Refleksi: Keberuntungan Kita yang Ciptakan, atau Allah yang Memberikan Ketetapan?
"Saya tidak percaya kepada keberuntungan. Karena keberuntungan adalah ketika kesempatan bertemu dengan kemampuan. Kemampuan bisa diasah, kesempatan bisa dicari... jadi keberuntungan itu pada dasarnya bisa diciptakan."
Kalimat yang berasal dari Deddy Corbuzier yang disampaikan kembali oleh bintang tamu beliau pada salah satu podcastnya. Kalau dilogika memang sepertinya masuk akal. Tapi terlepas dari semua kemungkinan itu, aku percaya ada kekuatan lain yang bekerja di luar dari kuasa kita. Ketetapan-ketetapan yang memang berlaku sebagaimana yang kita kehendaki, akan tetapi kadang pula bisa tak berjalan seperti keinginan, meski kemungkinan yang disebut di atas sudah terpenuhi.
Betapa memang, manusia bisa saja menciptakan peluang keberuntungan itu sendiri... tapi tanpa mengandalkan doa dan tawakal pada-Nya, hal-hal yang kemudian dapat tercapai tak lebih dari sekadar ambisi tanpa menyertakan Dia di dalamnya.
Jadi, sebutlah bahwa keberuntungan yang kita peroleh itu pun, sebenarnya tak lepas dari kebaikan dan ketetapan Allah yang Maha Baik. Dia yang menyampaikan kita pada satu persatu asa. Pada tiap keinginan yang semula hanya serupa impian yang baru setakad diperjuangkan, hingga akhirnya mampu terealisasikan.
Betapa setiap hal yang terjadi di kehidupan ini, bergerak, berputar sesuai poros dan berjalan tepat mengikuti ritme semestinya, saling berkaitan satu sama lain, semuanya tak lepas dari iradah Allah.
Adanya malam dan siang, adanya hal-hal yang berkebalikan namun pada dasarnya tercipta agar seimbang dan saling selaras di kehidupan, semua tak luput dari campur tangan Allah.
Jika kemudian kemampuan yang kita miliki, yang memang sekian lama kita asah pada akhirnya bertemu dengan momentum kesempatan yang tepat, lagi-lagi tak lepas dari kebaikan Allah.
Bahkan jika ingin menilik surah Ar-Ra'd, Allah pula yang menyampaikan kabar baik itu. Bahwasanya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum atau pun seseorang, hingga ia sendiri yang bergerak menuju perubahan baik tersebut. Pun jika Allah menghendaki keburukan terhadapnya maka tak ada yang dapat menolak itu, sebab hanya Allah pula sebaik-baik pelindung bagi manusia.
Sangat mungkin keberuntungan diraih dengan kemampuan beserta momentum yang tepat, tapi semoga kita tak lupa bahwa bukan kita yang hebat atas itu, melainkan Allah yang memampukan. Allah yang menyampaikan. Allah pula yang memiliki ketetapan-ketetapan di luar dari persangkaan kita.
Dengan begitu, pada saat terbentur dengan kepayahan dan ketidakberuntungan, kita tak menyalahkan nasib atau pun Dia sebagai si pemilik ketetapan mutlak atas apa-apa yang berlaku di kehidupan ini.
Pun tatkala kita sampai pada pencapaian terbaik yang memang kita inginkan, bahkan dengan perjuangan yang sebelumnya telah berdarah-darah, jatuh bangun, direndahkan, terkalahkan, terpuruk di kedalaman... kita tak lupa mengucap hamdalah. Dan berbisik dengan sebaik-baik syukur, bahwa pada Allah lah rasa terima kasih layak kita haturkan terlebih dahulu.
Bisa jadi kemudahan yang terbuka adalah jawaban doa yang Allah perkenankan bagi kita.
Bisa jadi bantuan yang datang dari manusia lainnya, adalah juga Allah yang menggerakkan hati orang tersebut kepada kita.
Bisa jadi kebuntuan yang semula menghambat upaya kita untuk bersegera mencapai keberhasilan, Allah jua yang telah menyingkapkan tabir-tabir itu. Memberikan kepada kita pemahaman, membukakan mata hati dan akal kita untuk mampu memahami hikmah yang terselip dari tiap pengalaman beserta kejadian yang datang.
Ya, kita memang bisa mencipta keberuntungan itu lewat berbagai peluang yang datang di depan mata. Sebab Allah juga yang menghendaki demikian. Allah tak menghendaki seorang pun hamba berputus asa dari rahmat dan pertolongan-Nya. Allah ingin kita bergerak dan bersegera menuju kebaikan demi kebaikan lain, tak berhenti pada satu kebaikan, tidak stuck di tempat dan hanya begitu-begitu saja.
Allah sungguh menginginkan setiap kita beroleh kebaikan itu, tetap berproses dan memiliki progres, bisa sampai pada kebaikan yang dituju, kendati jalannya mungkin tidak semua sejalan dengan versi keberuntungan yang kita kehendaki. Sebab tak jarang, keberuntungan itu bisa jadi berwujud kemudahan demi kemudahan tersendiri, bukan?
Aku jadi berpikir, beberapa tahun lalu aku barangkali termasuk orang yang tak beruntung. Jika beruntung itu sendiri didefinisikan sebagai suatu sikon yang pas sesuai dengan kelayakan yang ada dalam tolok ukur manusia. Ada pula waktu di mana naskah-naskah yang kutulis ditolak oleh pihak redaksi atau pun penerbit.
Jika di waktu itu aku hanya berpikir bahwa keberuntungan mutlak hanya datang dari buah upayaku sebagai manusia, aku akan menganggap ketidakberuntungan itu sebagai bentuk lain dari kesialan. Aku mungkin akan menyerah di jalan yang semula kuyakini sebagai kelebihan terbaik yang Allah berikan padaku. Barangkali pula, aku akan berhenti melakoni profesi ini sebagai bidang yang dicintai sepenuh hati.
Hanya ketika aku berpikir, bahwa keberuntungan itu barangkali pula adalah perkara keberhasilan yang tertunda, sebab kemampuan yang terasah pun kadangkala bisa saja bertemu dengan momentum yang tak tepat. Apa contohnya? Ketika tulisan terbaikku mendarat di pihak penyelenggara lomba yang tak amanah. Bukan murni lomba yang berpotensi, tetapi lebih ke lomba yang dikomersilkan penyelenggaranya.
Pada saat keyakinan tumbuh bahwa setiap hal tak lepas dari iradah-Nya.
Aku bersegera membangun optimistis dari kekecewaan yang muncul tadinya.
Kubisikkan keyakinan itu ke dalam dada, bahwa setiap pencapaian memiliki time line waktunya sendiri. Bahwa ada usaha-usaha manusia yang kendati dilakoni secara jujur, meski dengan kesempatan yang baik, pun disertai kemampuan yang mumpuni, ada kalanya tetap bisa berbentur dengan ketidakberuntungan.
Maka tugas kita adalah menyerahkan setiap tumpu keyakinan hanya pada-Nya.
Tak semata-mata meyakini bahwa kemampuan kita sudah jauh melebihi sebelumnya, bahwa kesempatan baik itu seharusnya menjadi momentum yang membuahkan kemenangan, tetapi kembali pada keyakinan bahwa apapun yang sampai atau belum sampai kepada diri tak lepas dari campur tangan Allah di dalamnya.
Bahwa hanya Allah yang lebih tahu apa-apa yang terbaik bagi diri, sebelum menetapkan sesuatu hal itu dapat kita miliki.
Maka.. teruntuk hal-hal yang berjalan sesuai kehendak, Allah lah yang punya iradah.
Kepada hal-hal yang masih bertolak belakang dengan harapan, Allah barangkali hanya menundanya untuk beberapa waktu. Menunggu kita siap, menunggu kita tertempa terlebih dahulu, menunggu momentum keberhasilan itu tak hanya melahirkan manusia dengan kalbu yang menuhankan ambisi maupun usahanya, tetapi tetap mengembalikan segala sesuatu pada Dia si penggerak apa-apa yang kita rasa mampu perjuangkan sendiri, maupun setiap hal yang tak berada di lingkar kendali kita sebagai manusia biasa.
Jadi kendati tak menyalahkan statement yang menjadi pembuka tulisan ini, aku hanya ingin menyempurnakan spekulasi tersebut agar tak ada yang meyakini secara mentah. Akan tetapi menyadari benar-benar.. semua yang ada di atas muka bumi dan penjuru langit, berada dalam genggaman-Nya. Allah lah pengatur segala hal yang tampak maupun tak tampak, dari tiap hal yang sampai atau masih terhijabi dari akal pemahaman manusia.
Sebab kapasitas manusia pun ada batasannya sendiri. Dalam hal apapun itu.
Back to Allah. Lillah, Billah, Fillah.
Terima kasih. Semoga catatan refleksi ini bermanfaat.
________________________________
Magelang, 28 Juli 2023
Copyright: www.bianglalahijrah.com
0 Komentar
Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)