tetapi kita bias dalam menilai itu semua. Kita hanya akan melihat apa yang memang kita percayai sebagai kebenarannya.

Sekali kita bertumbuh di keluarga yang di dalamnya kita pernah merasa tertolak, tak dihargai, tak diapresiasi, seterusnya perasaan itu akan ada. Bahkan ketika kita bertumbuh dewasa. Ada skema dasar yang telah terbentuk di dalam diri kita. Bagaimana kita menilai diri sendiri, melihat orang lain, memaknai kehidupan yang dijalani di masa kini, maupun perspektif yang dimiliki terkait masa depan.

Jika pemikiran yang irasional ini tidak kita sadari, bahkan kita sama sekali tidak mengakui, itu yang memberikan dampak dalam diri seseorang di kemudian hari. Tanpa sadar ternyata juga mempengaruhi kehidupan dewasa kita di hari ini. Baik itu bagaimana kita berinteraksi. Bagaimana kita memandang value diri di tengah-tengah orang lain, bagaimana kita menyikapi orang lain, dan tanpa sadar kita mungkin akan terus merasa tak aman di lingkup manapun kita berada.

Aku merasa penjelasan dokter Jiemi sangat relate dengan situasi yang selama ini aku alami.

Bahkan ketika sebenarnya masalah yang hadir dengan orang lain terbilang sepele, aku mudah sekali terjatuh ke fase mental breakdown. Merasa dunia lagi-lagi tak bersahabat. Merasa kembali tertolak, dan tak diinginkan kehadirannya.

Aku ingin mem-bold perkataan dokter Jiemi, "Terkadang, apa yang kita percaya, adakalanya hal tersebut belum tentu benar.."

Termasuk ketika perceraian orangtua di kala itu, menjadi semacam kejadian paling tragis, membekaskan trauma, dan merasa kehidupan personalku juga turut hancur pada saat itu juga. Padahal, seperti perkataan dokter Jiemi, seharusnya broken home is not broken you. Itu benar. 

Keluarga mungkin adalah tempat di mana kita pernah bertumbuh dan belajar di dalamnya sedari lahir. Tetapi ketika pada akhirnya ada orang-orang yang memilih beranjak pergi darinya, itu bukan berarti kita juga gagal menjadi manusia secara individu. Kalau kata hostnya Geraldine Shoko, itu karena diri kita dan keluarga adalah dua hal yang terpisah. Kita secara individu tetap adalah manusia utuh dan berharga, sebagaimana manusia lainnya yang berasal dari keluarga baik-baik saja.

Sampai di sini aku lagi-lagi menemukan pencerahan, setelah 27 tahun hidup, dan baru ini aku bisa memahami dengan jelas bahwa apa yang kurasakan itu memiliki alasan. Ada penjelasan yang membuatku merasa lega, tak denial, justru membuka mata. Jika sudah terlalu sakit, tak ada gunanya menyangkal rasa sakitnya, yang harus kita lakukan adalah menerimanya. Dengan menerima bahwa aku terlanjur memiliki keyakinan inti negatif ini, maka aku harus terlebih dulu menyadarinya, agar bisa pelan-pelan mengubahnya ke hal yang lebih baik lagi.

Sebenarnya ada banyak yang disampaikan dokter Jiemi tadi malam. Termasuk, bagaimana seharusnya kita menyikapi perceraian kedua orangtua. Bagaimana berdamai dengan diri sendiri pada akhirnya. Sampai pada, bagaimana meminimalisir ketakutan akan memulai suatu hubungan karena melihat kegagalan orangtua sendiri.

Mungkin selama ini, aku juga memiliki ketakutan tersebut. Ada perasaan takut ditinggalkan, tetapi juga tak siap pergi. Aku struggle dengan situasi yang sama. Terjebak di lingkaran setan itu. Walau sebenarnya, kemarahanku pada banyak hal adalah pantulan dari emosi-emosi negatif yang selama ini membebani. Aku sebenarnya sedang marah pada diri sendiri. Pada ketidakmampuan diri. Pada hal-hal yang terjadi di luar kendali. Dan ketika marah ke pasangan pun, aku sebenarnya sedang mengkritik diri sendiri. Hanya respon yang keluar jauh dari kendaliku.

Benar sih apa yang dikatakan oleh dokter Jiemi, tentang bagaimana mengatasi rasa takut untuk memulai suatu hubungan yang jauh lebih sehat, dalam perumpamaan lampu lalu lintas. Tetapi itu tidak akan kubahas lebih jauh di sini. Melainkan kembali ke topik pertama, mengapa anak broken home memiliki keyakinan negatif dalam dirinya? Karena lagi, pembahasan ini sesuai dengan buku yang baru saja kubaca terkait Negative Core Beliefs. Yaitu semacam program yang terbentuk dari suara/perkataan yang terus menerus terulang di dalam kepala kita dan pada akhirnya menjadi sesuatu hal yang kita yakini, bisa dipelajari di sini di website dr. Patrick Keelan. Beliau seorang terapis di negara asalnya.

Terkadang kita membuat program dari kejadian-kejadian tidak menyenangkan, apalagi yang membekaskan rasa trauma tersendiri atas insiden yang terjadi di masa lalu. Dalam kasusku, pengalaman tumbuh di tengah keluarga yang disfungsional, perceraian orangtua, perasaan tak diterima oleh banyak pihak, tanpa sadar membentuk program beserta keyakinan dalam diriku bahwa sebaik apapun aku berusaha, toh pada akhirnya tidak akan benar-benar diterima. Tidak akan ada yang mengapresiasi. Itu yang aku rasakan hingga saat ini. 

Ketika berada di suatu lingkup, tak jarang aku merasa lagi-lagi tertolak. Merasa tak nyaman, tak aman, tak berharga, dsb. Sama persis dengan pertanyaan yang kusodorkan pada psikolog di pertemuan lalu, aku menulisnya di sini "Belajar Nothing to Lose, Dari Dua Sesi Konseling" terkait perasaan negatif yang kerap sekali hadir tatkala berada di sebuah circle.

Perasaan itu tentu tak muncul dalam waktu singkat dan tanpa sebab, melainkan terus menerus terulang sejak lama ketika berada di tengah keluarga, dan menjadi NCB yang tanpa sadar sudah terbentuk sedari dulu. 

Jika diputar ke belakang, tak hanya tumbuh di lingkup keluarga yang disfungsional. Ada banyak konflik yang terjadi di dalam keluarga, lingkungan yang membuatku merasa rendah diri, bullying yang diperoleh baik itu di sekitar tempat tinggal, maupun lingkup sekolah. Ada banyak pengalaman buruk yang masih membekas hingga kini. Itu sebabnya aku tumbuh dengan perasaan tak aman. 

Dulu di tengah keluarga, salah sedikit langsung dipukul, dihardik dengan kalimat yang seharusnya tak dilontarkan pada seorang anak. Verbal abuse adalah makanan sehari-hari bagiku, tak hanya berasal dari orangtua, melainkan pula anggota keluarga lainnya.

Dari apa yang kupelajari, pengalaman-pengalaman itulah yang membuat kesimpulan pada program di dalam kepalaku. Bahwa memang "aku tak diterima, aku tak aman, aku tertolak, aku tak dicintai, aku juga tak berharga", dan perkataan itu terus menerus terulang. Menjadi mekanisme yang bekerja di alam bawah sadar.

Negative Core Belief menjadikan kita bias konfirmasi atas hal-hal yang kemudian akan kita yakini sebagai kebenaran mutlak. Hingga mempengaruhi respon alami, perasaan, juga bagaimana kita menyikapi suatu masalah. Akan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial kita nantinya. Contohnya, aku menjadi tak mudah percaya pada orang lain. Bahkan terhadap pasangan sendiri, seringkali muncul rasa curiga. Psikiater yang kutemui juga berkata seperti ini ke suamiku, bahwa aku tak mudah mempercayai seseorang.

Di beberapa interaksi, aku juga akan menarik diri ketika merasa tak aman atau berseberangan dengan orang-orang yang bersinggungan denganku.

Ini yang sebenarnya ada di dalam diri dan harus dituntaskan. Karena jika tidak diatasi, NCB (negative core belief) akan memperkuat dirinya dengan terus menerus memberi lingkaran umpan balik yang tak terputus. Keyakinan "aku yang tak diterima, aku yang tertolak, dan aku yang tak berharga" yang muncul karena trauma di masa lalu, membuatku kerap sekali merasa tertolak dan merasa berada di tempat yang salah.

Detik ini, aku satu langkah lebih baik untuk mengenal diri sendiri. Mungkin ini juga turning point yang penting dalam proses healing.

Betapa berdamai dengan diri sendiri benar-benar harus melewati serangkaian yang tak mudah sekaligus tak nyaman. Bahkan untuk menemukan NCB yang bergaung di dalam kepalaku pun, aku harus melihat lebih dalam bagaimana proses cara berpikirku selama ini. Apa yang aku rasakan, bagaimana respon emosiku pada waktu itu, banyak hal.

Bisa tidak Negative Core Belief ini dibenahi? Dari yang kupelajari, kita bisa memulai itu dengan menemukan tema isi pikiran kita selama ini. Jadi ketika menghadapi suatu peristiwa bahkan dalam kehidupan sehari-hari, pikiran apa yang sering muncul pada saat itu? Mungkin kita sering merasa tertolak, bahkan sekalipun telah berusaha mati-matian untuk menjadi seperti halnya ekspektasi orang lain.. akan tetapi ketika kita mendapati respon orang lain di luar dari apa yang diharapkan, kita lagi-lagi akan terluka dan merasa tak berharga. Kita menyalahkan diri sendiri, merasa bahwa kitalah penyebabnya.

Pada saat itu, program NCB akan kembali muncul di pikiran kita, mempengaruhi bagaimana kita memberi respon. Jika temanya adalah "aku tak pernah diterima" maka yang muncul adalah perasaan lagi-lagi tertolak, bahwa apapun yang kita lakukan orang lain tak pernah benar-benar bisa menerima.

Cara termudahnya, kita bisa mulai menulis jurnal harian. Supaya lebih mudah menemukan kemiripan tema dari catatan yang telah ditulis. Jurnal harian ini bertujuan agar kita bisa lebih mudah dalam menyimpulkan tema dari pikiran, menemukan benang merahnya, lalu membenahi keyakinan beserta pemikiran yang tadinya berupa Negative Core Belief menjadi positif, atau sebaliknya dari apa yang kita yakini sebelumnya.

Kedua, kita bisa mencoba untuk memahami dari mana sih asal keyakinan itu. Kapan pertama kali kita memikirkan diri sendiri, kehidupan yang dijalani, maupun orang lain dengan cara tertentu? Pengalaman apa yang pernah membentuk Negative Core Beliefs di dalam diri kita? Kita sendiri yang tahu persis akan itu. Memang dalam prosesnya akan sedikit tidak nyaman, karena barangkali di proses itu kita akan membuka beberapa ingatan lama yang barangkali kita sempat tak lagi mengingatnya.

Langkah ketiga, ini proses yang saat ini juga tengah kutempuh bahkan sebelum menemukan pemahaman tentang apa itu NBC. Aku memutuskan untuk menemui profesional dan menjalani serangkaian terapi, diantaranya adalah CBT atau terapi perilaku kognitif. Dibantu psikolog untuk mengidentifikasi masalah yang selama ini ada, membangun kesadaran akan pikiran maupun perilaku negatif. Mengenali dan membedakan antara fakta dan pikiran irasional, agar aku bisa mereframe itu semua dengan cara yang jauh lebih positif.

Sejauh ini, ada beberapa hal yang merubah sudut pandangku setelah menemui psikolog klinis dan mulai melakukan konseling. Belum semua memang, tetapi aku optimis untuk pelan-pelan berprogress ke titik yang jauh lebih baik dari sebelum mendatangi psikolog.  

Kembali ke perkataan dokter Jiemi, bahwa apa yang kita percaya sejatinya memang belum tentu sepenuhnya benar. Karena ada kecenderungan dalam bias konfirmasi. 

Pengalaman, pemikiran, perasaan, semua yang kita alami sejak kecil, tanpa sadar membentuk sebagian dari diri kita di hari ini. Bagaimana respon emosi kita, seperti apa pandangan kita terhadap dunia dan seisinya, bagaimana kita menyikapi perbedaan dengan manusia lainnya, sampai pada pilihan yang kita ambil.

Kebenarannya, semakin kita belajar semakin kita akan mengenali sejauh apa kekurangan yang terdapat di dalam diri sendiri. Kita mulai mendalami bab-bab kehidupan yang tadinya masih absurd, secara perlahan membuka kesadaran kita pada realitas lain (yang sebenarnya) di dalam hidup. 

Aku menyadari bahwa satu tema yang paling sering muncul di diriku adalah keyakinan bahwa orang lain tidak dapat dipercaya, itu mengapa aku mengalami semacam paranoid atau sering tanpa sadar terlalu curiga pada orang lain. 

Kadang-kadang, keyakinan memang jauh lebih menakutkan ketika kita menjadi begitu rentan terluka sendiri, karena sudut pandang yang kita miliki dalam memahami dan memaknai sesuatu hal di depan mata.

Di titik ini, lagi dan lagi, aku seperti menemukan "epiphany". Beroleh pencerahan, semakin ingin tahu, semakin haus untuk belajar. Semakin aku menyadari point-point yang sudah seharusnya kubenahi untuk berproses lebih baik, dengan healing sepenuhnya bisa pulih.


Bismillah...

"Aku tak berharga" adalah "Aku yang sama berharganya"

"Aku yang ditolak" adalah "Aku yang juga layak.."

"Aku tak kompeten" adalah "Aku yang memiliki kelebihan tersendiri, aku mau berusaha, dan aku juga istimewa"

"Aku rendah diri" adalah "Aku yang percaya pada kemampuan diri sendiri, bersyukur untuk tetap berproses dalam apapun situasi"

"Aku bodoh" adalah "Aku yang semakin bersemangat dalam belajar, lebih banyak, lebih baik, agar semakin banyak pula wawasan yang bertambah seiring waktu"

"Aku tak percaya diri" adalah "Aku bahagia dengan apapun kondisiku. Kepribadian seseorang tidak diukur dari warna kulitnya, melainkan isi dalam kepala, beserta attitude yang ia punya"

"Aku tak dicintai" adalah "Aku yang dikelilingi anak-anak sehat, lucu, dan menjadikanku sebagai poros dalam kehidupan mereka. Anak-anak adalah unconditional love bagiku. Merekalah yang mencintaiku dengan apa adanya, tak peduli seberapa garang wajahku ketika marah. Tak peduli betapa kurang sabarnya diriku. Tak peduli apakah aku cantik atau jelek, kurus atau gendut, putih atau hitam, mereka tetap mendatangiku setiap saat. Aku adalah seorang ibu yang dicintai anak-anaknya."

"Aku istri yang tak becus" adalah "Aku yang berusaha dalam keterbatasan untuk tetap menunaikan tugas sebagai istri. Aku tak bisa mencapai puncak kesempurnaan, sebab selalu ada keterbatasan dalam apapun peran yang dijalankan, bukan? Paling tidak, aku berdamai dengan keterbatasan itu. Aku berdamai dengan diri sendiri. Aku berdamai dengan kekurangan pasangan yang juga sama tak sempurna."

"Aku anak yang tak diinginkan, menantu yang tak diharapkan" adalah "Aku adalah aku. Tak peduli dari orangtua mana aku terlahir, entah siapa yang kemudian Allah tetapkan sebagai orangtua bagi suamiku, aku adalah diriku yang tetap berusaha menunaikan bakti sebagai anak, pun menantu. Mereka hanya perlu waktu, untuk melihat nilai lebihku. Aku adalah aku, versi terhebat, versi terbaik, tak ada yang sepertiku. Aku sudah berusaha semampu yang dibisa. Karena itu, aku tetap seseorang yang luar biasa."

"Aku tak aman" adalah "Aku yang baik-baik saja. Aku yang tidak merasa terancam. Aku tidak terdiskriminasi oleh orang lain. Atau bahkan khawatir karena ketakutan-ketakutan yang tak pasti.


There is no limit to the power of positive thinking alone.


Akhirnya, aku membuka satu simpul yang selama ini mengikatku begitu erat. Setelah ini aku berjanji pada diri sendiri untuk terus berproses baik, dan pelan-pelan mengubah apa yang terprogram dalam NCB menjadi keyakinan yang jauh lebih positif. Bismillah.


Aku menulis ini agar ketika merasa tak baik-baik saja, aku bisa merelease kembali apa yang sebaiknya tidak kutahan sendiri, kemudian mereframe itu dengan pemikiran atau keyakinan yang semakin positif. Semoga bermanfaat :)


__________________________________


Magelang, 10 Agustus 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com 

2 Komentar

  1. Broken home not broken you..

    Aku speechless dg caramu menulis ini mba. Mendeskripsikan kesedihan tanpa menyalahkan itu adalah sifat penyembuh yg akan membawa kita keluar pada depresi. Teruskan menulis dg sudut demikian.. ��

    Teruslah 'healing your self'. Krn dg menulis begini lambat laun rasa itu bisa sembuh.

    Aku bkn anak broken home. Tp aku tau Ibu aku sering depresi ktk aku kecil. Amarah n kesedihan seorang ibu itu membekas sampe sekarang. Sulit sekali untuk move on ktk sadar bahwa aku satu2nya anak mama yg tidak sepintar anak lainnya. Tp lambat laun, aku bisa memaafkan dg mulai fokus pd org2 yg mencintaiku skrg. Mungkin kisahku enggak seberat mbak. Gak bs bayangin klo jd anak broken home gmn bekas innerchildnya.. Hiks..

    Semoga lekas sembuh ya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin allahumma aamiin. Terima kasih sudah meninggalkan jejak di sini, Mbak. Itu juga yang kutakutkan sebenarnya, bagaimana kalau aku menurunkan luka itu ke anak-anak tanpa sadar? :'( Karenanya berusaha banget untuk berproses pulih. Benar-benar sampai bisa pulih sepenuhnya, meski struggling dengan kondisi mental illness, tapi anak-anak menjadi motivasi. Berharap bisa memutus tuntas mata rantai kekerasan itu yang juga menjadi akar dari trauma inner child dalam diriku sampai sekarang.

      Tak mudah memang, tak bisa juga dalam sekali jentik langsung berubah. Semoga dengan berproses healing, Allah mudahkan dan ijabah, untuk menjemput banyak kebaikan demi kebaikan dari proses yang dijalani. Terima kasih supportnya ya, Mbak. Terima kasih sudah membaca tulisan sepanjang ini..

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)