Seberapa sering kita terluka sepanjang bertumbuh dari masa kanak-kanak hingga menjadi dewasa? Seperti apa respon kita pada setiap permasalahan yang muncul dalam kehidupan selama ini? Pernah berpikir tidak? Kalau mungkin apa yang kita rasakan saat ini, bagaimana kita memandang dunia, seperti apa kita menilai sebuah masalah, sebagian besar bisa saja dipengaruhi oleh inner child dalam diri yang belum sepenuhnya sembuh. Sekaligus menggambarkan seperti apa kondisi inner child itu di dalam diri kita.

Bagaimana bisa sembuh, jika kita sendiri telah begitu lama melupakannya. Menyangkal kehadirannya. Dan sibuk menjadi orang dewasa yang dituntut hidup normal, sesempurna ekspektasi orang lain. Melupakan suara-suara dari dalam diri karena merasa itu bukan sesuatu yang wajar dan harus ditanggapi. 

Persis seperti apa yang kita alami di masa kecil setiap kali menangis, kemudian orang tua sesegera mungkin menyuruh kita berhenti menangis dengan ucapan "Jangan nangis lagi ya.. Udah diem! Nggak boleh cengeng!". Padahal menangis adalah respon alami dari tubuh terhadap apa yang saat itu dirasakan. Kita bisa menangis bukan hanya saat merasakan kesedihan tetapi juga tatkala merasakan bahagia. 

Jadi sejak kecil, alih-alih kita belajar untuk merangkul perasaan itu, memahaminya, dan menerimanya dengan penerimaan yang lebih layak. Kita sering diminta untuk menyangkalnya dan memaksa diri untuk tampak baik-baik saja walau sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

Setelah bertumbuh dewasa, kita membawa sebagian pengalaman itu yang membekaskan luka batin. Ada inner child dalam diri yang sekian lama disangkal, ditolak, dan terus menerus ditutupi kehadirannya ternyata menimbulkan permasalahan di dalam diri. Kita lantas mulai merasa bahwa ada yang tak benar. 

Begitu pula yang aku rasakan sejak lama. Hanya saja, sebelum ini aku tak tahu harus melabeli inner child/perasaan negatif yang dirasakan dengan nama apa. Setiap kali berurusan dengan orang-orang yang berasal dari kehidupanku di belakang sana, bahkan sekalipun itu keluarga, aku selalu merasa luar biasa sakit. Saat itu aku tahu bahwa ada beberapa hal yang belum tuntas dalam diriku.

Terlebih ketika depresi saat baru saja melahirkan anak pertama. Setiap kali ada pemicu, slide ingatan masa lalu menghadirkan berbagai potret kejadian yang menyakitkan karena membersamai tumbuhku selama ini. Aku menjadi mudah marah. Ucapan yang terlontar dari candaan orang lain kutangkap sebagai guyonan yang menyakitkan hati, karena cepat sekali tersinggung. Di satu sisi, aku tak percaya diri. Ada perasaan kosong yang sedang berusaha kututupi tanpa tahu harus berbuat apa. Ada suara-suara yang serupa delusi, seakan-akan seisi dunia bisa saja menyakiti.

Aku pun mulai mencari tahu, apa yang sebenarnya salah. Perasaan apa ini sebenarnya? Bagaimana cara memahami gejolak rasanya juga emosi yang pasang surut melanda.

Oh ternyata, perasaan itu tak lain adalah imbas dari luka batin masa kanak-kanak yang sekian lama terluka tanpa pernah disembuhkan. Aku pelan-pelan belajar merangkul sisi kanak-kanak di dalam diri. Dimulai dengan mempelajari apa yang dimaksud dengan Inner Child dan berbagai hal terkait dengannya.

Jadi, ada apa dengan Inner Child?

Luka batin atau dalam istilah praktisi psikologi juga disebut primal wounds adalah luka emosional yang kita pendam dan berakar dari masa kanak-kanak. Dari inner child ini sekumpulan pengalaman ketika masih kanak-kanak tersebut, entah itu baik atau buruk, turut membentuk kepribadian kita di masa dewasa.

Bagaimanapun kita berusaha lupa, ia sudah tertanam di alam bawah sadar. Mempengaruhi bagaimana kita bersikap dan merespon suatu masalah. 

Mengapa inner child yang buruk bisa menjadi masalah bagi seseorang? Salah satunya karena tidak ditangani dengan baik. Kemudian muncul perilaku destruktif yang sangat mungkin terjadi. Seperti ketika kita mulai berpikiran untuk menyakiti diri sendiri. Cenderung bersikap kasar. Hingga pada tindakan kekerasan sebab hilangnya kendali atas diri sendiri.

Apa inner child bisa kita lupakan? Mustahil. Sebab jika bisa, mungkin takkan ada orang-orang yang bermasalah dengan kehidupan dewasanya oleh karena inner child itu sudah berhasil dilupakan. Melupakan berbeda dengan menyembuhkan. Hanya lupa, berarti kita sekadar tak ingat pada pengalaman macam apa yang pernah dialami. Namun luka batin atau jejak traumatisnya bisa saja masih bercokol, mengakar, dan berimbas pada karakter kita ketika dewasa.

Inner child seperti sejarah yang membentuk diri kita. Bahkan tak sepenuhnya bisa disembuhkan, dan tak juga bisa dirubah. Kita hanya punya pilihan untuk merangkul inner child tersebut, mengakui bahwa ada sisi anak kecil di dalam diri kita yang terluka dan tak bertumbuh dewasa ketika kita sendiri bahkan sudah tumbuh dewasa. Jalan terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengasuh inner child dalam diri, untuk sama-sama sembuh dan bertumbuh lebih baik.

Apa yang menyebabkan Inner Child terluka?

Ada banyak sebab mengapa inner child dalam diri seseorang menjadi terluka. Penyebabnya bisa jadi berakar dari pola asuh yang diperoleh dalam keluarga. Kasus pada tiap orang juga berbeda. Tetapi ada lima penyebab luka batin masa kecil yang tanpa sadar terbawa pada diri kita hingga dewasa seperti yang dirangkum oleh akun Biro Psikologi Dinamis. Diantaranya:

- Abandonment

Ditelantarkan oleh orangtua dan keluarga, diabaikan, ditinggalkan ketika masih kanak-kanak dan masih sangat membutuhkan peran orangtua sebagai pengasuh utama dalam lingkup keluarga.

- Rejection

Pernah mengalami penolakan oleh lingkungan, lingkup pertemanan, terutama keluarga.

- Humiliation

Pernah mendapat penghinaan, tindakan bullying, sampai pada dilabel negatif. 

- Betrayal

Dikhianati oleh orang yang paling dipercaya.

- Injustice

Mendapat perlakuan tidak adil oleh lingkungan sekitar

Setiap orang pasti memiliki inner child dalam dirinya, sebagai representasi dari sosok anak kecil di dalam diri kita. Betapapun sakitnya, menyadari sesuatu hal yang keliru di dalam diri adalah langkah awal untuk menyembuhkan diri dan berdamai dengan semua yang telah berlaku di belakang sana.

Waktunya berdamai dengan Inner Child dalam diri

Hal yang pertama kali aku lakukan ketika mengetahui bahwa ada inner child dalam diri yang terluka, ialah berusaha untuk lebih memahami perasaan diri sendiri. Entah itu marah, sedih, perasaan tersinggung, ingin dipahami, sampai pada kekecewaan yang tak bisa dihindari ketika realita tak berjalan sesuai ekspektasi.

Tak mudah untuk mengungkit hal-hal yang menyakitkan terkait masa lalumu. Akan tetapi terkadang cara itu diperlukan untuk bisa lebih kuat, semakin bertambah sabar, dan menemukan pintu-pintu syukur lainnya sebab bisa bertahan sejauh ini.

Entah akan sembuh atau tidak, berdamai atau tidak, kita sendirilah yang menentukan itu dan punya kendali penuh atasnya. Kamu bisa melakukan beberapa alternatif berikut ini, yang sudah aku sendiri terapkan selama menjalani proses penyembuhan dari diri sendiri:

- Salurkan emosi negatif yang tengah dirasa

Bagaimana menyalurkannya? 

Aku bersyukur menekuni dunia tulis menulis sebagai hobby sekaligus terapi tersendiri. Kebiasaan menulis diary membantuku untuk tetap struggle dengan masa-masa sulit yang ada. Termasuk ketika ada banyak hal yang tak bisa leluasa aku ceritakan ke orang lain. Ketika lepas kendali. Hingga di titik merasa tak lagi berarti. Menulis membantuku dalam menyalurkan segala isi perasaan, dan setelahnya aku bisa membuat kalimat penutup sebagai penguat bagi diri sendiri. Sebentuk apresiasi karena telah bertahan selama ini.

- Tanyakan pada diri, kebutuhan batin macam apa yang belum sempat terpenuhi di masa kanak-kanak?

Aku melempar ingatan ke masa lalu. Mengakui beberapa hal yang memang tak kudapati selayaknya anak-anak yang lain. Tumbuh di keluarga yang keras, didikan yang lebih mengedepankan kekerasan dan pukulan, kata-kata makian, sumpah serapah, sampai pada penolakan.. adalah hal yang terjadi di masa kecilku hingga saat bertumbuh remaja.

Aku tak melalui masa remaja sebagaimana mestinya anak remaja yang menghabiskan fase itu dengan sederet pengalaman paling berkesan.

Masa kanak-kanakku begitu abu-abu untuk diingat. Betapa 'aku kecil' sangat kekurangan perhatian dan kasih sayang dari orang-orang yang dibutuhkan hadir sebagai penyokong sekaligus penguat. Terlebih ketika kedua orangtua memutuskan berpisah di usiaku yang baru tigabelas tahun kala itu.

Semakin ke sini, aku berusaha menerima diri apa adanya. Bahwa seperti apapun pengalaman yang tak sesuai kehendak di belakang sana, bukan berarti aku tak berharga. Aku tetap luar biasa.

Kamu pun juga.

- Memeluk diri sendiri

Menyembuhkan inner child tersebab luka batin masa kanak-kanak tidaklah mudah. Butuh waktu yang panjang, tidak instan, memerlukan perhatian khusus yang mungkin menghabiskan waktu seumur hidup.

Aku mempelajari satu teknik ketika berada di titik paling terpuruk beberapa bulan lalu. Yaitu meditasi diiringi musik instrumental sembari dua tangan memeluk diri sendiri dengan metode pelukan kupu-kupu (buttterfly hug). Apa saja langkah-langkahnya?

Yang pertama, menyilangkan kedua tangan di depan dada dan kedua telapak tangan berada di bahu. Pejamkan mata dan fokuskan pikiranmu. Tepuk bahumu secara perlahan selama 30 detik. Lakukan pada kedua sisi secara bergantian. Atur napas dan hembuskan pelan-pelan. Sepanjang itu, mulailah berkomunikasi dengan 'anak kecil' dalam dirimu. Sapa dia dengan lembut dan penuh perhatian. Jika ingin menangis, menangis saja. Biarkan emosi terpendam yang selama ini menyiksa dan terasa menyesakkan dada, terlepas dengan sendirinya. Semakin kencang kamu menangis, itu menandakan sedalam apa perasaan terluka yang kamu pendam selama ini. Jangan lupa untuk self-talk sekaligus salurkan afirmasi positif pada jiwa dan batinmu.

Terakhir kali aku melakukan ini, aku menghabiskan waktu nyaris satu jam untuk benar-benar menangis dan mulai mengontrol emosi dalam diri. Mudah? Tidak. Bahkan pada sebagian orang butuh pengulangan untuk benar-benar bisa merasa baik setelah menerapkan cara ini.

Lakukan ini sebagai bentuk kepedulian kita terhadap diri sendiri. Bahwa kita berharga dan sangat luar biasa!

You Can do It!!!

Fakta bahwa kedewasaan tak selalu berjalan lurus dengan bertambahnya angka usia pada diri seseorang, sebab bagaimanapun setiap kita dibentuk dari pendidikan serta pengalaman apa yang kita peroleh selama ini. Kita tak pernah bisa memilih akan terlahir di keluarga mana dan melalui perjalanan hidup yang seperti apa. Kita hari ini juga dibentuk dari apa yang kita alami ketika di masa kanak-kanak. Apa lantas kita harus menyesalinya terus menerus? Mengutuk takdir, menyalahkan diri sendiri dan siapapun yang memang seharusnya bertanggung jawab akan semua itu?

Sekali lagi, semua kesakitan yang dirasa adalah sejarah yang menjadi bagian dari diri kita pada hari ini. Tak ada yang bisa berangkat ke belakang sana untuk merubah sebagian pengalaman buruk yang terjadi. Paling tidak, dengan kita belajar untuk mengenal apa itu inner child. Kita bisa sedikit lebih memahami luka batin masa kanak-kanak kita. Memahami dampak apa yang dirasa setiap kali perasaan itu muncul ke permukaan, dan kita sudah tahu cara tepat dalam mengantisipasinya dengan baik.

Sudah waktunya kita belajar untuk merangkul semua perasaan sedih, marah, kecewa, atau bahkan sakit hati yang sekian lama dipendam. Kita berusaha lupa tetapi tidak menyembuhkan. Pada akhirnya, trigger hanya menjadi pemantik yang memunculkan kembali semua perasaan negatif itu ke permukaan dan adakalanya kita menjadi hilang kendali.

Dengar, kemudian rasakan. Apa yang 'anak kecil' di dalam diri kita katakan. Apa yang ia butuhkan? Bentuk emosi apa yang hadir bersamanya. Kejadian apa yang tiba-tiba berkelebat di dalam benak dan pikiranmu?

Sering-seringlah rekonsiliasi atau reconnect dengan inner child di dalam diri. 'Aku kecil' atau 'kamu kecil' mungkin butuh disapa, ia menuntut dipahami, kita tak pernah bisa menjadi orang dewasa yang benar-benar dewasa tanpa pernah berdamai dengan sisi kanak-kanak di dalam diri.

Apa menangani sendiri terasa sulit? Apa kamu memerlukan bantuan lebih?

Jika memungkinkan, tak ada salahnya meminta bantuan psikolog atau dokter kejiwaan untuk membantu dalam menemukan solusi apa yang tepat agar bisa sembuh, dan benar-benar menjadi orang dewasa yang berbahagia. Sekalipun harus menggali kembali pengalaman masa kecil yang kelam.

Setelahnya ...

Mulailah fokus pada apa yang memang ada di depan mata. Berhenti menjadi pengatur apa yang di luar kendali kita.

Mulailah mengembangkan diri dan jangan lupa untuk mengapresiasi diri sendiri di tiap proses yang berhasil dilalui. Tanpa pernah membanding-bandingkan pencapaianmu dengan apa yang telah diraih oleh orang lain.

Mulai lebih banyak bersyukur untuk semua yang telah berhasil kita capai, kita miliki, dan kita peroleh sejauh ini. Jangan lagi memusingkan apa kata orang terkait diri dan kehidupan yang dijalani.


Mari sembuh dan terus bertumbuh. Bismillah, kita pasti bisa! Kita dicintai, kita berharga, kita aman, kita bisa bahagia, kita luar biasa! Dariku yang juga berjuang menyembuhkan luka batin 'anak kecil' di dalam diri. Tetap semangat ya, jangan pernah patah arang! Innallaha ma'ana :)


_____________________________


Magelang, 16 Juni 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

0 Komentar