Kalau diingat-ingat, sejak kecil aku memiliki kebiasaan menulis jurnal buku harian. Itu dimulai sudah sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, kelas tiga kalau tak salah. Semakin intens saat duduk di kelas lima kemudian berlanjut di menengah pertama. Banyak hal yang tak bisa kusampaikan lewat lisan, tertuang di buku harian pribadi. Terlebih aku tumbuh di keluarga dengan prinsip patriarki yang cukup kental. Bagiku yang terlahir sebagai anak perempuan dari mamak dan bapak, aku menerima pola asuh yang melarang keras anak perempuan bersuara bahkan ketika sekedar menyampaikan gagasan di tengah keluarga.

Kendati semakin ke sini, tentu saja pola itu pelan-pelan berangsur berkurang dengan seiring waktu. Selain karena orang-orang yang mulai terbuka seiring perubahan zaman. Akan tetapi banyak pula yang mulai teredukasi lebih baik, sampai pada keberanian untuk merubah keadaan yang ada.

Aku melihat adik-adik di bawahku mendapatkan kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi sesuai kehendak mereka, kebebasan menjalani hak mereka, setidaknya jauh lebih baik dari apa yang kuterima dulu.

Tak heran, di masaku.. sikap kritis yang kutunjukkan lebih dinilai pada pembangkangan, sikap melawan, dan terkesan frontal di mata keluarga. Apalagi nenek dari pihak ibuku sama sekali tak memberi tempat bagiku, sebagai cucu perempuan.

Beruntungnya, aku kemudian mengalihkan seluruh isi pikiran tersebut ke buku harian. Dari hal-hal sepele terkait rutinitas apa saja yang kujalani hari itu, sampai pada berbagai emosi yang hadir di dalamnya, kucatat rinci hingga harus menghabiskan berlembar-lembar buku harian.

Tumbuh remaja pun, aku ingat persis betapa berdiam diri di kamar.. mencatat di buku harian, menatap poster-poster yang kutempel di dinding, membuat map planning perencanaan hidup, bahkan sampai pada berbicara pada diri sendiri... sepertinya sudah menjadi kebiasaan yang membuatku nyaman dengan diri sendiri tatkala menepi dari banyak orang. Aku sendiri tak begitu senang berada di tengah-tengah keluarga.

Selain karena kerap merasa terdiskriminasi dengan perbedaan yang ada, orang-orang di dalam keluargaku.. waktu itu lebih sering menunjukkan sikap judmental. Tentu saja aku tak sedang menyalahkan situasi saat itu. Terlepas dari apapun alasan, cara, dan penilaian mereka. Tetapi paling tidak, apa yang pernah kuhadapi membentuk beberapa pola sehingga menjadi kebiasaan sekaligus kecintaan yang terus berlanjut hingga kini. Diantaranya adalah menulis, dan membaca buku-buku.

Bahkan ketika orangtua bercerai pun, aku kemudian memiliki berbundel-bundel buku harian yang berisi catatan dari segala bentuk perasaan yang tak bisa diungkapkan keluar. Barangkali itu pula yang menyelamatkan mentalku saat itu. Kendati masa-masa sulit dihadapi, ketika tak ada satu pun sosok yang bisa dijadikan teman bercerita, satu-satunya sahabat akrab yang menemani adalah buku diary.

Kemudian di 2011, aku mulai mempublikasikan tulisan lewat digital. Beberapa karya turut terbit dalam bentuk buku. Pun aku masih sering menulis jurnal, setidaknya sampai anak pertamaku lahir. Setelahnya bahkan hingga sekarang, aku hanya menulis sebagian besar pada memo HP, grup WhatsApp yang beranggotakan diri sendiri, termasuk menulis di laman blog.

Hanya saja, setiap tahun.. aku masih membeli buku agenda pribadi. Kendati catatan di dalamnya lebih pada tanggal atau reminder terkait momentum penting, daftar planning, dan seringnya berisi catatan dari materi kajian yang kuikuti baik di lingkup tarbiyah maupun secara virtual.

Mungkin karena aku berkutat dengan kehidupan sebagai seorang istri sekaligus ibu, sebagian besar waktu dan konsentrasi teralihkan pada kewajiban yang harus dilakoni dalam keseharian. Kadang-kadang, aku tak memiliki cukup waktu untuk menulis. Karena jika pun waktu itu ada, aku mulai terdistraksi pada hal lain. Seringnya karena kelelahan fisik, menulis jurnal seperti mengharuskan energi lebih tercurah pada saat itu. Jadi aku memilih untuk melakukan hal lain. Kendati cara tersebut terkadang tak sepenuhnya berhasil.

Akhirnya beberapa emosi terpendam begitu saja. Ada yang dapat terdistraksi dengan baik. Kadang bisa kuceritakan pada pasangan pada sesi pillow talk menjelang waktu tidur malam kami. Terkadang pula, ada hal-hal yang menjadi pemicu hingga meledakkannya, ketika terakumulasi sekian banyak, dan telah memenuhi gudang jiwa.

Tak bisa dipungkiri, menulis jurnal pernah menjadi bagian yang sangat bermakna bagiku. Dari pada bercerita pada orang lain, aku pernah begitu tertutup, dan buku harian adalah satu-satunya pelarian selain bercerita pada-Nya.

Ternyata, menulis buku harian memiliki dampak positif ya. Meski aku rindu masa-masa menghabiskan berlembar-lembar buku catatan untuk menulis diary, tetapi bisa terus menulis, dan berbagi di wadah manapun yang kuingini, hal itu pun sudah sangat membantu hingga sekarang.

Aku nyatanya masih rutin melakukan bentuk katarsis yang kucintai ini, seperti menulis di blog, sebagian curcolan pribadi di laman sosmed, maupun membuat feed konten untuk Instagram yang sebenarnya lebih pada reminder untuk diri sendiri..

Aku juga masih sering membaca buku, ini kegiatan yang kupilih ketika menulis atau menonton film tak sedang kujadikan pilihan untuk mengisi me time.

Sayangnya, membahas soal jurnal harian.. setelah menikah sebagian buku diary pada saat remaja telah kubakar. Suami bahkan pernah menangis ketika membaca isi tulisanku. Lagi pula ada banyak jejak luka, trauma, dan cerita-cerita yang mengingatkanku pada moment menyakitkan di masa lalu yang pada waktu itu sekuat tenaga ingin kuhapus begitu saja.

Hanya saja, memory paling utuh masih terekam dengan baik di folder lawas dalam otakku. Pelan-pelan aku mulai berdamai dengan itu semua, dengan cara yang lebih baik tentunya. Bukan berarti dulu, aku belum berdamai dengan itu. Hanya saja caraku bisa dibilang belum sepenuhnya benar. Dulu, aku memilih berdamai dengan cara melupakannya. Tetapi kali ini, aku berproses untuk mengolah kembali seluruh pengalaman dari ingatan-ingatan itu untuk menjadikannya sebagai self healing terbaik.

Aku tak memaksa ingatanku untuk terkubur begitu saja. Aku tak memaksa diri untuk terlihat baik-baik saja. Aku juga tak berusaha menepis lagi kenangan-kenangan yang muncul ke permukaan, kendati itu masih terasa menyedihkan.

Dari kepompong, menjadi ulat, pada akhirnya nanti.. aku optimis untuk bermetamorfosa dengan indah. Sesuai makna nama Bianglala Hijrah yang kupilih sembilan tahun lalu.

Dari menulis, aku membaca bagaimana pola dalam pikiranku sendiri.. bagaimana aku bereaksi terhadap masalah-masalah yang terjadi di hidupku. Juga seperti apa solusi yang berusaha kuuraikan dengan caraku sendiri.

Dari menulis, aku tahu kapan aku benar-benar tengah membaik, dan kapan kondisiku tak sedang baik-baik saja.

Dari menulis pula, berbagai hal pelik, kejadian-kejadian tak mengenakkan, lebih bisa kupahami lewat perspektif berbeda. Sebab aku yang menulisnya, aku yang menganalisanya, aku pula yang menarik kesimpulan baik dari itu semua.

Journaling for healing, aku bersyukur seluruh perjalanan itu membentukku sedemikian rupa hingga pada saat ini. Aku beruntung, menulis menjadi satu di antara katarsis yang sejak dulu menjadi bagian dariku.

Aku sungguh berterima kasih pada diriku di masa itu.. yang memilih mencatat seluruh isi pemikirannya, perasaannya, juga kata-katanya yang tertahan pada buku harian. Karena setelah itu, dia benar-benar mampu sedikit menegakkan punggung, dan berdiri kuat menopang hidupnya sendiri.

Aku berterima kasih pada sosok remaja yang kala itu begitu kesepian, yang tak pernah didengarkan, yang suara-suaranya tak beroleh ruang bahkan kerap kali dipotong. Remaja yang bersahabat dengan dirinya sendiri, yang menangis hingga tertawa sembari memeluk dirinya sendiri.. dulu, di pinggir jendela kayu kamarnya. Masa-masa yang saat ini sesekali membuatku rindu, ingin sekali mendekap gadis remaja itu. Mengatakan padanya tentang betapa hebatnya dia. Sebab di waktu itu ia sendiri telah memahami, bahwa dalam segala situasi, di kondisi bagaimanapun.. sahabat terbaik bagi dirinya, adalah diri sendiri.

Tak ada yang benar-benar bisa memahami, sepenuhnya peduli, seterusnya berbuat baik, kecuali dari diri untuk diri sendiri.

Karena terkadang, percuma sih bercerita pada orang lain yang tak memiliki kapasitas maupun kapabilitas yang baik sebagai pendengar.. beberapa orang mungkin tampak peduli tapi tak sepenuhnya memahami, beberapa ada yang barangkali terpaksa tampak peduli karena sebenarnya didorong rasa ingin tahu belaka, beberapa lagi ada yang bahkan sama sekali tak memiliki kemampuan mendengarkan dengan baik hingga salah persepsi.

Jadi, mungkin hingga sampai menua pun.. dalam banyak kejadian dan kondisi yang dihadapi, aku akan tetap menulis. Terus menulis apa-apa yang ditemui di sepanjang perjalanan hidup. Sebab menulis adalah suara-suara dari cerita perjalanan itu. Kata-kata yang tak cukup hanya sekedar diumpamakan. Kata-kata yang kadang sulit tersampaikan.

Bagi siapapun yang berjodoh dengan apa-apa yang kutulis di sini, semoga dari setiap postingan.. ada manfaat, ada hikmah, ibrah, atau secebis kebaikan yang dapat dipetik. Terima kasih sudah singgah, dan mau membacanya.


 

Dan teruntuk diriku, terima kasih. Selamat bertumbuh, dan kian bijaksana. 


#JurnalPulih

#BiPOLAR

________________________________


Magelang, 19 Oktober 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

1 Komentar

  1. Aku jadi tahu kenapa semua tulisan2 mba di sini, walo panjang, sedikiiitpun ga pernah aku skip, Krn memang alurnya yang bagus dan memikat dibaca. Ternyata karena kebiasaan menulis jurnal sejak dulu, yg bikin tulisan2 mba kayak berjiwa ❤️, ditambah ini semua pengalaman pribadi 🤗.

    Tetap menulis kalo ini memang bisa menjadi healing buat mba. Aku memang ga ngerti masalahnya, tapi membaca ini, bikin aku lebih bisa simpati dengan masalah2 yg orang lain hadapi. Kuat selalu ya mba ❤️

    BalasHapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)