Besar kecil, tinggi pendek, kaya miskin, terhormat nista, kadang hanya soal sudut pandang. Sudut pandang itu penting, sebab sebagus apapun sebuah gambar jika kita melihatnya dengan sudut pandang terbalik, pasti menjadi jelek. Begitu juga dengan permasalahan di hidup kita. Bisa jadi banyak yang berawal dari sudut pandang yang keliru. -Bunda Muren.S

 


Speechless. Baru tadi sore aku dan suami berbincang-bincang tentang banyak hal. Dari apa yang kutulis di weblog ini, berbagi potongan puzzle dari ingatan masa lalu terkait penyebab inner child, sampai pada kemungkinan 'tanggapan negatif' orang lain terhadap apa yang aku tulis.

Sebab bukan tak pernah, sesuatu yang kutulis mendatangkan persepsi lain dari orang yang membacanya. Terlebih jika orang tersebut memang punya ketidaksukaan terhadapku, barangkali.

Ketakutan-ketakutan yang sebenarnya tak harus ada. Sebab apa yang kutulis, melalui tahapan pertimbangan, renungan, pengendapan, sampai aku benar-benar siap membagikan suatu tulisan yang melibatkan pengalaman pribadi di dalamnya.

Karena itu, aku sering mendiskusikan ide atau hasil tulisanku pada suami. Sewaktu-waktu beliau menjadi first reader juga bertugas sebagai kritikus dari apa yang kutulis. Memilah mana yang salah, menilai bagian apa saja yang tak masalah untuk dipublish. Terkhusus tulisan yang mengangkat topik pengalaman pribadi yang di dalamnya melibatkan keluarga dan orang tua.

Aku paham, ketika memutuskan untuk 'speak up' dan menyodorkan sebuah kisah di hadapan publik. Sesuatu yang bisa saja dibaca dan disaksikan banyak orang, akan ada konsekuensi tersendiri yang harus dihadapi. Sebab ada sekian pasang mata yang turut membaca. Orang-orang ini bisa saja berseberangan pendapat denganku. Berangkat dari isi kepala kami yang berbeda, karena pengalaman dan pengetahuan yang didapat juga berbeda jangkauannya. Termasuk pula perspektif yang dari sebagian orang.. hanya mengikuti prasangka di dalam kepalanya saja.

Mungkin juga ada yang menjudge dengan kalimat negatif yang menyudutkan, seperti..

"Membuka aib sendiri.."

"Membuka aib keluarga.."

dan lain sebagainya ..

Itu konsekuensi. Aku tak bisa menangkis prasangka orang lain atau menyaring persepsi macam apa yang mereka sodorkan tentang pribadiku juga niat dibalik apa yang telah kutulis.

Sedihnya, jika orang lain mungkin terburu-buru membuat penilaian dan mematahkan perasaan seseorang yang hanya ingin membagikan secuil pengalaman tidak manisnya untuk menjadi jendela pemahaman sekaligus pembelajaran bagi orang lain 'tanpa harus mereka yang melaluinya'.

Tentu bukan karena merasa diri yang sudah hebat, luar biasa, atau seseorang yang unggul dalam ranahnya. Bukan. Sama sekali tidak.

Bukankah untuk berbagi kita tak memerlukan sebundel sertifikat penghargaan sebagai bukti kelayakan diri? 

Kita tak memerlukan persetujuan siapapun, sekalipun sebatas pada pengakuan belaka.

Jika sudut pandang yang kamu pakai terbalik ketika menilai dan menelaah apa yang kutulis, beserta pesan apa yang sedang ingin kubagi, barangkali akan terdapat banyak hal keliru di sana. Sebab kamu tak melihatnya dari sisi yang benar dan sejajar denganku. 

Mengapa tidak membenahi sedikit saja sudut pandangmu itu?

Karena tak pernah mudah bagi seseorang apalagi jika ia perempuan berlabel ibu, istri, atau anak dan menantu tatkala hendak membagikan kisahnya. Tetapi jika kisah-kisah itu dapat menghantarkan hikmah bagi hati yang terbuka, menguatkan mereka yang sedang lemah, mengapa harus disimpan untuk dikubur bersama diri di pelukan bumi nantinya?

Apa salah jika seseorang membagikan kisahnya sebagai penguat dan pengingat bagi diri sendiri, dan mungkin juga orang lain yang membacanya? 

Akan tetapi, budaya kita sering membabi buta mematahkan suara-suara yang ingin berbicara. Mereka langsung berteriak,

Tabu!

Saru!

Tak pantas!

dan ujaran prasangka lainnya..

Kamu mungkin tak tahu, suara-suara itu bisa saja muncul dari bilik hati terdalam yang membutuhkan uluran bantuan, butuh untuk dipahami, butuh untuk diberi solusi. Sedikit saja pemakluman, bahkan jika mungkin terdapat kesalahan ada banyak sekali cara yang lebih santun dalam mengingatkan sebelum mentah-mentah memberikan penghakiman dan 'merasa berhak' menilai kualitas pribadi seseorang.

Hanya karena..

Bukan kamu yang berada di posisi sulit seseorang, bukan berarti kamu harus mengecilkan kesulitannya.

Hanya karena..

Bukan kamu yang Allah timpakan berbagai masalah dan ujian yang bertubi-tubi mendera kehidupan, tak lantas kamu harus menyepelekan permasalahannya.

Hanya karena..

Bukan kamu yang mengalami langsung berbagai pengalaman traumatis seseorang, pengalaman yang sebenarnya telah ia kubur sekian lama hingga tumbuh keberanian untuk terbuka pada dunia.. tak berarti suara itu juga harus kamu timbun dan bungkam begitu saja.

Hanya karena..

Kehidupan yang kamu lalui mungkin berjalan baik-baik saja, tak berarti kamu berhak menghakimi hidup orang lain beserta pilihan-pilihan yang ia jalani. Termasuk mengerdilkan potensi kebaikan yang seseorang punyai.


Bersyukurlah.. jika bukan kamu yang melalui semua itu.


Mungkin, setiap kita perlu belajar untuk tak buru-buru men-judge apapun yang kita baru 'sebatas' tahu tanpa pernah benar-benar memahami detil kisah secara keseluruhan. Tanpa mencoba melihatnya dari sisi yang utuh dan menyeluruh. Maka mari berbijaksana :)

Bahkan ketika, pendapatku dan pendapatmu berbeda.

Perspektifmu dan sudut pandangku berbeda.

Ketika kamu sampai di laman ini. Ini rumah di mana suaraku memiliki ruang untuk berbicara. Rumah bagi aspirasi-aspirasiku. Wadah ketika rasa, kata, dan makna tak selalu terungkap oleh lisan. 

Jika tak sependapat itu bukan masalah. Selama apa yang kutulis tak merugikan pihak manapun. 

Bagiku menuliskan secuil atau mungkin sebagian kisah traumatis yang pernah dilalui, adalah sebagai penguat dan pengingat, bahwa aku pernah di titik itu untuk menjadi lebih tegar. Lebih memiliki empati pada luka orang lain. Agar aku sendiri tak mudah menghakimi permasalahan orang lain hanya dari keterbatasan pengetahuanku maupun pengalamanku yang sebatas menilai hanya dari satu sisi saja.

Mengutip quote-nya Tere Liye;

Ketika kita memilih hidup dengan topeng, dan orang-orang menyukainya.. maka sesungguhnya itu masalah kita. Tapi ketika kita tampil apa adanya, dan orang-orang ternyata tidak suka, atau bahkan membenci. Maka sesungguhnya itu masalah mereka. Pahamilah perbedaan kedua hal ini. 

Dan terakhir, aku tak sedang berusaha menjadi orang lain atau sosok yang berbeda. Aku hanya sedang berusaha tampil sebagai diriku yang sebenarnya, apa adanya diriku dengan pengalaman-pengalaman yang kupeluk hingga detik ini sebagai pembelajaran paling berharga.

Ini aku, entah kamu terima atau tidak. Entah kamu suka atau tidak.

Menjadi berbeda bukanlah dosa. Aku tak perlu sesempurna ekspektasi yang diharapkan semua orang selama itu tak menyakiti diri kita satu sama lain 😊

Mari belajar untuk tak tergesa-gesa membuat penilaian terhadap siapapun dan apa saja. Karena bisa jadi kita yang salah memakai sudut pandang terbalik.


You never really understand a person until you consider things from his point of view.


_____________________

Magelang, 17 Juni 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

0 Komentar