Minggu, 16 November 2025; aku menempuh perjalanan yang menjadi langkah besar bagaimana aku terus berproses mengenal diri dan pulang kepada diri yang sejati. Hari itu ditemani suami dan anak bungsu kami, aku tiba di sebuah tempat yang tak akan kusebut langsung di sini. Aku bertemu dengan perempuan yang padanya kupercayakan sebuah proses menuju inti makna perjalanan diriku, setelah berkontemplasi dan meminta Allah yakinkan diri sekali lagi jika memang harus menempuh jalur ini.

Tentu aku bertanya lebih dulu pada-Nya, apakah jalurku sudah sesuai Ya Rabb? Dan setelahnya, seakan tanda demi tanda muncul di hadapanku sebagai sinkronisasi dari alam semesta.

Dimulai dari momen purnama pada 5 November lalu, ada dorongan kuat untuk melepas satu trauma yang cukup berat dan telah dipendam selama belasan tahun lamanya. Aku menceritakan itu pada suami tepat di malam purnama, yang dalam konteks spiritual juga dipercaya sebagai momen pelepasan apa-apa yang sudah tak lagi relevan/selaras dengan pertumbuhan jiwa saat ini.

Aku ingat persis malam itu, dengan suara bergetar, kusampaikan pada suami sebuah kisah kelam dari anak perempuan yang terguncang kehidupannya setelah perceraian orangtua dan perlakuan keluarga besar yang disfungsional. Aku menahan diri sekuat mungkin untuk tidak menangis, tetapi tubuhku bergetar lebih dulu. Jika kuceritakan seluruhnya, apa aku tetap sama di matamu? Itu ucapku, dan dalam beberapa saat suamiku terdiam. Lalu dengan mata berkaca, dia menarikku meski dengan tubuh kaku yang baru saja me-release emosi sebesar itu.. aku menangis di pelukannya.

Dan keesokan hari, aku jatuh sakit. Cukup berat. Tak hanya demam panas, sakit kepala, anehnya perutku juga dirajam sakit dan seperti diare tapi sepanjang bolak-balik ke toilet, hanya gas saja yang keluar. Hari ketiga aku mulai melakukan beberapa prosesi berdasarkan keyakinanku. Mulai dari merebus daun bidara untuk diminum, menumbuk bidara untuk dijadikan ramuan dan mengolesnya ke bagian tubuh yang sedang sakit. Dan singkat cerita, hari keempat aku memberanikan diri untuk mandi dengan larutan garam yang sudah kucampur dengan daun bidara setelah lebih dulu membacakan doa-doa ruqyah.

Maghrib hari itu setelah ibadah bersama, aku spontan buru-buru melepas rok mukena karena ingin buang gas. Yang ternyata, seperti mendapat jawaban penyebab sakit perutku, dan beberapa gangguan yang menyertai saat sakit. Bukan gas melainkan yang keluar adalah darah, dan sangat berbau.

Sewaktu sakit itu lah aku sempat menghubungi beliau; sebutlah mentor energi healing, dan hasil dari apa yang beliau sampaikan semakin menguatkan intuisiku akan satu hal.

Aku sudah melepaskan apa-apa yang tak lagi selaras dengan pertumbuhanku saat ini, meski belum sepenuhnya mengampuni orang-orang di masa laluku. 

Sampai kemudian, beliau menyarankanku untuk menemui guru spiritual jika memang gangguan yang dialami terlalu mengganggu. Anehnya, baik aku beserta suami... sebelumnya sudah tiga orang yang sempat kami temui, akan tetapi menyodorkan jawaban berbeda.

Ah ya, apa yang sampai kepada manusia tentu terbatas dan tak mungkin melebihi pengetahuan Allah tentang apa yang dialami hamba, bahkan alam semesta seisinya pun Dia yang mengatur. Usai menemui seseorang yang sebutlah punya karomah; aku tak berpuas diri. Sisi kritisku terus merongrong jawabannya dengan nalar pikiranku. Aku tak puas, kusampaikan itu pada suami.

Dan di tanggal 11 November, aku kebetulan sedang membaca sebuah buku bertema spiritualitas yang penulisnya ternyata orang Magelang. Buku yang kubaca berjudul "Sastrajendra". Aku langsung terpaku bagaimana bahasa dan penulisan di buku ini seperti menyihirku untuk duduk lebih lama, sekadar membaca hingga tak terasa telah menyusuri berpuluh halaman.

Hingga sampailah aku di salah satu halaman, ketika obrolan sang guru yang bernama Resi Wisrawa dan muridnya bernama Dewi Sukesi berbarengan dengan momen de javu. Usai membaca halaman itu, ingatanku seketika tertarik pada salah satu tulisanku di buku harian yang sempat kutulis sewaktu masih di tanah kelahiran dan aku sendiri masih berusia belasan tahun saat itu.

Meski tak spesifik sama kalimatnya dan lebih ke implisit, tapi perasaan ketika menulis tulisan itu persis sama dengan jawaban Dewi Sukesi yang dijabarkan lewat buku Sastrajendra.

Aku merinding seketika.

Aku pun langsung mencari jejak tulisanku itu yang ikut terbawa ketika aku pindah ke Jawa. Kebetulan lainnya, tulisan itu ternyata kujadikan postingan pertama di blog ini. Di situ tertulis tanggal saat aku menulisnya di buku harian; 03 November 2009.

Aku membaca "Sastrajendra" di tanggal 11 bulan 11 di tahun 2025 (2+0+2+5=9) dan angka 9 ini juga dikenal sebagai angka penyelesaian atau berakhirnya sebuah siklus lama sebelum memasuki siklus baru di tahun 2026 mendatang.

Sinkronisasi lainnya aku menulis tulisan itu di bulan 11 (November) di tahun 2009 (2+0+0+9=11) jadi jika hendak diurutkan menjadi; aku menulis tulisan berjudul "Aku adalah Aku" di bulan 11 tahun 11. Sedang aku membaca "Sastrajendra" di tanggal 11 bulan 11 di tahun penyelesaian siklus lama (karma).

Kebetulan lainnya, aku sendiri terlahir sebagai pemilik Lifepath 11 (master number) berdasarkan numerologi.

Aku membacakan catatanku, berikut jawaban yang kuperoleh di buku Sastrajendra ketika suami tiba di rumah. Belum selesai aku membaca, ia mengangkat lengan menunjukkan jika ia pun merinding pada saat itu.

Dan di tanggal 11 itu pula, mentor energi healing yang kumaksud di awal tulisan ini menghubungi untuk memberikan jawaban dari pertanyaanku.

Aku selalu meyakini bahwa tak ada yang benar-benar kebetulan di dunia ini melainkan atas kehendak-Nya yang diatur pula oleh semesta. Termasuk alasan mengapa aku menulis catatan tersebut, dan alasan mengapa buku Sastrajendra sampai ke pelukanku di waktu yang tepat ketika jiwaku terbangun, dan mencari ulang pengalaman batinnya yang sempat terkubur bersama trauma-trauma itu.

Aku sudah membahas sebagian dari pengalaman spiritual dan sinkronisasi tersebut di akun youtube pribadiku, bisa diakses di link ini: 



Tulisan sederhana yang berangkat dari kegelisahanku di usia remaja kala itu, ada di link ini: Aku adalah Aku

Di video youtube, aku juga membacakan dialog Resi Wisrawa & Dewi Sukesi yang membangkitkan ingatan lama dan dorongan kuat untuk mencari sesuatu yang hilang di dalam diri.

Dipandu beliau, mentor yang kupercaya sebagai teman sekaligus pembimbing.. bismillah, aku memulai satu lagi langkah besarku untuk kembali menemui inti makna; diri sejati, dan perasaan yang dulu pernah ada ketika aku baru beranjak baligh, dan begitu kuat dorongan untuk mengenal Allah serta mempelajari Islam.

Aku bersyukur untuk setiap kesempatan yang telah diberikan padaku hingga detik ini pun seterusnya.

Aku sudah siap melepas beban yang semestinya telah kulepaskan sejak dulu.

Aku memaafkan orang-orang yang ada di masa laluku meski mungkin tak pernah lupa pada kejadian yang melukai memori fase kanak-kanak dan remajaku.

Aku memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri, untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya, merengkuh kembali kenikmatan menjalani peran hamba seperti pada waktu itu. Ketika Dia begitu penuh menempati seisi ruang di dada, hingga tak tersisa kekhawatiran lain sebab yakin segala sesuatu sudah ada Allah yang mengaturnya.

Aku rindu, dan jiwaku menjawab kerinduan itu.

Dear jiwaku, terima kasih tak pernah henti memanggil kesadaranku pulang untuk kembali pada ruang dan tempat semestinya.

Dear diriku, teruslah bertumbuh sesuai dengan misi jiwamu/misi penciptaanmu ke dunia ini.

Entah orang lain akan memahami atau pun tidak, perjalanan spiritualitasmu memang tak perlu banyak mata yang memandang, sebab ini lebih tentang dirimu dan Tuhanmu; pemilik jiwa dalam ragamu itu.

Aku sudah melepaskan beban lama. Aku membebaskan rasa. Aku mengikhlaskan setiap luka terbuka, bukan untuk merasai sakitnya tetapi untuk kusembuhkan dengan welas asih dan setulus jiwa.

Terima kasih hidupku, sudah menempaku dengan pembelajaran hidup yang sedemikian penuhnya namun aku bertumbuh baik.

Terima kasih semesta sudah membimbingku hingga saat ini, aku sungguh tak pernah berjalan sendiri.

Syukran Ya Rabb, untuk tak pernah meninggalkanku barang sedetikpun; bahkan ketika langkahku menjauh. Ketika jiwaku berusaha mencari cahaya dengan membelakangi cahaya-Mu.

Syukran Ya Rabb, tak membiarkan jiwaku melangkah tak pasti, meraba sesuatu yang tak terisi, mendekap lara yang semestinya kupeluk sebelum benar-benar mengikhlaskan rasa sakitnya.

Terima kasih telah memberiku waktu untuk pulih di waktu yang paling pas dengan kondisi dan kesiapanku.

Maka...

Apakah sejatinya aku?

Aku adalah sang Jiwa. Aku adalah hamba Allah. Aku ke dunia ini untuk menempuh kembali perjalanan itu, jalan pulang kepada sejatinya ia, jalan pulang kembali pada semula fitrah penciptaannya.

Aku menangis menulis ini, tetapi dadaku terasa lapang, tak lagi seberat sebelumnya.

Masih ada jalan panjang di depan sana, aku lah jiwa pembelajar yang tak sekadar menyimpan pembelajaran bagi dirinya sendiri.. melainkan pula menyampaikan pembelajaran itu kepada siapapun yang hendak menerimanya. Hikmah, ibrah, kebermanfaatan dalam misi jiwa.

Aku adalah bukti kebesaran-Nya.

Aku adalah Jiwa, percikan dari Nur Ilahi; maka semestinya mendekat pada Ia dan mengagungkan nama-Nya senantiasa.


Terima kasih teruntuk para guru-guru kehidupanku. Siapakah sejatinya guru spiritual kita di kehidupan? Ialah yang terkadang paling dekat dengan diri kita di keseharian. Bahkan mereka pula yang kerap memantulkan luka terdalam kita, agar kita tergerak memulihkannya.

Ada orangtua, keluarga, pasangan, anak-anak, bahkan teman yang diakrabi.

Mereka lah guru spiritual kita di dalam hidup ini. Peran mereka tak hanya memberikan pembelajaran mendalam tentang kehidupan, hubungan, kasih sayang, kesabaran, penerimaan, pertumbuhan pribadi dengan perjalanan/pembelajaran yang unik. Mereka juga serupa cermin yang akan membantu kita melihat jauh ke dalam diri dan menjadikan kita paham tentang realitas spiritual di hidup keseharian.

Kadang dari mereka kita belajar tentang terluka, tentang cinta, tentang memberi maaf selapang mungkin.

Dari mereka kita belajar menyembuhkan rasa sakit; berwelas asih dengan luka yang dimiliki ternyata membuat kita lebih bisa berwelas asih pada penderitaan/kesedihan orang lain. Bahkan kepada mereka yang telah menyakiti.

Menyadari bahwa setiap yang melukai, sebenarnya juga sedang terluka dan belum sempat memulihkan dirinya sebab ia pun belum tersadar.

Ada kasih tanpa syarat di relasi orangtua dan anak-anaknya, meski tak sempurna, meski terkadang terasa kurang maknanya sebab kembali lagi; orangtua kita ternyata juga bagian dari proyek luka orangtuanya. Apa kita akan membenci seterusnya, atau mulai membukakan pintu maaf dan bergerak ke depan meneruskan langkah?

Karena kita tak bisa terus menerus membebani hati maupun langkah diri; dengan kebencian, dendam, atau pun amarah yang belum tuntas. Beri dirimu waktu ya, sepertiku :)

Ada komitmen dan pengertian dalam relasi bersama pasangan, kita yang tumbuh dalam banyak perbedaan di latar belakang maupun pola asuh, tapi berbagai kekurangan itu justru adakalanya menjadi penguat dari dua jiwa yang sedang tumbuh bersama di biduk rumah tangga lewat tali pernikahan.

Kita belajar tentang makna "dukungan/support system" dari mereka yang bernama teman dan anggota keluarga. Meski tak semua orang memiliki itu, tetapi di luar sana ada yang benar-benar memahami nilai tersebut dari kehadiran mereka ke dalam hidupnya.

Aku yang kebetulan tak tumbuh dengan support system itu, tapi masyaa Allah setelah kutafakuri ulang; ke manapun kaki melangkah, Allah mengirimkan orang-orang asing yang menjelma sebagai saudara atau pengganti kerabat.

Ke manapun kaki melangkah, ada wajah-wajah asing yang ramah seakan sudah saling mengenal lama.

Kutafakuri ulang; apa-apa yang tak kumiliki di masa kecil/masa remaja, seperti orangtua yang utuh, keluarga yang berfungsi baik, teman-teman yang tak pernah mengabaikan atau bahkan membully .. justru digantikan dengan para guru yang kutemui sepanjang pengalaman dari satu tempat ke tempat lain.

Ternyata, dari apa yang terasa luka aku belajar berempati lebih, aku belajar memaafkan tanpa harus menunggu permintaan maaf mereka. Aku belajar mencintai, dimulai dengan mencintai diri sendiri seutuhnya. Semua itu menjadi aspek fundamental dalam perjalanan spiritualku selama ini.

Dan aku bersyukur akan itu :')

Terima kasih, untuk siapapun yang pernah hadir sebagai guru kehidupanku. Setiap pertemuan - pun perpisahan sudah ada yang memprakarsai di luar rencana manusia. Aku bersyukur jalan yang kukira lengang ini... ternyata terisi oleh sosok-sosok peduli yang menerima diri tanpa syarat.

Guru spiritualku yang mendampingi proses pertumbuhanku, guru spiritualku yang menempa jiwaku sebab memang peran mereka sebagai pemberi "pembelajaran" itu lewat berbagai peristiwa.. aku sungguh berterima kasih.


Hai aku yang berusia 10 tahun; terima kasih sudah jadi anak perempuan yang patuh pada masanya. Meski kerap kau menerima pukulan karena dianggap kurang di mata orang dewasa; kau bertahan dan tetap yakin pada dirimu sendiri. Kau ingat saat dulu sering berangkat ke sekolah dengan tubuh penuh bekas pukulan? Kau sehebat itu, kau sekuat itu sayang. Saat ini, kau tentu lebih tangguh dari itu.

Hai aku yang berusia 15 tahun; hidup terasa berat ya, tak ada orang dewasa yang hadir menyodorkan telinga bahkan sekadar memberikanmu ruang aman. Kau tak tahu harus ke mana, atau mengadu ke siapa. Kau menangis di kolam itu setiap kali merasa batinmu tercabik, kau izin keluar kelas di jam pelajaran sebab itu lah jam sepi di kolam, dan di sana kau menangis sendirian sejadi-jadinya. Kau menatap langit dan menggugat-Nya, kau terluka, kau kecewa, kau merasa marah. Tapi kau di hari ini menjadi perempuan hebat yang tetap memeluk mimpi-mimpinya sejak masih berupa doa, lalu terijabah oleh-Nya. Kau luar biasa sayang... jika orang lain jadi kau, mereka bisa jadi berkali-kali akan mengakhiri hidup sendiri.

Maafkan jika itu pernah kau lakukan sekali di usia semuda itu, kali ini kita sudah berdamai dengan semua kesakitan itu. Kau aman sayang. Kau berada di tempat, waktu, dan situasi yang tepat untuk selaras dengan pertumbuhan jiwamu. Kau siap memeluk keberlimpahan yang sejak awal memang sudah digariskan untukmu.

Dear aku yang berusia 15 tahun; aku memaafkanmu, aku mengampunimu. Aku mencintaimu dengan utuh, tanpa pengecualian. Kau adalah bagian diriku yang membuatku bertumbuh sejauh ini. Aku hari ini, adalah keputusanmu untuk terus bertahan meski tanpa dukungan.

Aku bangga padamu melebihi apapun. Terima kasih ya, kamu memilih bertahan dan tetap memanifestasikan mimpi-mimpi besarmu yang sudah kupeluk saat ini. Terima kasih kamu seyakin itu padaku, dan aku membuktikan keyakinanmu di hari ini. Kau sudah berjuang sehebat itu, kau layak mendapatkannya.

Berbahagialah mulai sekarang, meski jalan ini tentunya masih panjang.. sebab kau pun akan tetap tertempa untuk menjadi sejatinya diri yang semakin baik dari masa ke masa biidznillah.

Aku memaafkanmu, aku berterima kasih padamu, aku mencintaimu melebihi siapapun di dunia ini :)

Dear aku yang berusi 20 tahun; waktu di mana kamu mengandung anak pertama. Menjadi ibu di usia 21 tahun. Terima kasih sudah bertahan meski menghadapi berbagai perlakuan tak adil serta penolakan dari orang-orang yang semestinya memberikan cinta tulusnya padamu. Kau masuk ke sebuah keluarga di usia belasan tahun, karena mendapati apa yang tak pernah kau dapati dalam keluargamu 'kan?

Rasa hangat dan penerimaan. Potrait kebersamaan yang terasa nyata. Meski ternyata itu hanya bertahan beberapa bulan saja. Tapi lihat, kau menjadi ibu dari tiga anak dan terus bertumbuh luar biasa. Kau menjadi istri yang juga tetap berbenah diri kendati masih berkekurangan, terutama dalam meregulasi emosi sendiri. Akan tetapi, pertumbuhanmu begitu jauh melampaui dirimu di usia 20 itu. 

Kau melalui hal-hal yang semakin mengukuhkan karakter beserta jati dirimu hingga sedewasa ini.

Kau kian berbijaksana, dan mendewasa dengan baik; meski tak ada yang melihat persis perjuanganmu apalagi mengapresiasinya.

Hari itu, kau menangis karena dikatai goblok sewaktu bingung bagaimana menyusui bayi mungil ketika kau sendiri pun baru pertama kali menjadi ibu.

Kau melalui fase berat di tengah hantaman depresi post partum, tetapi anak-anakmu tumbuh dengan sehat dan baik-baik saja hingga detik ini pun seterusnya. Itu juga bukti, seberasa kamu berusaha untuk menjadi ibu yang baik bagi mereka :)

Aku tahu, kau berusaha keras melawan diri sebab pernah merasai seperti apa babak belurnya dihujani pukulan oleh orang dewasa yang seharusnya melindungimu. Jadi kau berusaha untuk tak melakukan hal sama kepada buah hatimu. Walau tak berarti, kau tak pernah melayangkan pukulan pada mereka sesederhana mencubit. Itu pun kau pula yang akan menyesal bahkan menangis setelahnya.

Lihat, kau bisa... meski sebagai gantinya kau jadi pandai mengomel dengan suara yang naik sekian oktaf. Tak mengapa, kau sedang belajar. Sebab setelah menjadi orangtua, tak serta merta kita bisa tahu cara menjadi orang tua yang sebenarnya. Kita semua belajar dengan medan yang berbeda. Aku bangga pada upayamu itu. Terima kasih ya, kamu berhasil melaluinya dengan baik dan lapang dada. Love you so much dear..

Dear aku yang berusia 26 tahun; fase menjadi ibu dari dua anak. Tahun terberat ketika "Spiritual Awakening" itu hadir menghentak kesadaran jiwamu dengan "Dark Night of The Soul". Ini fase beratmu yang lain selama menjadi istri sekaligus ibu. Tapi terima kasih sudah memberanikan diri untuk datang ke profesional. Keputusanmu sudah tepat sekali. Terima kasih sudah berkenan mengikuti kelas trauma healing dan mulai berproses mengenali luka sekaligus trauma apa saja yang perlu kau sembuhkan.

Di fase itu, semesta seolah menunjukkan wajah asli dari mereka yang bertopeng di hadapanmu. Kau lagi-lagi melalui fase terisolasi. Tapi aku bangga padamu, kau pelan-pelan berusaha keras untuk keluar dari kegelapan itu. Yang tadinya gagap saat berbicara, tahu kah saat ini kamu sudah fasih tatkala menjadi pembicara di suatu agenda? Persis harapanmu saat itu bukan? Kau ingin menjadi pembicara yang mengisi berbagai agenda/kegiatan yang bermanfaat. Sebab kau ingin menyemangati banyak jiwa lewat kisahmu.

Aku bangga padamu, dari yang tadinya tak berani bertemu orang-orang karena langsung mendapat serangan panik.. hari ini kau dengan percaya diri membawa dirimu bahkan di tengah orang-orang asing yang baru kau temui dalam suatu kesempatan.

Kau yang tadinya terjebak dalam siklus toxic karena tak menyadari luka menganga yang terbiarkan, kini sudah lebih berbijaksana. Bahkan kau pun bisa menjadi telinga, memberikan ruang aman bagi orang lain, aku bangga sekali dengan setiap pencapaian yang kau miliki walau sekecil apapun itu.

Terima kasih ya, kamu memilih untuk memulihkan diri sehingga aku bisa duduk di sini dan menulis postingan ini dengan hati yang lapang. Love you so much dear...

Teruntuk aku yang berusia 30, 31 ~ 32 tahun:

You did it!!! See? I am so proud of you ..

Meski tak selalu situasi yang dijalani sekondusif apa yang diharapkan, tapi lihatlah kejutan-kejutan yang semesta mulai berikan padamu saat ini. Apa yang sudah digariskan menjadi milik kita, akan tetap menjadi milik kita, tak peduli ada pihak-pihak yang mungkin berusaha menghalangi.

Allah sangat adil, sayang. Semesta memiliki cara kerja sendiri. Tak ada doa-doamu yang mengambang sia-sia di petala langit. Dan kau sudah membuktikan itu sampai detik ini.

Sini, kupeluk dulu. Ahhh, aku yang paling bangga padamu.

Aku yang berteriak lebih kencang, untuk setiap capaian baik dalam hidupmu.

Selamat ya, sudah memenangkan pertempuran-pertempuran berat yang tak semua terlihat di mata mereka.

Selamat, sudah menjadi pemenang yang tak hanya menang tapi bertumbuh luar biasa.

Selamat sekali lagi, karena keyakinanmu tak pernah surut bahkan ketika ada yang ingin membuatmu merasa kerdil dan seperti bukan apa-apa. Itu semua justru membakar semangatmu lebih membara dan lebih menyala lagi.

Barakallah ya diriku, teruslah menjadi manusia dan jiwa yang bertumbuh semakin baik dalam ketaatan pada-Nya.

Jika ada pesan untukku di usia 40, 50, 60, 70 tahun:

Kau akhirnya menjadi versi terbaik dirimu setelah berbagai tempaan yang terlalui selama ini. Kau membantu banyak orang di luar sana lewat bakat dan kemampuan yang dimiliki. Hidupmu berkelimpahan, dikelilingi keluarga juga orang-orang baik dan tulus. Banyak orang yang terbantu, sembuh dan pulih dengan bantuanmu juga atas izin Allah. Selamat ya, kamu tak menyia-nyiakan gift yang diberikan oleh semesta :)

Khoirunnas anfauhum linnas, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

Takdir terbaikmu, sebuah jalan yang sudah ditetapkan oleh-Nya dan semesta, telah menantimu di depan sana. Bersemangatlah sayang. Jangan biarkan siapapun mematahkan api juang itu sebegitu mudah. Tak terhitung hal-hal menyulitkan yang berhasil kau lewati, ke depannya kau bisa mengemudi lebih baik karena selama ini sudah terlatih di banyak medan dan perjalanan.

Bismillah biidznillah, doa baik untukmu tak pernah berjeda sampai seterusnya.

Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah dengan kenikmatan dari-Nya menjadi sempurna semua amal kebaikan.

Allahumma baarik. Masyaa Allah tabarakallah.


Namaste 😇🙏

_________________________


Magelang, 26 November 2025

Copyright: www.bianglalahijrah.com

0 Komentar