"Ternyata doa yang harus dipanjatkan jauh lebih spesifik lagi ya, Mbak? Tak cukup hanya meminta diberikan jodoh suami yang shalih. Tetapi kalau bisa juga sudah sepaket dengan mertua, ipar, yang tak kalah baiknya. Minimal ya, kita bisa diterima sebagai menantu yang juga bagian dari anggota keluarga mereka."

Balas dari seorang teman di salah satu percakapan WhatsApp kami.

Senang ketika curcolan status WhatsApp yang kutulis, tak jarang membuka ruang diskusi kecil yang kadang pembahasannya tidaklah sederhana.

Termasuk ketika seorang gadis menimpali statusku sebab khawatir dengan kehidupan pernikahan tatkala telah ia masuki nantinya. Apalagi jika sudah menyikut ranah mertua vs menantu.

Karena terkadang, banyak yang bisa berjodoh dengan pasangan yang sefrekuensi, sefikroh, tetapi tak sedikit menantu yang mengurut dada sebab terus menerus diuji oleh keluarga pasangannya.

Mungkin dulu ada banyak anjuran untuk berdoa diberi jodoh terbaik. Tetapi itu saja seperti tak cukup. Doanya mesti dibuat se-spesifik mungkin. Termasuk doa agar diberikan mertua yang siap menerima kita seapa adanya. Tak menuntut kita sesempurna ingin mereka, lalu dibenci tatkala ekspektasi itu gagal kita penuhi.

Siapapun tahu, tak semua orang tua akan selaras dan sepemahaman dengan anak-anaknya. Apalagi dengan anak orang lain yang tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya setelah bergelar menantu.

Ada banyak sekali perbedaan yang tak bisa disamakan dalam waktu singkat.

Aku sendiri satu diantara menantu yang pernah mengalami bagaimana rasanya diperlakukan tetap seperti orang asing meski belasan tahun terhubung sebagai keluarga setelah menikah.

Merasa asing di tengah keluarga suami, memangnya ada? Pasti ada.

Walau mungkin tak semua menantu merasakannya, jika kebetulan beroleh mertua juga keluarga yang terbuka, secara tulus bersedia menerima. Tetapi tak jarang, ada moment-moment tertentu di mana menantu merasa dikecualikan sebab dianggap bukan bagian dari keluarga inti suaminya.

Alih-alih diturut sertakan, acapkali tugas menantu perempuan dianggap cukup di bagian belakang rumah. Tenaganya jauh lebih terpakai dari pada pendapatnya, kehadiran sosoknya tak selalu dianggap di muka keluarga, berbonus minimnya apresiasi.

Pernah ada di posisi ini? Tak nyaman itu sudah pasti.

Akan tetapi bagaimanapun, ada batasan yang menjadi sekat tersendiri entah sadar atau pun tidak. Dan meski kita sebagai menantu berusaha melampaui batasan itu, apa daya kita tak bisa memaksakan hal-hal yang memang sejak awal sudah diterapkan begitu. 

Dulu, aku pun pernah mati-matian berusaha untuk 'dianggap ada' oleh mereka. Mati-matian berusaha menunjukkan bahwa aku layak untuk diterima sebagai anggota keluarga. Meski akhirnya, aku sadar ketika ibu mertua berpulang, sebab tutup usia pada Desember penghujung tahun lalu.

Bahwa sekeras apapun usahaku, seperti apapun kebaikan yang ingin kutunjukkan ke hadapan mereka, setulus apapun perbuatan yang dilakukan, jika yang menerima kebaikan itu menutup hati; maka tak ada artinya bagi mereka. Walau tak ada kebaikan yang sia-sia, tetapi orang-orang yang memiliki ketidaksukaan pada kita selalu memiliki sudut pandang tersendiri untuk menangkap hal-hal salah yang sudah kita hindari sebaik mungkin.

Kita juga tak bisa bertanya alasan pasti atas sikapnya. Apa penyebab ketidaksukaan, hingga membuat semua kebaikan itu seakan hangus sekalipun hanya dengan satu kesalahan saja. Akan mudah bagi mereka menghapus tiap kebaikan, menganggap itu memang sudah semestinya sebagai keharusan. Seolah-olah tak perlu ada apresiasi atau penerimaan lebih yang perlu mereka berikan. 

Menganggap bahwa seperti ini dan itu tugas menantu, tetapi lupa bahwa sebelum itu.. mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk memperlakukan anak perempuan orang lain dengan baik. Minimal, menerimanya sepenuh hati. Bukan sebatas orang asing yang anak lelakinya nikahi, kemudian diharuskan atas kewajiban-kewajiban sebab ada aturan norma yang berlaku di masyarakat meski masih terlalu bersifat patriarkis.

Give and take. Aku selalu percaya bahwa apa yang kita berikan maka itu yang akan kita dapatkan. Bukan pamrih, tetapi bukankah kebaikan akan diganjar dengan kebaikan serupa?

Tetapi setelah memasuki kehidupan orang dewasa, ada realita bahwa tak melulu hal-hal yang ingin kita berikan akan bersambut hal sama. Ada saat kita seperti tak diberikan kebebasan atau pun hak untuk memilih menjadi versi diri sendiri, tetapi tertuntut untuk menjadi versi yang dikehendaki orang lain hanya demi dianggap layak.

Sampai lupa bahwa kita juga memiliki nilai yang patut diperjuangkan. Sebagaimana ekspektasi orang lain yang seolah menjadi keharusan untuk dipenuhi karena jika tidak, kita yang akan dianggap kurang baik. Maka nilai kita seharusnya juga bisa mereka hargai, tanpa menerobos batasan yang kita miliki. 

Pada akhirnya, selalu melelahkan untuk mencari ridho manusia. Itu kenyataannya.

Mengapa ada menantu yang enggan berlama-lama di tengah keluarga pasangannya, tak serta merta muncul dalam sehari. Tapi dari bilangan interaksi yang berkali-kali telah melukai, meski seringnya akan kita maklumi dan coba membenahi pola komunikasi. Sebab ada insecurity; merasa diri sendiri lah yang harus bertanggung jawab.

Padahal, nyaris tak pernah ada manusia yang bisa terpuaskan oleh tindakan-tindakan kita. Baik itu kita ke orang tua kandung sendiri. Atau ke anak biologis.

Jadi sejak itu, aku mulai menyamankan diri sendiri.

Dianggap egois. Dianggap tak berperasaan. 

Atau dianggap tak sama sekali ada, tak lagi jadi soal bagiku.

Dulu, tak jarang menangis di hadapan suami. Mempertanyakan apa nilai diriku, apa yang salah sehingga seakan-akan tak pernah menjadi benar? 

Semakin ke sini, aku beranggapan bahwa tak ada yang benar-benar salah di diriku. Bahwasanya cara dan upayaku sudah benar, meski belum sesuai di mata mereka.

Tak ada juga yang benar-benar buruk di diri mereka, meski beberapa perkataan dan perlakuan menorehkan luka dan bahkan pernah membekaskan trauma. 

Ketika orang lain gagal memahami nilai diriku, maksud baikku, atau ketulusan yang diberikan dalam bentuk apapun, maka aku berlapang dada. 

Oh ternyata bukan karena aku yang tak layak di sini. Itu karena frekuensi kami memang tak sama. Tak bisa terhubung dengan baik. Mau berusaha sebaik apapun, kita tak bisa memaksakan hati orang lain untuk suka.

Ada hal-hal yang tak bisa dipaksakan.

Ada hal-hal yang meski sulit, melepaskan ikatan yang semula kita kencangkan sendiri akan jauh lebih baik. Dimulai dengan berhenti berlaku keras terhadap diri, dan meragukan nilai yang ada pada diri kita sendiri.

Terkadang, bukan kita yang gagal memaknai hubungan dalam bentuk relasi apapun.

Akan tetapi, dalam hidup akan ada saja relasi yang tak selalu bisa kita pertahankan dengan baik. Kendati kita pernah saling terhubung dengan jalinan yang cukup erat. Sekeras apapun keinginan untuk merawatnya... Bagaimanapun upaya yang dilakukan untuk bisa diterima... 

Itu karena kita berbeda dengan mereka. Pun sebaliknya.

Jadi, mulai sekarang... berhenti memaksakan nilaimu untuk diterima apalagi dipahami oleh orang lain. Terlebih lagi, jika mereka sendiri tak memahami apa nilai dirinya.

Ada luka-luka yang memang dihadirkan oleh orang-orang yang kita anggap penting, tetapi kewajiban diri sendiri untuk menyembuhkan luka itu.

Berhenti berharap.

Beri batasan.

Tak perlu terlalu keras pada diri sendiri.

Dianggap egois pun, itu karena kita berhak memiliki batasan tersendiri yang juga harus mereka hargai.

Kehidupan pernikahan bukan hanya tentang menantu yang mengurus mertuanya dengan baik baru bisa dianggap menantu yang gemati lan gelem ngopeni. Semestinya ada relasi sehat yang terbangun, di mana sang mertua juga bisa menghargai keberadaan menantunya yang sudah memberikan dedikasi di samping mengurus keluarga intinya (suami dan anak-anak). 

Tak ada yang bisa menampik kewajiban berbakti pada orang tua. Akan tetapi kebahagiaan orang tua atau pun mertua bukan tanggung jawab anak-anak mereka sepenuhnya. Bagaimana jika sang anak dirasa gagal memenuhi ekspektasi yang ada? Apa lantas mereka dianggap durhaka karena gagal dalam kaca mata orangtuanya?

Pernikahan bukan hanya tentang menjaga relasi hubungan antar sesama ipar, dari berusaha mengambil hatinya, berusaha menjaga hubungan dengan mereka sebaik mungkin. Tetapi harus ada timbal balik, feedback yang sama baiknya. Akan sulit jika hanya sepihak saja yang mengupayakan hal demikian. 

Saling menjaga RASA satu sama lain. 

Bukan hanya keterpaksaan atau keharusan yang sifatnya sementara.

Bukan juga hanya bersikap baik di depan mata, tapi memburuk-burukkan begitu tak sedang duduk bersama.

Kehidupan pernikahan bukan hanya tentang bakti seorang menantu ke suami, ke mertua, ke keluarga besar suaminya hanya untuk benar-benar bisa diterima. Semestinya keluarga suami juga lebih dari siap untuk menerima menantu perempuan mereka dengan tulus, seapa adanya, tanpa terlalu banyak menuntut.

Menyederhanakan ekspektasi. Sebab menyadari jika anak mereka yang dinikahi oleh si menantu juga sama tak sempurnanya.

Dan semoga setelah meralat doa dengan lebih spesifik, sembari mempersiapkan diri dengan bekal ilmu dan kesiapan mental yang baik, engkau yang belum dipertemukan dengan jodohmu.. Allah ijabah dengan terijabahnya doa-doa itu.

Tentu saja tak ada kehidupan tanpa masalah. Masing-masing kita memiliki situasi dan kondisi yang berbeda. Karakter orang-orang yang ditemui juga tak sama. Bentuk konfliknya bisa jadi serupa tapi tak persis sama takarannya, sebab setiap pundak memiliki porsi bebannya masing-masing.

Masalahku di pundak orang lain bisa jadi ringan, bisa jadi lebih berat, begitu pun sebaliknya. Tetapi ketika ujian itu sampai di depan mata, itu berarti sudah yang paling pas menurut kesanggupan diri yang tak siapapun paham bagaimana versi dan porsinya, sebab kaca mata dan standar yang dipakai juga berbeda. Dan Allah yang memiliki ketentuan atas apa-apa yang kita terima, sudah yang paling pas, sudah tertakar berdasarkan kemampuan yang dipunya.

Rasanya mustahil meminta pasangan, sebuah pernikahan, beroleh keluarga, tanpa sepaket dengan kekurangan itu sendiri. Mustahil tanpa satu paket dengan ujian-ujiannya.

Maka doa terakhir setelah semua itu, semoga Allah kuatkan, dan mampukan kita untuk melewati setiap babak demi babak yang menurut-Nya harus dilalui untuk bisa naik level. Menjadi lebih baik, semakin baik, melampaui diri di masa sebelumnya.

Kita tak bisa meminta Allah meniadakan masalah. Terlalu ngoyo dan maksa.

Itu karena Allah yang menggenggam kehidupan kita. Allah yang lebih tahu kebutuhan apa yang kita perlu dan dengan cara apa semua itu terengkuh, meski dengan menapaki setiap fase ujian yang datang seiring itu.

Allah yang menentukan akhir dari penghujung harapan-harapan kita. Apakah akan sama hasilnya, atau Allah belokkan untuk jawaban yang lebih baik sesuai dengan kondisi diri.

Kalau dipikir-pikir, masa iya Allah mau menyengsarakan hamba-Nya? Dia yang memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Maka merawat prasangka baik kepada-Nya juga menjadi amalan yang senantiasa harus dipupuk. Sebab jika tak dijaga, akan mudah sekali bagi kita untuk mempertanyakan maksud takdir-Nya ketika terbentur keadaan yang di luar dugaan. Mudah sekali menganggap Allah tak adil menakar masalah dengan kesanggupan yang kita miliki.

Terakhir ...

Sadari sejak kini, mustahil menyenangkan hati semua pihak. Mustahil membuat semua orang menerima atau menyenangi kita tanpa tapi. Karenanya, tugas kita untuk tetap menyaman-nyamankan diri mengikut versi kenyamanan yang dimiliki. Tetap jadi orang baik. Jangan lupa terapkan batasan. Teruslah belajar, dan upgrading kapasitas diri. Kita menjadi baik bukan karena syarat untuk bisa diterima baik-baik. Melainkan karena Allah semata. Kalau kebetulan dapat jodoh baik, mertua baik, keluarganya super care; it's BONUS! :)

Semoga bermanfaat.

Stop Being a People Pleaser But Still Be Nice.
_____________________________________________


Magelang, 07 Juni 2023

0 Komentar