Tadi sore seorang teman menyampaikan kekagumannya padaku. Sebab katanya, meski aku struggling dengan trauma inner child dan kesehatan mentalku saat ini, aku masih bisa bersikap baik ke anak-anak. Untuk beberapa saat, aku tertegun membaca pesan tersebut. Apa benar aku sudah sebaik itu? Alhamdulillah jika orang lain melihatku setenang itu, meski realita keseharian, ada banyak pemicu yang masih membuatku misuh-misuh, ngedumel ke anak maupun ayahnya.

Bahkan terkadang, aku juga kelepasan sikap yang tanpa sadar menyakiti si kakak. Anak pertama yang setelah punya adik diharuskan mengemban ekspektasi lebih dari kedua orangtuanya. 

Padahal, entah memiliki adik atau tidak, seorang anak berhak memiliki kebebasan yang diinginkannya. Kebebasan di sini berarti, kapan waktu bermain ia bebas bermain, kapan menginginkan sesuatu ia juga boleh menunjuk hal itu, tanpa dikesampingkan hak maupun kepentingannya karena diharuskan mengalah.

Nyatanya, setelah menjadi kakak, anak pertama secara langsung seperti mengemban banyak harapan dari orang-orang sekitarnya. Tiba-tiba dituntut harus menjadi role model yang baik sebagai seorang kakak karena menjadi contoh bagi adiknya. Padahal, apa sih yang dipahami anak umur enam tahun soal kewajiban-kewajiban itu.. yang tak lebih adalah ekspektasi tinggi dari kedua orangtuanya sendiri?

Aku lalu menjelaskan, bahwa sebenarnya apa yang terlihat tenang bukan berarti tak lagi garang. Jika kembali ke belakang, ada banyak sekali struggle beserta kondisi yang menyedihkan. Baik aku dan anak pertama, kami sama-sama berjuang melewati ujian hubungan itu. Betapa ikatan ibu-anak tak selalu terjalin indah, dan mengalir sebegitu mudah sekalipun itu berhubungan darah. Apalagi, ada banyak luka inner child yang ternyata masih terbawa hingga kini.

Tapi aku sendiri berusaha agar cara-cara lama yang pernah diperoleh dulunya, tak kuturunkan pada anak-anak. Oleh karenanya aku terus belajar, mengupayakan kepulihan diri, agar bisa menjadi ibu yang ramah serta lebih bijaksana. Menyadari bahwa aku tak bisa menuntut anak sepenuhnya menjadi seperti inginku, padahal ia terlahir dengan keistimewaan tersendiri.

Jujurly, aku baru benar-benar menikmati peran sebagai seorang ibu, justru setelah anak keduaku lahir. Di satu waktu aku merasa hatiku dipenuhi rasa cinta, merasa bahagia, terasa lapang hanya dengan menatap wajah anak-anak. Tak seperti dulu, di masa kehamilan anak pertama hingga pada tahun-tahun awal yang kulalui dengan perjuangan, dan airmata.

Menjadi orangtua dengan jejak trauma pengasuhan yang terbawa hingga dewasa, bukanlah hal mudah.

Jika diingat aku tak benar-benar berbahagia dengan status ke-ibuanku saat itu. Ingatan ketika menjalani fase kehamilan yang berat, melahirkan dengan tekanan batin luar biasa, aku bahkan tak sadar tengah mengalami syndrome baby blues. Hingga sampai di titik depresi pun, aku sama sekali tak bahagia menjalani peran sebagai ibu. Orang-orang mungkin melihatku biasa saja. Merawat anak, memenuhi kebutuhannya, tetapi mereka tak melihat jauh ke dalam batinku.. aku nyaris kehilangan jati diri.

Aku yang tak bisa jauh dari anak pertama, sebab perasaan yang kubangun lebih pada rasa bersalah. Rasa bersalah sebab merasa gagal menjadi ibu yang layak, rasa bersalah sebab tak bisa memberikan rasa aman padanya. 

Terlebih ketika orang-orang mulai menyodorkan banyak saran yang tak kuminta. Di waktu lain mereka pula yang membuat perbandingan antara cara pengasuhanku dengan cara pengasuhan orang lain atau bahkan diri mereka sendiri. Tak jarang, mereka berusaha menyerang posisiku sebagai ibu baru. Aku terintimidasi oleh orang-orang yang seharusnya memberikan support moril, tetapi berbangga hati sebab merasa jauh lebih mumpuni.

Kendati begitu, aku masih memaksakan diri untuk menjadi ibu yang layak sekalipun batinku porak-poranda. Tak sadar betapa kerasnya aku memperlakukan diri sendiri kala itu. Hingga melupakan hal penting, bagaimana mungkin aku bisa memberikan cinta ke orang lain, ke anakku sendiri, jika aku bahkan tak memberikan cinta pada diri sendiri?

Satu-satunya hal yang kutakutkan dari menjadi ibu, adalah mewariskan rasa sakit kepada anak. Entah lewat perkataan, sikap, maupun perlakuan. Faktanya, aku memiliki separuh monster itu dalam diriku ketika anak pertama kami lahir. 

Betapa tak mudah menjadi dewasa dengan membawa serta luka batin masa tumbuh kembang, lalu di kemudian hari tiba-tiba saja kamu tertuntut situasi karena harus menjadi orang tua dari anakmu sendiri. 

Rasanya, menangis saja tak cukup untuk mengembalikan moment emas yang seharusnya berlalu manis, tetapi dipenuhi dengan tangis.



Anak pertamaku tersayang, yang harus menerima imbas dari puncak depresi ibunya kala itu. Jika mengingat apa saja luka yang mungkin pernah kuberikan pada anak pertamaku, aku menyesali semua perlakuan yang kuperbuat entah sadar atau tidak. 

Aku sampai berandai, jika saja aku tertolong lebih awal. Andai saja suami memahami kondisiku lebih dini. Faktanya, aku menghadapi fase depresi itu sendirian. Sekalipun berusaha menghadirkan orang lain sebagai jembatan evaluasi, tetapi tak sepenuhnya meredakan masalah yang ada.

Suami kala itu belum semengerti saat ini. Meski tindakanku mengarah ke perilaku dekstruktif, termasuk pada menyakiti diri sendiri, yang dilakukannya justru melontarkan ucapan pedas. Menyerangku balik dengan hal-hal yang kuungkit sebagai tanggung jawabnya, termasuk luka batin yang diberikan anggota keluarganya. Ia sendiri yang berkata bahwa aku yang bermasalah, otakku tak beres, tetapi tak juga membawaku ke profesional. Tak juga membantuku keluar dari ruang gelap itu.

Saling serang, dan menyalahkan. Kendati suami tahu persis tekanan batin macam apa yang kuterima di rumah orangtuanya sampai kami memilih menyingkir keluar dari situasi buruk yang ada saat itu.

Anak pertamaku mungkin mendera luka batin sejak masih di dalam rahim ibunya. Ia telah turut merasakan pergolakan batin sang ibu yang didera luar biasa.

Barangkali, fase depresi itu sudah dari sejak awal mengandungnya. Kian memuncak setelah kelahirannya. Tak siap pada perubahan yang terjadi, lonjakan hormon, keadaan yang sulit. Suami sibuk dengan pekerjaannya, tak sempat untuk bertanya kabar, apalagi sekedar mencari informasi untuk memahami apa itu Postpartum Depression pada ibu baru.

Tak sekali ketika dirundung tekanan batin, depresi memuncak, anak pertamaku menjadi bulan-bulanan kekesalan itu. Tanganku ringan sekali menyosor tubuhnya. Meski setelahnya muncul perasaan tak berharga. Merasa gagal menjalankan peran sebagai ibu.

Jika mengingat masa-masa itu, aku menyesali waktu yang semestinya berlalu dengan baik. Andai waktu bisa diputar, andai bisa kembali ke belakang, ingin sekali kubenahi luku-luka yang kuwariskan pada anak pertama kami. Andai saat itu suamiku lebih awal memperhatikan kondisiku.

Anak pertama yang bahkan lebih dekat dengan ayahnya. Anak pertama yang begitu mudah menyodorkan tangan ke orang lain, meminta digendong, tetapi tidak padaku.

Dulu, aku mungkin bukan ibu yang layak. Meski mengandung, melahirkan anak, tetapi batinku tak sama sekali merasa bahagia. Hamil di usia muda, tertempa masalah sejak awal menikah, dan tertekan di rumah mertua.. tak ada tujuan pulang. Jauh dari keluarga, satu-satunya yang kuharap bisa memasang badan tetapi tak bisa berbuat banyak. Begitu melahirkan anak, aku menghadapi dunia baru seorang ibu yang jauh dari ekspektasiku.

Teringat sekali, ketika belum bisa menyusui bayi karena kendala flat payudara. Aku kaget sebab sesuatu yang bersifat privasi tiba-tiba harus terbuka di depan banyak orang. Payudara disentuh tak hanya oleh bu bidan, dukun pijat, juga ipar yang saat itu sampai mengataiku "goblok" hanya karena belum bisa menemukan posisi yang benar dalam menyusui bayi. Ditambah bekas jahitan pada luka lecet paska bersalin, seakan tercabik lahir batin.

Sejak hamil, kondisi moodku memang sudah tak terkendali. Aku menjadi lebih emosional, mudah marah, gampang tersinggung, bukan karena faktor hormonal ibu hamil saja, tetapi batinku sudah memendam banyak luka.

Perlakuan mertua beserta anggota keluarga suami, seterusnya akan menjadi ingatan suram tersendiri.

Betapa seorang ibu adalah yang paling rentan dengan kondisi kesehatan mentalnya. Karena itu, yang dibutuhkan sebenarnya lebih pada dukungan, support sistem yang tepat dari orang-orang di sekelilingnya. 


Kata mereka, menjadi ibu harus bahagia. Padahal, bahagia tak diperoleh begitu saja jika di waktu bersamaan batin ibu juga tersiksa, tak bahagia, bahkan memendam luka tanpa bisa bicara. Apalagi jika itu berasal dari orang-orang terdekat di dalam hidupnya.

Jadi ibu ternyata tak mudah, ya? Tapi alhamdulillah terbukti kita bisa melaluinya, kita tetap bertahan secara luar biasa di medan juang masing-masing.

Kalau ditanya mengapa bisa bertahan? Bukan karena aku tak pernah menyerah sama sekali.

Berkali-kali ingin menyerah karena lelah dengan perlakuan yang didapat, tetapi toh hingga hari ini aku masih bertahan di sini. Menghadapi orang-orang yang sama, yang juga penyebab luka batin itu.

Jika bukan Allah yang menguatkan, niscaya takkan mampu berdiri kuat. Jika bukan Allah yang memampukan, mungkin pula menyerah sejak jauh sebelumnya.

Karena itu, masih dengan doa yang sama, meminta agar Allah berikan hati yang memiliki maaf selapang mungkin. Maaf yang tak ber-tapi, dan juga tak bertepi. Untuk siapa saja yang mungkin pernah menorehkan luka. Aamiin insyaa Allah.

Satu-satunya hal yang kusesali, sebab orang-orang yang kuanggap tulus akan menjadi pengganti orangtua beserta keluarga, justru menjadi trigger dari semua luka yang selama ini terpendam.. sampai kemudian meledak dengan sendirinya.

Sekarang, setelah kelahiran anak kedua.. aku baru benar-benar bisa merefleksikan perasaanku sebagai ibu. Aku bisa mencintai dengan penuh, sadar, dan sama sekali tak ada perasaan terpaksa hingga harus merasa bersalah. Itu mengapa anak keduaku jauh lebih lengket denganku ketimbang orang lain. Apa yang kualami bersama anak pertama menjadi pengalaman sekaligus pembelajaran berharga.

Pelan-pelan terus merekatkan bonding dengan anak pertama. Belajar parenting. Mindfulness. Belajar bagaimana menahan diri ketika marah. Belajar mengendalikan emosi di depan anak. Banyak-banyak meminta maaf setiap kali kelepasan sikap maupun bicara.

Makin ke sini, aku memahami bahwa satu hal penting yang sejak dulu tak kumiliki ketika bertumbuh di tengah orangtua maupun keluarga, adalah memiliki rasa aman. Itu yang mendorongku untuk sering memeluk anak-anak setiap malam, menjelang waktu tidur kami.

Anak pertamaku bahkan sudah lebih bisa menunjukkan perhatian. Kadang tiba-tiba ia mendekat untuk memeluk. Di waktu lain, ia mencium keningku saat mendapatiku tertidur di sisi adiknya, sembari pelan berbisik "i love you, ibuk". 

Aku mendapati anak pertama kami mulai menerimaku sebagai ibu, apa adanya. Pelan-pelan kami memahami hubungan kami yang berawal dari ketidakmudahan, untuk dibenahi lebih baik. Bukan kami, tetapi dimulai dari diriku sendiri. Betapa ia mungkin pula tertuntut untuk memahami hal-hal pelik sedari dini, itu yang membuatku tertampar untuk terus berbenah dalam memberinya cinta, dan kasih sayang sepenuhnya.

Masa kecilnya, masa tumbuh kembangnya harus jauh lebih baik dariku.

Bukan berarti saat ini aku tak pernah marah atau bahkan menyodorkan tangan. Aku masih melawan diri sendiri. Entah ada berapa episode lagi yang mewarnai hari demi hari, pekan berganti bulan, dan mereka tumbuh sembari melihat fluktuatif mood ibunya yang tak sewajar orang lain. 

Aku tentu saja masih, sesekali kelepasan, tetapi jauh lebih bisa kukendalikan. Tak lagi sekerap dulu. Kadang, aku mengalihkan itu pada barang-barang yang ada di sekitar. Atau mengatur napas, dan menahan diri sekuat tenaga. Lantas menjauh sejenak dari anak-anak.

Bedanya, dulu aku hanya menangisi rasa bersalahku tanpa berusaha mendekati anakku. Kali ini, aku memilih untuk lebih banyak belajar, dan pelan-pelan merubah cara.

Kendati tak mudah, meski struggling dengan kondisi saat ini, aku merasa jauh lebih baik sebagai ibu. 

Di satu titik, aku bisa memandangi wajah anak-anak dengan penuh rasa cinta. Memeluk mereka tanpa perasaan canggung. Memberikan cintaku seutuhnya, pun menerima balasan cinta dari mereka. Mengapa 'memeluk' harus canggung bagiku? Itu karena sejak kecil, memberikan pelukan bukan hal yang biasa di  keluarga, terlebih setelah kedua orangtuaku memutuskan berpisah.

Aku bahkan tak memiliki ingatan, kapan terakhir kali Mamak memelukku dengan hangat? Kapan terakhir kali Bapak menggendongku? Dari pengalaman itu aku belajar, bahwa MEMELUK adalah hal sederhana tetapi dampaknya sangat luar biasa bagi kebahagiaan seorang anak. 

Aku masih terus berusaha berdamai dengan diri sendiri, membiasakan diri dengan hal-hal yang sebelumnya tak pernah kudapatkan, tetapi hari ini harus kuberikan pada anak-anak. 

Itu karena, aku tak ingin menurunkan luka yang sama pada mereka. Jika pun ada, kuharap itu takkan membekas sama sekali di jiwa mereka. Tak lebih karena keterbatasanku sebagai manusia biasa. Paling tidak, aku berusaha sebaik yang kubisa.



Sungguh, seseorang yang memiliki trauma karena kerap beroleh pukulan fisik, verbal abuse, bullying, kemudian tumbuh dewasa dan menjadi orang tua.. bukan hal mudah ketika harus melawan diri sendiri, dan mengalahkan itu semua. 

Setiap orang yang pernah memiliki pengalaman kekerasan, juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Itu yang sedang kuupayakan, bagaimana cara agar rantai pola itu terputus tuntas. 

Sebab ada kebahagiaan anak-anak yang menjadi tanggung jawabku.

Jika aku terluka dengan semua trauma itu, maka aku tak boleh menurunkan luka yang sama pada anak-anak. 

Semoga Allah ridha, semoga Allah ijabah, semoga Allah mudahkan diri dalam menjemput kebaikan demi kebaikan dalam proses healing yang dijalani saat ini. Setelah pulih, aku tak perlu alasan apapun untuk mencintai anak-anak dengan PENUH dan SADAR. Sebab cinta seorang ibu tak mengharuskan alasan apapun. Ia datang dari hati, ketulusannya memancar di setiap tindak, laku, sikap, ucapan, mimik wajah bahkan pula bahasa tubuhnya.

Di dalam diriku ada anak kecil yang terluka, namun di dalam diriku juga ada seorang ibu yang sepenuh cinta, berusaha pulih demi anak-anaknya.



Untukku, untukmu, yang mungkin sama terlukanya karena trauma yang terbawa hingga dewasa.. jangan menyerah, ya. Teruslah percaya bahwa luka dihadirkan tak semata membawa derita, melainkan ada banyak pembelajaran berharga yang hadir bersamanya. Fa inna ma'al 'usri yusra. Bersama kesulitan ada kemudahan. Bersama ujian, pasti ada pembelajaran beserta pengalaman yang bertambah, semata untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik lagi.

Bismillah biidznillah..


Thanks to husband, udah jadi support sistem terbaik.. barakallahu fiik 💗

___________________________________


Magelang, 13 Agustus 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

1 Komentar

  1. Masya Allah, mbak. Maaf, aku menangis membaca tulisan ini. Aku sedang melewatinya, sedang mengasuh anak pertama berusia 1 tahun. Mohon doanya aku bisa sekuat mbak ya.. 💖🙏

    BalasHapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)