"Kau ingin merasakannya Elina?"
"Apa itu?"
"Bukan apa-apa. Aku pikir untuk memandangnya saja kau tidak akan sudi,"
"Katakanlah, aku tidak akan berlaku seburuk itu."
"Apa kau ingin merasakan cinta yang sama sepertiku?"
"Kau bercanda. Bagaimana bisa? Kau dan aku bersahabat. Ya, sahabat yang sangat menyenangkan. Aku tidak menyangka kau akan mengutarakan perasaan lain,"
"Memangnya kenapa Elina? Apa aku salah dengan perasaan ini?"
"Tidak, belum saatnya. Aku..." Rey menaruh satu jari telunjuknya di bibir ranum Elina.
 

"Aku tahu, ini mustahil bagimu. Tapi aku merasa beban itu berkurang setelah mengutarakannya padamu. Elina, aku akan menunggu. Menunggu hingga kau siap menerimaku lebih dari sebatas sahabat. Aku ingin menjadi seorang teman yang selalu menyambut senyummu saat embun merebak di sela-sela matahari pagi. Atau mengantarmu terlelap saat bintang-bintang merona malu menyembunyikan senyum atau kecemburuan mereka terhadap kau dan aku. Itu saja." Rey berlalu pergi meninggalkan Elina yang terhenyak dengan rasa yang belum sepenuhnya percaya oleh apa yang baru ia dengar.

***


Dia menghilang. Apa yang salah dariku? Aku bahkan baru saja ingin menjawab seluruh perasaan yang pernah dia utarakan padaku. Rey, apa kau marah?

Lapangan itu kosong tanpa sedikitpun terlihat sosok yang kerap menemaninya dan menebarkan rasa damai di hatinya. Elina memutar arah sepedanya. Mengayuh dengan sedikit cepat untuk segera sampai ke rumah orang yang sedang dicarinya.
Setibanya di depan rumah, dia menghempas jatuh sepedanya dan berlari membuka pagar kemudian menggedur-gedur rumah penghuninya. Tidak ada seorangpun di rumah itu. Gelap dan kosong. Seluruh gorden kaca jendela tertutup rapat. Elina merasa tungkai-tungkai kakinya mendadak lemas.

Dia duduk di tangga teras rumah, menunggu beberapa saat namun tetap saja tidak ada yang keluar dari rumah tersebut. Dia memilih untuk pulang. Setelah sebelumnya memutar arah pandangannya ke arah kertas putih yang mengusik rasa ingin tahunya. Dia melangkah ke arah di mana kertas amplop itu berada. Membukanya pelan lalu membacanya.


***

"Kau berbohong. Mengapa? Kau justru lebih menyiksaku dengan perasaan ini. Aku mencintaimu Rey. A...ku mencintaimu." Elina menangis tersedu di atas tanah yang masih merah dan basah. Tidak ada satu pun yang mengabarinya tentang kepergian Rey yang bahkan tidak akan pernah kembali. Elina menggenggam tanah itu dengan seluruh perasaan sedih yang dia tumpahkan di atasnya.

"Elina..."
"Pergi aku tidak ingin diganggu."
"Tapi, kau tidak bisa terus menerus seperti ini."
"Bukan urusanmu." Elina masih saja memandangi gundukan tanah yang ada di hadapannya tanpa menoleh sedikitpun ke arah orang yang mengajaknya berbicara.

"Elina..." gadis itu menoleh kesal. Dan tersentak kaget dengan suara yang hampir saja tercekat di tenggorokan. Menyatu dalam perasaan yang bercampur baur dengan rasa bingung, takut, juga tidak percaya dengan apa yang kini ada di hadapannya.

"Rey, kau..." Elina langsung berlari lantas memeluk Rey dengan erat.
 

*Bersambung...
===================


at Antologi "Serpihan Hati" ( 03 November 2012 )
Oleh : Putri An-Nissa Nailathul Izzah.

0 Komentar