Di satu waktu aku berkontemplasi, apa yang terjadi di kehidupan anak manusia bukan hanya tentang apa yang ada di luar dirinya. Melainkan apa yang ada di dalam dirinya sendiri. Adakalanya, yang terjadi di luar mencerminkan apa yang ada di dalam. Itu membuatku berhenti menghabiskan energi untuk apa yang ada di luar kendaliku, dan aku fokus pada apa yang berada di dalam lingkaran kendali dan energiku sendiri. Benahi energi, tingkatkan vibrasi - BianglalaHijrah

 

Mungkin ini bahasan yang sudah pernah kubahas di tulisanku yang lain. Polanya sama, tetapi dengan orang yang berbeda. Jadi sewaktu perjalanan ke Surabaya beberapa waktu lalu, aku mengenal seorang teman 'perjalanan' berkat saran dari salah satu rekan yang kupunya. Mengapa kusebut teman perjalanan? Karena pertemanan kami sesingkat perjalanan berangkat dan pulang dari Surabaya yang hanya beberapa hari saja.

Semula, aku menahan diri untuk mempertanyakan mengapa ia merubah sikap menjadi lebih bossy dan terkesan sengaja memotong arah pembicaraanku dengan kasar di setiap kesempatan. Hanya dalam hitungan jam setelah tiba di Surabaya, dan kebetulan kami terlibat di acara yang sama.

Aku menahan pengalaman tak menyenangkan ini, sampai hari kedua setelah kembali ke rumah. Uneg-uneg itu pun akhirnya kusampaikan pada suami. Dan sepertinya aku juga harus menuliskannya di sini sebagai bentuk release emosi yang hingga saat ini masih terasa tak nyaman ketika mengingatnya.

Singkat cerita, malam sebelum kepulangan kami, aku diajak keluar beserta beberapa orang lainnya. Tapi kemudian ada sesuatu hal yang menyisakan perasaan tak nyaman. Mengapa malam itu aku harus turut serta dan menjadi bagian darinya? Tentu saja aku tak merasa istimewa atau cukup penting untuk berada di topik pembicaraan mereka. Aku juga tak merasa untung apalagi aji mumpung hanya karena mereka ajak. Justru setelah pulang ke Magelang, aku jadi menyayangkan diri. Jika hanya diajak karena mereka sungkan jika tak mengajakku, rasa-rasanya aku bisa menolak dengan cara yang baik.

Mungkin ia merasa harus mengajakku, mengingat teman ini sudah berjanji untuk membawa kami turut serta ke tempat makan yang menjadi salah satu kuliner khas kota asalnya. Dan kebetulan saja, berlokasi tak jauh dari tempat perhelatan acara yang kami ikuti. Hanya berjarak satu jam dengan kendaraan roda empat.

Malam itu, aku dengan senang hati mengiyakan, kendati dua teman sekamarku setengah bercanda seolah marah sebab mereka tak diajak serta. Justru sebenarnya, aku mungkin akan lebih memilih beristirahat di kamar. Jika keikutsertaanku malam itu tak memiliki andil banyak, selain membawa pulang perut yang kenyang dan makanan yang dibayar oleh salah seorang diantara kami.

Tapi aku hampir tak terlibat dengan banyak pembicaraan di sepanjang pergi dan pulangnya. Aku menjadi pendengar pasif meski ada beberapa pertanyaan yang juga ingin kupertanyakan pada salah seorang tokoh yang kebetulan berada di antara kami.

Aku coba berpositif thinking dan mempertanyakan jauh ke dalam nurani sendiri, perasaan apa tepatnya yang saat ini kurasakan? Perasaan tak dianggap? Perasaan tersisih? Atau perasaan cemburu? Selalu ada sebab dan alasan dari setiap emosi yang dirasakan. Aku tak menghakimi perasaan dan emosiku, tapi berusaha memahaminya.

Jadi ada satu pembicaraan di meja makan yang sebutlah cukup intens, tapi seolah-olah aku tak ada di antara mereka. Aku satu-satunya yang duduk sebagai pendengar sekaligus penyimak. Tak ada yang menanyakan apa pendapatku, meski ya, toh mungkin bukan sebuah keharusan. Tapi perasaan kecil itu kubawa pulang ke Magelang. Aku menyayangkan diri yang tak berkeberatan diperlakukan demikian. Orang dewasa tentu dinilai tak lazim membahas perkara seperti ini yang akan dianggap remeh temeh.

Tapi bukan di situ pointnya, point utamanya adalah seberapa dewasa kita mampu memperlakukan orang lain .. bukan hanya meminta orang lain untuk dewasa menyikapi perlakuan kita. Aku seperti anak kecil yang diajak bermain oleh teman-teman bermainku, yang kemudian hanya dijadikan anak bawang.

Semua uneg-uneg kusampaikan pada suami terkait sikap si teman ini. Termasuk dengan kemungkinan, aku yang barangkali melakukan kesalahan di luar sadarku. Tapi jika demikian, akan lebih mudah baginya untuk berterus terang dan itu bukan sebuah kesalahan. Dalam berinteraksi kita tak bisa menyaring apa yang orang lain akan katakan, sikap apa yang ingin ia tunjukkan, aku memaklumi itu.. tapi tidak untuk kesengajaan menyakiti untuk membuat orang lain terlihat BODOH.

Dan teman yang kumaksud di sini, di satu sisi juga masih berusaha bersikap baik. Barangkali karena mau tak mau, aku masih akan ikut serta di perjalanan pulang bersama mereka dan menginap satu malam di rumahnya setelah mempertimbangkan beberapa hal.

Aku tentu saja senang mendapat tawaran itu, tapi lagi-lagi perlakuan tak menyenangkan itu ia layangkan ketika kami berempat sedang makan malam bersama. Ada satu pembicaraan yang posisi aku sedang bertanya, dan tahu-tahu ia memotong perkataanku dengan kalimat yang cukup kasar. Kusebut kasar karena aku sendiri tak pernah melontarkan kata itu pada lawan bicaraku, apalagi orang yang baru kukenal.

Aku ingat persis ketika ia berseloroh, "Ah udah, kebanyakan bacot lu!"

Jujur aku kaget setengah terperangah ketika diperlakukan begitu, sampai-sampai kata yang keluar dari mulutku hanya "Aseemmm.."

Aku tak nyaman diperlakukan begitu. Sekuat hati menahan diri untuk tidak tertrigger. Ingin pulang tetapi malam sudah bertambah larut dan jelas akan menyinggung perasaannya, dan akan lebih mudah baginya mengatai aku yang baper. Walau tiga teman yang lain tentu saja menyaksikan perlakuan itu, entah mereka sadar atau tidak.

Untungnya, di satu kesempatan ketika kami duduk berdua. Aku mengutarakan ketidaknyamananku padanya dengan berucap, "Mbak, bisa ndak kalau ada yang lagi ngomong kamu jangan buru-buru motong gitu? Karena bikin orang yang bicara sama kamu merasa nggak dihargai."

Aku berbicara seperti itu dengan sadar penuh, berharap ia memahami ketidaknyamananku.

Aku juga menangkap air wajahnya yang berubah, menyiratkan kekagetan yang samar. Tapi aku menangkap itu, karena aku terbiasa memperhatikan detil lawan bicaraku termasuk mikro mimik wajahnya.

Ia sempat berdalih bahwa bukan maksudnya tak menghargaiku, dan menyampaikan ulang apa maksudnya.

Oke, aku menerima alasan tersebut. Setidaknya aku sudah menyampaikan maksud sesuai boundaries yang kumiliki.

Setelah menikah, aku terbiasa membicarakan hal apapun sebagai bentuk komunikasi asertif pada pasangan, dan agar tak menimbulkan masalah lebih larut. Namun dalam interaksi sosial atau hubungan interpersonal, kita tentu akan berhadapan dengan tipe karakter dari seseorang yang tak terbiasa mengutarakan perasaan di balik sikapnya. Atau belum mampu bersikap asertif secara langsung jika memang ada yang membuatnya tak nyaman.

Sebenarnya aku menunggu, andai malam itu ada sesi pembicaraan yang cukup dalam. Bukan hanya membahas tentang masalahku yang sempat kuceritakan padanya di perjalanan ke Surabaya. Tapi mungkin, ia bisa saja mau terbuka terkait alasan dari sikap dan perkataan ketusnya. Mengingat usiaku jauh lebih tua darinya, menurut etika orang Jawa jelas tak sopan berbicara asal pada orang yang baru kita kenal dan usianya pun lebih tua darimu.

Dan ternyata, itu tak berhenti sampai di situ. Entah perasaanku yang terlalu peka membaca setiap detail situasi, tapi satu kawan lainnya yang sebutlah terbilang dekat dengan teman ini, kemudian terkesan turut sengaja mengabaikanku. Beberapa kali sapaanku di group bersama sengaja tak ditanggapi, tapi berbeda jika kebetulan 'teman' ini yang nimbrung, segera ia membalasnya.

Bagaimana perasaanmu jika diperlakukan demikian? Namun, sekali lagi aku berusaha mencerna situasi.

Aku selalu bilang ke suami untuk tak hanya menyorot kondisi luar ketika ada yang bikin kita nggak nyaman, tetapi penting untuk mengintrospeksi kondisi diri dari dalam. Karena mungkin saja, kita tanpa sadar juga melakukan kesalahan. Atau tanpa sengaja, ada emosi yang terbangun karena tertrigger oleh suatu kejadian. Apa itu murni karena orang lain, atau karena diri sendiri?

Itu yang berusaha kupahami.

Suamiku berkata, apa mungkin si teman ini cemburu karena aku mendapat perhatian lebih dari kawan-kawan yang baru kami kenal selama di sana? Aku mengingat ulang, karena tak merasa mendapat previleges seistimewa itu mengingat ucapan teman ini juga pernah menyinggung soal "orang baru". Jadi ya, aku sadar diri... ketimbang dirinya, aku memang baru di organisasi tersebut. Terlepas aku punya prestasi sendiri di bidang yang ditekuni, tapi soal organisasi dan hal-hal terkait di dalamnya, ia tentu lebih cakap dariku. Dan bagiku, itu bukan persoalan.

Toh, belajar tak hanya bisa pada ia yang lebih tua dan pengalamannya melebihimu, tak ada salahnya belajar dari yang lebih muda dan itu masih kupegang hingga saat ini.

Tak ada pula senioritas dalam kamusku. Tapi mungkin, sewaktu berinteraksi dengan banyak orang yang baru dikenal, tentu saja ada mispersepsi sebab perbedaan karakter yang mendominasi. 

Rambut boleh sama, tapi beda kepala jelas berbeda isi.

Aku berusaha tetap berprasangka baik, tapi aku juga harus menjaga perasaanku sendiri, dan titik nyamanku. Ketika merasa bahwa si teman ini dan teman dekatnya itu seperti sengaja mengabaikanku, aku sadar diri untuk menyampaikan permintaan maaf itu secara terbuka. Kujelaskan bahwa memang group WhatsApp pribadiku sudah sangat banyak sekali. Aku meminta maaf kepada semuanya jika ada kesalahan dalam bentuk apapun selama kami saling berinteraksi, sebelum dan setelah pulang dari Surabaya. Hari itu aku izin left group WA, karena ada yang menimpali, aku tetap menghargai dan baru benar-benar left di dua hari setelahnya.

Aku menghargai jika saja ia ingin terbuka soal sikap kasarnya padaku. Apa ada perlakuanku yang menyinggung perasaannya? Apa ada sesuatu dariku yang tak ia sukai?

Aku juga menawarkan diri, jika ada biaya sekecil apapun yang harus kuganti agar ia mengirimkan invoice langsung padaku.

Sedewasa ini, tak ada lagi fase mencari siapa yang benar dan siapa yang salah.

Aku memaklumi usianya yang lebih muda dariku, tapi aku tak bisa menoleransi berkali-kali sikap seseorang yang dengan sengaja tak menghargaiku.

Dan setelah memutuskan untuk tak lagi berinteraksi dengannya, baik itu di media sosial.. aku mendarat di laman ini untuk merelease sisa dari perasaan tak menyenangkan ini.

Namun, emosi negatif tak selalu buruk. Bahkan bertemu dengan orang yang memperlakukanmu kurang baik, juga tak selalu bermakna negatif. Pasti ada yang bisa diambil sebagai pembelajaran baik.

Sudah sering aku menulis di media sosial, jika kita tak bisa menyenangkan apalagi memuaskan hati semua orang. Beruntung jika ada yang bisa mengkomunikasikannya langsung padamu dengan baik-baik, dan lebih merendahkan ego. Tapi tak semua orang memiliki kedewasaan sikap, dan emosi yang matang. Aku sendiri pun merasa bahwa di waktu-waktu tertentu, aku bisa berbijaksana, dan ada pula waktu ketika kebijaksanaan itu ditekan ego yang sedang meninggi.

Dan jika disikapi dari hukum vibrasi/energi, setiap kita menarik apa yang sefrekuensi vibrasi atau energinya dengan diri kita. Maka pelajaran yang kuambil darinya, apa mungkin sikap tak menyenangkan itu adalah bagian dari shadows yang harus kutemui? Cerminan jika aku memperlakukan orang lain demikian, maka orang lain akan merasakan seperti apa yang aku rasakan saat ini.

Aku menganggap ini sebagai pembelajaran bagi jiwaku sendiri. Yang sedang bertumbuh untuk kian selaras dengan diri sejatiku. Aku tak sedang membangun relasi apalagi pertemanan yang berkedok manipulatif, kepalsuan, apalagi rasa iri yang terselubung. Kadang, menarik diri adalah caraku berbijaksana untuk bisa memahami pesan apa yang ingin semesta berikan padaku melalui ini?

Apa ini getaran vibrasiku sendiri dan bagian yang harus kurapikan?

Apa yang bisa kulakukan untuk memperbaikinya? Apa itu harus?

Atau ini sebentuk pembelajaran baik dari kejadian tak menyenangkan agar aku belajar, juga dapat memahami bahwa manusia memiliki banyak shadow self dalam dirinya. Ada yang bisa menutupi itu secara baik, bahkan nyaris tak terlihat. Namun ada pula yang memperlihatkannya dengan sangat transparan.

Pada waktunya nanti, semoga aku menemukan opsi yang lebih bijaksana dari pada saat ini. Karena tak menutup kemungkinan, kami akan kembali bertemu dan saling berinteraksi. Tetapi untuk kenyamananku sendiri, aku menghapus kontak mereka. Dan kembali pada kondisi sebelumnya, di duniaku dengan keseharian yang kupunya. Sekaligus bentuk dalam menghormati batasan diriku sendiri. Aku akan menghargai siapapun yang juga memperlakukanku dengan baik.

Setiap orang berhak menetapkan batasan, dan ada cara berbeda dalam pengaplikasian boundaries itu berangkat dari kenyamanan masing-masing.

Urusanku dengan mereka sudah selesai begitu aku kembali ke Magelang.

Aku memaafkan diriku yang sempat terdistraksi oleh perasaan tak nyaman itu. Aku memaafkan dirinya sebab barangkali itu shadows yang ia miliki dan harus pula ia sembuhkan, kecuali jika memang begitu karakternya.

Aku senang bertemu banyak orang di tempat baru, tapi tentu, tak semua orang akan berhasil menyisakan pengalaman manis di benakmu. Maybe, begitupun dengan diri kita yang tak sempurna ini. Tapi satu hal, berhenti melunak pada siapapun yang sengaja tak menghormatimu. Siapapun ia.

Semoga dengan ini, aku telah memutus energi yang kubawa pulang. Energi yang bukan milikku. Yang tak semestinya menguras perhatianku. Dan aku menarik kembali energi milikku, dari siapapun yang tak layak menerimanya.


Salam damai. Namaste.


___________________________________


Magelang, 27 Oktober 2025

Copyright: www.bianglalahijrah.com

0 Komentar