Rini tetap mempertahankan sikapnya agar terlihat wajar dan biasa-biasa saja. Dalam hati dia berharap banyak dapat mengorek beberapa atau mungkin semua hal yang tidak pernah dia ketahui tentang laki-laki yang kini menjadi suaminya. Rini duduk di samping wanita yang tidak lain adalah ibu mertuanya. Menarik nafas sesaat untuk mulai berbicara dan menunggu waktu yang tepat.

"Bu maaf, aku tidak terlalu m
engenal suamiku, siapa dia sebelum Rini menjadi istrinya? Maaf jika Ibu tersinggung dengan pertanyaan ini," ia lalu menunduk menanti jawaban dari wanita yang ada di hadapannya. Setelah wanita itu berbicara, ia mengangkat wajahnya. Mendengar detail semua penjelasan dari ibu mertuanya.

Cukup lama ia mendengar semua yang dikatakan oleh ibu mertuanya. Lirih dalam hati ia berkata, "Illahi, aku menikah dengan niat menyempurnakan ibadahku. Kuatkan aku, kecemburuan itu benar-benar merajalela di benakku saat ini. Buang perasaan ini jauh-jauh. Tetap jaga cintaku untuk suamiku seperti dan bagaimana pun dia."

"Bu, terima kasih untuk semua hal yang baru aku ketahui saat ini. Aku bahagia setidaknya belum terlambat untuk menyadari kekeliruanku yang untuk kedua kalinya." Rini beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kamar. Mengunci pelan, kemudian menangis tersedu dalam hening yang semakin menyiksa batinnya.

"Illahi, aku tidak menyesal karena terlambat mengenal dan mengetahuinya. Tapi aku tidak ingin kekecewaan ini mengubur semua rasa cinta dan sayang yang baru saja tumbuh untuk suamiku. Singkirkan rasa pedih ini Ya Rabb."

***

Yang aku tahu cinta itu mulai pudar.
Tapi tidak dengan rasa baktiku padamu.
Duhai imamku, karenamu aku kuat.
Karenamu pula aku rapuh.

Ya Rabbi,
DariMu. KarenaMu. UntukMu.

***

Semua telah jelas. Perceraian itu kini ada di ambang mata. Tidak ada banyak hal yang dapat dilakukan Rini kecuali menangisi nasibnya.
"Ibu, Ayah, jemput aku. Ummu Khadijah, kini aku merasakan pula apa yang pernah kau rasakan." 

( 29102012, Senin. at Antologi "Serpihan Hati" )

0 Komentar