Akhir dari sesuatu yang terjadi dalam hidup adalah sebuah proses baru yang akan dimulai. Dan, proses itu selalu menimbulkan sejumlah kekhawatiran (Psikologi Kesepian halaman 40-41)

Pernah bertanya-tanya mengapa seseorang tetap bertahan di suatu hubungan yang mungkin saja telah gagal sejak lama, tetapi ia masih berada di ruang yang sama? Membersamai orang yang di satu waktu ia benci, di waktu yang lain juga pernah menghangatkan hati.

Pernah mengirim pertanyaan ke dalam diri? Apa yang kamu inginkan? Apa yang kamu takutkan? Apa yang kamu khawatirkan?

Berapa banyak orang yang bertahan pada situasi hidupnya yang tak baik-baik saja. Bukan tak ingin melangkah keluar dari zona yang bahkan tak terasa nyaman, tetapi agaknya beruntun kekhawatiran telah lebih dulu menyergap diri dengan berbagai pertimbangan yang menakutkan.

Bagaimana jika salah melangkah? Bagaimana jika keputusan yang diambil salah? Bagaimana jika nanti tak kunjung bahagia kendati telah lepas dari jerat hidup bersamanya?

Entah ini hubungan yang dibangun atas dasar komitmen pernikahan, atau hanya jalinan asmara yang bergejolak di jiwa anak muda. Tetapi betapa tak bahagianya ketika kita menjalani hubungan yang alih-alih membuatmu bertumbuh di dalamnya, engkau justru kian bertambah rapuh. Baik itu secara mental psikis maupun emosional.

Apa yang harus kita lakukan pada hubungan yang tak lagi aman dan tak juga memberikan rasa bahagia?

Ada seorang teman yang terjebak dalam pernikahannya. Ia merasa tak bahagia tetapi sekaligus tak bisa beranjak pergi menyudahi kehidupan pernikahan yang tak bahagia itu. Selain mempertimbangkan akan bagaimana ke depannya, juga tentu ada kehidupan seorang anak yang dipertaruhkan lewat perceraian mereka. Aku memahami posisinya, aku pernah berada di keluarga yang tak utuh. Betapa riskannya hidup sebagai anak dari keluarga broken home. Kecuali jika kebetulan dikelilingi oleh anggota keluarga yang bijaksana, tulus tanpa pamrih, dan benar-benar merangkul psikologis anak yang luluh lantak paska perpisahan orangtuanya.

Akan tetapi, aku juga memahami seperti apa posisinya. Menjalani kehidupan yang bahkan tak lagi memberimu ruh untuk hidup sebagai manusia yang utuh, seperti apa tak bahagianya? Pelan-pelan aku juga melihatnya kian redup. Ia tak lagi seceria dulu. Beberapa target mimpi yang pernah ia gebu-gebukan juga seperti padam dengan sendirinya. Melihat bagaimana tak terurusnya ia, seperti apa wujud kecamuk itu dalam dirinya?

Pernah sekali aku duduk bersamanya, ia berandai semisal dulu tak bertemu dengan lelaki yang kini menjadi ayah dari anaknya, barangkali ia tak perlu menikahi lelaki tersebut. Kubilang bahwa waktu jelas tak bisa ditukar apalagi diputar, tapi setiap orang mungkin memiliki hal yang paling disesalinya terkait pilihan masing-masing. Kadang, penyesalan itu menuntun kita untuk menemukan pesan baik apa yang sampai kemudian. Ada pula jenis penyesalan yang hanya bisa kita ratap tanpa bisa berbuat banyak, sampai kita bisa mulai mengikhlaskan secara perlahan.

Ia tentu yang lebih tahu alasan mengapa menetapkan pilihannya pada saat itu. Ia juga yang tahu mengapa memilih bertahan, penyebab ketidakbahagiaan dirinya, juga tubuh yang kian tambun tapi masih saja ia merasa lapar di sepanjang waktu.

"Mungkin yang lapar adalah jiwaku, makan seperti pelarian sekaligus pelampiasan. Kadang-kadang aku tak bisa membedakan, mana yang benar-benar lapar pada diriku, perutku atau kebutuhan emosional dalam diriku?"

Ia berkata begitu, tetapi di tangannya semangkuk makanan juga masih ia suapkan masuk ke dalam mulutnya. Sementara itu, ia terus bercerita sambil sesekali tertawa. Matanya berkaca, airmata itu entah wujud dari secuil kebahagiaan yang tersisa di matanya... atau bagian dari rasa sakitnya yang tak bisa disuarakan.

Ia dan anaknya baik-baik saja. Ia dan suaminya memiliki pekerjaan yang tak semua orang miliki. Tetapi ada hal-hal yang memang tak bisa digantikan dengan apapun, jika kebutuhan dasar dalam suatu hubungan tak lagi terpenuhi. Hanya mereka lah yang tahu polemik macam apa itu.

Aku memberanikan diri bertanya, "Apa yang kau takutkan, apa yang kau khawatirkan?"

Ia menatapku lekat. Airmatanya tiba-tiba menderas.

"Tak ada yang pernah menanyakan itu padaku, bahkan aku sendiri." Katanya, lebih-lebih menyedihkan.

"Aku takut untuk terus hidup tetapi seperti berhenti bernapas di waktu bersamaan. Aku khawatir anakku sama tak bahagianya denganku jika tumbuh dari pernikahan kedua orangtua yang tak lagi saling mengisi."

"Bukankah pernikahan kalian baik-baik saja? Sebenarnya itu yang orang lain lihat dari luar, begitupun yang kulihat."

Dia hanya menjawabnya dengan tersenyum kecil. Aku tak ingin menerka maksud di balik senyum itu. Tetapi manusia memang hanya bisa melihat apa-apa yang tampak secara kasar. Kita tak bisa membaca isi kepala, kita tak bisa menebak isi benak, kita tak bisa memahami kesedihan yang tak pernah menjadi bagian perjalanan kita sendiri. Itu mengapa, banyak orang lebih mudah menghamiki ketimbang memahami.

Karena kaca mata yang kita pakai dalam menilai orang lain, sering kali berbeda lensa maupun pandangan, pun tak tepat situasi.

Aku hanya menarik napas, bukan kapasitasku untuk masuk terlalu jauh dalam ruang pribadinya. Cukup tahu, bahwa di dalam hidup setiap orang akan bergumul dengan kisahnya masing-masing. Setiap orang sedang bergelut dengan rasa sakitnya sendiri. Setiap kita juga berjuang untuk pelan-pelan berdamai pada banyak hal yang mungkin terasa begitu menyakitkan.

Tapi membuat penilaian atas sesuatu yang tak diketahui secara utuh, bukan kapasitas kita dalam hal itu. Bisa jadi penilaian kita teramat dangkal, atau bahkan keliru.

Apa yang dialami kenalanku itu, seperti terasa tak asing. Aku pernah melihat luka yang sama, pada wajah ibuku sebelum kemudian pernikahan mereka benar-benar berakhir di usiaku yang masih remaja kala itu.

Banyak dari perempuan yang memilih bertahan atas ketidakbahagiannya dari pada memutuskan untuk menyudahi rasa sakit di hubungannya. Tetapi realitas di tengah kehidupan memang tak pernah menyisakan panggung kemudahan bagi tiap pilihan perempuan, bukan? 

Entah sejak ia lahir, bertumbuh kanak-kanak, dari remaja hingga dewasa. Nyaris sebagian besar hal-hal yang kita jalani, ditentukan oleh orang-orang di sekitar kita. Sedikit mungkin yang memberikan kebebasan untuk memilih, bertindak, mandiri atas diri sendiri tanpa terlalu banyak asumsi yang datang dari luar diri.

Anak perempuan ketika tak kunjung menikah, sesegera mungkin label perawan tua mengejar pertambahan usianya. Ketika menikah, sesegera mungkin diharuskan memiliki anak. Setelah memiliki anak, ada banyak ekspektasi sosial yang harus kita penuhi untuk diakui sebagai ibu yang baik, istri yang baik, atau menantu yang baik di waktu bersamaan.

Tak ada yang bertanya apakah kita baik-baik saja dengan itu semua?

Apakah kita sungguh-sungguh bahagia?

Apa kita tak merasa lelah?

Padahal, tanpa pernah ditanyakan atau beroleh kesempatan untuk dibicarakan. Bertalu-talu rasa lelah itu, kesedihan, perasaan tak baik-baik saja, melingkupi emosi kita di sepanjang hari dari waktu ke waktu.

Emosi yang bahkan tak bisa diperlihatkan, sebab jika ditunjukkan justru hanya judgement yang akan diperoleh.

Apa seorang ibu tak berhak bahagia? Apa seorang istri tak lagi pantas memeluk mimpi? Apa menjadi menantu berarti harus selalu mengedepankan orang lain di atas diri sendiri, hingga benar-benar lupa menjadi diri yang dikehendaki?

Mungkin, setiap kita bisa membebaskan persepsi bahwa kelemahan yang ditampakkan oleh seorang ibu, istri, menantu, anak perempuan adalah justifikasi dari bentuk-bentuk keburukan dalam dirinya. Mungkin kita perlu belajar bahwa mereka juga manusia biasa, bukan mesin yang diharuskan memenuhi segala tuntutan atas dirinya, tetapi mengenyampingkan kebutuhan dasar dirinya.

Alih-alih berkata betapa tidak bersyukurnya ia yang mengeluhkan kesulitan hidupnya, sedang kita merasa ia berada di taraf yang baik-baik saja melebihi mereka yang jauh susah di luar sana. Padahal, memang betul setiap kita memiliki masalah tersendiri. Tetapi pundak setiap orang menopang beban dan juga kesanggupan yang berbeda.

Yang pasti dari apa yang sedang dibutuhkan oleh seseorang ketika tengah menceritakan permasalahannya, adalah sebentuk dukungan psikologis tanpa perasaan ditepis apalagi beroleh kalimat sinis berisi judgement dari lawan bicaranya. Itu saja.

Ada banyak ibu yang tak bahagia dengan kehidupannya, hal-hal melelahkan yang merongrongnya sejauh ia bertumbuh sejak kecil hingga melakoni kehidupan di bawah rumah tangganya sendiri... ia sadar, betapa melelahkan sekali jiwanya. Ia juga ingin beristirahat sejenak dari rasa lelah itu. Mengumpulkan kembali potongan-potongan keberanian, impian, harapan, kebahagiaan, kesenangan, yang entah orang-orang sadari atau tidak... sejatinya ada banyak pula yang terenggut dari diri seorang ibu. Ketika ia memutuskan untuk memusatkan jiwa raganya, demi memenuhi keharusan yang sudah menjadi tolok ukur dalam budaya masyarakat atas dirinya.

Ibu yang ideal, ibu yang sempurna, ibu yang tak bercela, ibu yang luar biasa, untuk apa?

Apa gunanya jika tak bahagia? Apa gunanya jika kita terlalu keras pada diri sendiri, untuk beroleh seonggok pengakuan yang bahkan tak adil dalam mengapresiasi. Di lain sisi, kita tanpa sadar senang mengkritisi orang lain sebab merasa ia tak sebaik apa yang bisa perempuan lain lakukan pada umumnya. Padahal siapa yang menciptakan tolok ukur itu?

Ada sisi kelam dari kehidupan para ibu, istri, menantu, maupun anak perempuan. Yang menjadi hal biasa sebab jarang ada yang mau bicara tentang fakta ketidakidealan hidup mereka. Yang diam-diam saling menyimpan rasa iri, tak suka, kecemburuan, sekaligus keluh bagi satu sama lain tanpa pernah saling terbuka secara jujur. Namun ketika berhadap-hadapan, satu sama lain sibuk membicarakan kehidupan masing-masing agar tetap terlihat utuh. Mengapa para perempuan hidup seperti itu? Siapa yang menjadikannya sedemikian?

Jika sebagai makhluk sosial kita diharuskan untuk memenuhi hak-hak orang lain dalam suatu hubungan, maka itu juga berarti sama terhadap hak-hak personal diri yang semestinya diperoleh dari timbal balik memberi.

Tak sebatas hanya keharusan demi keharusan belaka.

Stigma-stigma yang mengakar di masyarakat soal apapun pilihan perempuan, bisakah pelan-pelan kita ganti dengan bentuk apresiasi yang jauh lebih berarti?

Sebab, kita menjadi lebih senang menghakimi dari pada mengapresiasi. Bahkan itu juga terlihat dalam relasi perempuan antar sesama perempuan. Sejak kapan kita menjadi senang mengomentari apa-apa yang perempuan lain lakukan, yang dia pilih, atau yang dia putuskan dalam hidupnya?

Sejak kapan kita menjadi perempuan yang saling mengintimidasi bukan saling menghargai value pada diri satu sama lain?

Juga sejak kapan persaingan-persaingan yang bersifat patriarkis menjadi begitu kental mewarnai dunia perempuan hingga kini?

Sampai kapan kita sesama perempuan harus tumbuh, dan hidup di lingkup misoginis yang demikian?

Kita mengomentari kekurangan yang ada pada perempuan lain, sekaligus membenci kelebihan mereka di waktu yang sama, satu hal yang terlupa... kita mungkin tak pernah belajar, atau memang sejak awal tak pernah diajarkan. Bagaimana saling menghargai, saling memberi arti, saling mengapresiasi antar satu sama lain. Barangkali sebab budaya yang kita lihat sejak kecil, menanamkan nilai-nilai persaingan itu baik secara langsung atau pun tidak.

Contohnya, ketika dua perempuan bersaudara kandung. Ketika yang satu dinilai cantik, yang lain ada yang tak lebih cantik. Ketika satunya terlihat putih, yang lainnya justru berkulit lebih gelap. Ada hal-hal yang semestinya tak dijadikan perbandingan, tetapi dijadikan pembanding. Dan banyak hal yang kita tangkap sedari kecil, seakan-akan bahwa kehidupan perempuan dipenuhi dengan perbandingan sekaligus persaingan.

Pada akhirnya, aku mengerti satu hal yang barangkali menjadi alasan mengapa sebagian dari mereka yang tak bahagia dengan hubungannya tetapi memilih bertahan...

Stigmatisasi sekaligus subordinasi bahwa perempuan yang pernikahannya gagal tak pernah lebih baik, dari laki-laki yang juga mengalami kegagalan pernikahan.

Ada kamus janda gatal, janda kesepian, janda sundal, janda cari perhatian, dsb. Tetapi kamus itu tentu tak berlaku bagi duda laki-laki. Yang terjadi, laki-laki justru akan segera disodorkan istri pengganti entah ia yang bercerai hidup atau kendati makam sang istri bisa saja masih basah.

Ketakutan itu, kekhawatiran itu, terlalu banyak merongrong pilihan-pilihan perempuan. Kehidupan perempuan. Ruang privasi perempuan. Ruang publik yang juga melibatkan perempuan. Ketakutan itu, kecemasan besar itu, telah terakumulasi sekian lama, kian bertambah banyak. Dan berasal dari dunia di luar dirinya yang semestinya memberikan dukungan sekaligus kekuatan baginya untuk terus bertumbuh bagaimana pun posisi dan situasinya.

Lalu, apa yang harus engkau lakukan untuk bertahan di hubungan yang tak bahagia itu?

Perkuat hubungan dengan orang lain di luar dari apa yang kamu jalani di dalam ruang pernikahanmu, juga habluminallah sebelum habluminannas. Fokus mengembangkan diri, dan melakukan hal-hal yang bermanfaat terkait minat sendiri. Jangan pupus kesenangan, kebahagiaan, harapan itu. Tetap cintai diri sendiri, lakukan apa yang disenangi. Rawat dirimu. Perkaya wawasan dan pengetahuanmu. Keluarlah sesekali untuk mengakrabkan diri pada dunia di luar sana, temukan orang-orang yang tulus peduli yang membuatmu merasa berarti ketika berada di dalamnya. Betapa tak ada yang lebih bisa memperlakukanmu secara baik-baik, secara tulus, tanpa pamrih, kecuali dirimu sendiri. Jangan padam apalagi tenggelam, dan kehilangan jati diri.

Menurut psikolog Zehra Erol lagi, "Yang terpenting untuk menjadi kuat... Anda harus memperlihatkan emosi Anda."

Emosi adalah apa-apa yang kita rasakan, entah itu bahagia, sedih, marah, berduka, dsb. Juga reaksi apa yang kita tunjukkan tatkala berhadapan dengan seseorang atau suatu kejadian yang bisa menghadirkan berbagai ekspresi emosi.

Ya, setidaknya... berhenti berpura-pura selalu dalam kondisi baik-baik saja. Tak masalah menunjukkan kelemahan diri, tak masalah terlihat lemah atau menjadi lemah. Justru kelemahan yang sebenarnya terletak dari ketidakjujuran kita terhadap itu semua. Akan sangat melelahkan jika kita terus menggunakan topeng demi berpura-pura kuat dan selalu utuh. Ketika kita jujur dimulai dari diri sendiri, kita pelan-pelan bisa berproses menemukan energi baru untuk kembali memulihkan diri setelah tadinya sempat terpuruk sendiri.

Dear kamu, jangan biarkan realitas di sekitarmu mempersempit ruang bahagiamu.

Jadilah berani, jadilah diri sendiri, berbahagialah dengan segenap kelemahan beserta kelebihan diri. Itu bagian dari keistimewaan yang tak orang lain miliki 😊😊😊 Peluk sayang dariku, untukmu yang sedang membutuhkan pelukan hangat. Semangat, ya.


________________________________


Karena terkadang, kata-kata yang menguatkan juga lahir dari orang yang sedang butuh dikuatkan...

Magelang, 27 September 2022

copyright : www.bianglalahijrah.com

0 Komentar