Hidup Kita Bukanlah Ajang Perlombaan yang Perlu Diperbandingkan
Hidup Kita Bukanlah Ajang Perlombaan yang Perlu Diperbandingkan. Dari caption yang kutulis pagi tadi, aku terinspirasi untuk menulis postingan kali ini. Semoga ada insight positif yang bisa kalian petik ya :)
Kalau ada orang yang sibuk membanding-bandingkan hidupnya, barangkali dia yang tak puas dengan apa yang dimiliki. Bersikeras mencari validasi, demi diakui bahwa dialah yang lebih. Tapi kasihan nggak sih orang jenis begini? Hidup seperti itu capek, karena sejatinya hidup bukan untuk pacuan. Apa yang kumiliki bukan sebagai perbandingan dengan apa yang bisa kau capai sejauh ini. Pun standar sukses versimu bukan tolok ukur bagiku yang harus diikuti.
Mari berjalan di rules masing-masing. Karena setiap kita punya peran dan takaran rezeki masing-masing pula yang sudah paling klik di diri sendiri, jadi stop banding-bandingin hidupmu dan hidupku. Kalau mau sharing pencapaian boleh, tapi meninggilah tanpa harus merendahkan apalagi menjatuhkan sesiapa. Itu jauh lebih bijaksana. Oke, Yu 😊👍👍
Bismillah biidznillah. Stay productive, sibukin diri dengan karya, biar nggak kebanyakan kepoin hidup apalagi aibnya sesiapa, tak ada rumput tetangga yang lebih hijau dari rumput sendiri.. yang ada, kaca matamu yang lensanya gelap ketika memandang pekarangan sendiri. (Caption yang ditulis pada akun instagram @blog_bianglalahijrah)
Dalam hidup kita tak bisa lepas dari berbagai jenis karakter dan watak manusia. Bahkan mereka yang memiliki hubungan sedarah denganmu, kendati lahir dari rahim yang sama pun, pasti tetap saja memiliki banyak perbedaan yang diantaranya tak bisa disejajarkan.
Tapi andai kata perbedaan-perbedaan itu menjadikan kita saling menghargai, tak iri pada ia yang tampak lebih, tak meremehkan ia yang terlihat tak sebaik diri, sudah pasti tak perlu ada kesenjangan yang terjadi sebab hal-hal yang berbeda dijadikan bahan perbandingan bahkan sikap untuk merendahkan orang lain.
Akan sangat melelahkan jika hidup tapi tak bisa jadi versi terbaik diri karena melakoni sesuatu yang berbeda dari kebiasaan orang pada umumnya, dan akan mudah menjadi bahan pergunjingan. Anehnya, ketika kita berhasil melakoni hal-hal baik sesuai passion yang dimiliki pun tetap saja ada prasangka yang datang dengan tujuan tak ingin mengapresiasi. Jadi alih-alih memuji, maka mereka lebih senang menggoyahkan nyali agar tak ada yang berproses melebihinya; barangkali.
Pengalaman tak menyenangkan kali ini berasal dari salah seorang tetangga yang entah mengapa, acapkali mencari kesempatan untuk mengelu-elukan anaknya di depanku, tetapi di waktu bersamaan berusaha menegaskan bahwa lawan bicaranya tak sebaik anak yang sedang ia banggakan. Sayangnya, cara beliau dalam menyampaikan betapa hebatnya sang anak karena berhasil mencapai titik tersebut menjadi keliru. Mendatangkan ketidak ikhlasan pada orang lain, sebab cara bicaranya yang menjatuhkan.
Kadang suka berpikir, apa yang ada di hati dan pikiran orang seperti ini? Terkesan agak memaksakan diri, kalau cerita yang notaben sengaja dilebih-lebihkan itu seakan harus orang lain percaya bahwa demikianlah kebenaran yang hendak ia yakinkan pada lawan bicaranya.
Sebenarnya aku justru merasa kasihan. Orang yang sungguh-sungguh puas, bahagia, mensyukuri dengan apa yang telah ia miliki atau raih di dalam hidupnya... tak perlu validasi apapun dari orang lain untuk menunjukkan bahwa hasil kerja kerasnya nyata dan itu sungguh ada. Karena toh, yang tahu persis proses di balik pencapaian itu adalah diri sendiri. Dan yang juga menikmati hasil semua itu adalah diri kita sendiri, ya syukur jika setelahnya kita bisa lebih mudah berbagi kebermanfaatan diri kepada orang lain terutama dalam circle terdekat kita.
Tak salah jika kita ingin menunjukkan eksistensi diri dari semua jerih payah yang telah dilakukan dalam meraih suatu pencapaian. Akan tetapi menjadi salah cara dan maksudnya, jika niat berbagi kabar bahagia itu dibarengi dengan kesengajaan untuk merendahkan atau pun menjatuhkan orang lain hanya demi terlihat hebat.
Apalagi kok ya, sempat-sempatnya membuat perbandingan si A versus si B. Duhh kalau mau buat perbandingan jangan yang bersifat materi, tetapi lihat bagaimana seseorang berproses untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu. Lihat sebaik apa dia dalam mentarbiyah dirinya demi berproses selangkah demi selangkah menjadi lebih taat, bertambah ilmu yang manfaat, dan kehidupan yang dipenuhi dengan maslahat. Nahhh, ini jauh lebih bisa dijadikan sebagai tolok ukur bahwa sebaik-baiknya proses bukan meninggi karena materi, tetapi ketika kepribadian diri benar-benar mewangi.
Iya pun belum bisa berkontribusi banyak untuk lingkungan sekitar, tetapi juga tidak menjadi pribadi toksik yang meresahkan orang-orang sekitarnya. Diam karena memang tak ada hal baik yang bisa diperbincangkan, bicara seperlunya sekadar beramah tamah tapi tetap dalam etika, sapa saat bertemu jika tak disapa ya sudah. Karena barangkali yang bersangkutan sedang dalam mood yang tak bagus.
Pandai-pandai menempatkan diri bukan berarti kudu eksis di segala perkumpulan. Sok jadi orang penting, sok paling gaul, sok paling asyik di tengah-tengah orang yang juga lagi nyari identitasnya di perkumpulan itu. Sampai-sampai kadang terkesan maksain diri supaya masuk di semua lini. Akhirnya tak punya prinsip, iya-iya aja, asal ngikut alur asalkan bisa diterima. Ohh big no! Bukan saya banget! 😂
Prinsipku, jadi orang baik tak harus dengan mengikuti standar yang ada pada orang lain. Kita tetap harus punya value sebagai pegangan, berprinsip pada nilai-nilai yang diyakini, terapkan batasan diri dengan semestinya. Tak harus semua orang menerima, sepakat, untuk bisa menunjukkan keberadaan diri.
Tetap jadi orang baik. Selalu baik ke siapapun. Asal tak merugikan, tak menyengaja bertujuan menyakiti atau pun menyusahkan orang lain, ya wis jalani hidup sendiri dengan nilai-nilai yang dimiliki tadi.
Terpenting, jangan jadi manusia setipe dengan suket teki. Alih-alih bertumbuh sebagai kebaikan untuk menghasilkan kebaikan lain. Tetapi menjadi kendala untuk suatu kebaikan, dan hanya mendatangkan kerugian bagi orang-orang sekitarnya.
Minimal lagi nih, jadi pribadi asyik itu nggak harus yang pandai berbasa-basi. Ah ya, aku pernah menulis ini di status WhatsApp pribadi. Kurang lebih begini :
Kunci hidup tenang, jangan terlalu sibuk memusingkan kehidupan orang lain. Jalani hidup sendiri sebagaimana yang dicita-citakan, berjalan di jalan sendiri yang diyakini baik, sering-sering 'look in' kondisi hati untuk beristighfar dari adanya penyakit hasad terutama dengki. Selama tak menyakiti dan menyusahkan siapapun.. maka teruslah berjalan di jalan yang diyakini, di hidup yang tengah diperjuangkan, dan tak lupa tetapkan batasan diri. Tetap hargai, menghargai orang lain bukan berarti harus selalu duduk bersama dan temu sapa beramah tamah.. akan tetapi tidak kepo dengan urusan orang lain, tidak menyalahi haknya, tidak menganggu/mempersulit kehidupannya, tidak menyengaja memburuk-burukkan orang yang bersangkutan tatkala tak sedang duduk bersama; itulah makna menghargai yang sebenarnya #RemindMe
Jadi mohon maaf jika aku tak seasyik banyak orang yang bisa ngebanyol dengan renyah, enteng, karena tak jarang garing. Sebab saat berucap, ada mode di dalam otak yang bekerja memfilter apa yang hendak dikatakan.
Balik lagi ke prinsip, aku tak harus menjadi orang yang sok asyik demi bisa berbaur dan membaur.
Jadi kalau urusan nonggo dan ngalur ngidul bahas banyak hal, kok ya bukan skill dasar yang aku kuasai. Misal kebetulan dengar ghibahan orang yang sedang membicarakan aib si fulan/fulanah, aku sekadar "o begitu?" atau pura-pura tak kenal, minimal ya belagak lupa siapa orang yang dimaksud. Dengan begitu aku tak memberikan umpan balik ketertarikan untuk mengikuti topik tersebut.
Aku tipikal yang memang tak mau pusing dengan kehidupan orang lain, apalagi meluangkan waktu untuk kepo dengan hidup tetangga sebelah; misalnya. Barangkali karena aku sendiri memiliki pekerjaan yang jauh lebih penting dari sekadar berbasa-basi tetapi ada niat terselubung yang jatuhnya buruk. Ada loh tipe manusia yang bermanis wajah di depan, tetapi habis nama baik kita dibuatnya. Orang-orang jenis ini pandai menyusun kata seolah peduli, tetapi sebenarnya mengulik informasi, untuk kemudian digunjing ke sana-sini.
Alasan mengapa meski hidup di tengah lingkup orang-orang desa, tradisi nonggo tak pernah masuk menjadi hal yang harus kulakukan demi untuk dikata mau srawung ke tetangga dan bukan makhluk individualis. Jika tak benar-benar penting, semisal keluar karena ada undangan hajatan, ke warung/tukang sayur untuk belanja, secara kebetulan berpapasan dengan tetangga sekitar rumah, aku memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan sendiri.
Mengerjakan seabreg pekerjaan rumah tangga yang tak ada habisnya. Membersamai anak-anak bermain dan belajar. Membaca buku, memasak, menyiapkan kebutuhan anak dan suami, menulis di blog atau menyelesaikan projek naskah, menonton drakor terbaru yang sedang diikuti, hal-hal yang jauh lebih membahagiakan diri dan tetap membuatku produktif yang positif dari dalam rumah; menjadi prioritas yang lebih penting.
Apalagi untuk tipikal introvert sepertiku yang kerap kehabisan energi setiap kali usai bertemu dengan banyak orang, merasa sia-sia saja waktu yang habis dipakai nongki tetapi bisa dihabiskan untuk pekerjaan produktif yang jauh lebih manfaat. Seringnya isi perkumpulan para ibu tak jauh-jauh dari ghibah beruntun atau ajang pamer terselubung (tak semuanya, tetapi sering loh yaa). Sedangkan aku terlalu malas untuk mengikuti sesi pengisi waktu yang demikian hanya untuk dinilai senang bersosialisasi.
Dari pada nggak nyambung, ya mending melakoni kesibukan versi diri sendiri.
Terpenting relasi dan interaksi tetap sehat dan bermutu meski hanya sesekali.
Sebab tak lagi menjadi interaksi yang sehat ketika berkumpul hanya untuk mengghibahkan orang lain. Dan nanti ketika kita yang tak sedang ada di perkumpulan itu, kita sendirilah yang menjadi bahan ghibah mereka.
Bukan interaksi yang baik jika menelisik kehidupan pribadi orang lain, lantas diperbincangkan di ranah yang tak seharusnya, dibercandakan, bahkan memberikan penghakiman yang tak sama sekali menyangkut kepentingan mereka. Melainkan kebiasaan jelek yang selalu ingin merungsingkan permasalahan orang lain.
Menjadi kebiasaan jelek orang-orang yang tak tahu bahwa ada batasan dalam setiap perkataan dan tindakan. Entah itu batasan diri, maupun batasan orang lain; hargai sebisa mungkin dalam tiap interaksi maupun relasi yang dimiliki, apalagi dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk tetangga yang kumaksud, semoga ke depannya bisa punya opsi penyampaian yang lebih baik. Meski pun agak sulit ya. Karena memang tiap orang berbeda sebab terbentuk dari banyak faktor yang berbeda pula.
Tetapi aku berusaha memaafkan, karenanya menulis ini sebagai perenungan diri, semoga aku tak pernah lalai bahwa nikmat dihadirkan bukan untuk disombongkan. Apa yang diperoleh tak lepas dari takaran rezeki yang memang sudah ditakar sedemikian oleh-Nya.
Takkan diraih apa-apa yang memang bukan bagian dari takdir diri, pun yang memang telah Allah rezekikan menjadi milik kita akan sampai ke pelukan diri lewat cara yang telah ditentukan oleh-Nya. Kita menerima dari apa yang kita ikhtiarkan. Bukan semata karena kita yang hebat, tetapi Allah yang memampukan.
Semoga kita tak jadi manusia jumawa yang senang berbicara tinggi soal nikmat yang diperoleh, dan menyengaja mengerdilkan orang lain karena merasa tak ada yang sebaik diri sendiri.
Jangan lupa, bahwa di atas langit masih ada langit.
Justru orang yang jarang sekali mengelu-elukan nikmatnya dan membandingkan nikmat sendiri dengan apa yang orang lain punya, itulah hakikat bersyukur yang sebenarnya.
Kalau masih di tahap suka membanding-bandingkan, suka merendahkan, terbiasa menjatuhkan, bisa dipastikan ada yang salah dengan persepsi orang tersebut. Bisa jadi ia yang belum puas dengan apa yang telah dimiliki sampai harus sibuk mencari validasi ke sana-sini.
Ingat ya.. show off untuk personal branding agar orang-orang tahu kompetensi/kemampuan apa yang kita miliki, berbeda dengan ambisi untuk diakui demi menjatuhkan lawan yang tak disenangi. Catat ya, Yu. Hidup kita yang edisi khusus ini teramat sayang untuk dibanding-bandingkan dengan siapapun.
Oke deh cukup sekian, jangan lupa bahagiaaaaaaa 😇😊😗
Learn to be happy with what you have, while working hard for what you are dreaming for :)
Semoga bermanfaat.
________________________________________
Magelang, 12 Juni 2023
Copyright : www.bianglalahijrah.com
1 Komentar
Terlalu ingin menonjolkan diri di hadapan orang lain... Ingin terlihat asik tapi terlalu memaksakan walaupun tidak suka.. sifat ingin selalu di akui orang lain itu kalau di pak di akan cape. Catatan yang bagus mbk
BalasHapusAssalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)