Ketika gema takbir berkumandang sejak di malam raya Idul Adha, ingatanku sudah terperangkap pada kenangan di belasan tahun silam. Perasaan rindu, memori indah, sosok orangtua dan kehangatan di dalamnya, muncul secara berkesinambungan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, meski idul adha di Magelang tak semeriah yang ada di tanah kelahiranku.. aku berusaha menghadirkan sedikit nuansa itu di sini.

Bersih-bersih rumah sendiri, memasak beberapa menu, karena tak ada acara ujung-ujungan setelah shalat Ied.. aku dan suami memutuskan untuk jalan dan makan di luar. Kami mengunjungi salah satu cafe & resto dengan view alam yang cantik sekali. Meski setiba di sana kesedihanku menyeruak tanpa sebab, mataku sempat berkaca sekali.

Itu idul adha termanis dalam ingatanku. Di tempatku lahir, perayaan hari raya kurban tak kalah meriahnya dengan lebaran idul fitri. Berbagai menu khas lebaran, puluhan toples dari ruang tamu ke ruang tengah yang dipenuhi dengan berbagai warna dan rasa kue-kue kering. Dekorasi rumah yang jauh tampak semarak, pengharum ruangan, VCD yang terus memutar ulang suara takbiran, bau masakan yang saling mendesak dari ventilasi dapur di tiap-tiap rumah. Aku selalu rindu masakan Mak Aji nenekku, terlebih-lebih masakan Emmak.

Ada banyak berjejer menu Bugis di talam bundar yang berisi beberapa lauk khas, ada langka' dan burasa', tapai ketan yang disebut gambang, kue bolu yang diiris beberapa potong sebagai pencuci mulut nantinya, ayam nasu likku, sarden, olahan bakmi goreng dengan cita rasa khasnya tersendiri, masih banyak lagi menu-menu lebaran yang menggugah selera dan seakan nyaris tak ada di tanah Jawa.

Maka itu pula yang membuatku rindu sekali, termasuk moment menunggu sosok Bapak muncul di balik pintu dengan busana muslim yang rapi. Sebuah kemeja berlengan panjang yang telah disetrika Mama hingga nyaris tak ada lekuk kusut. Dipadu padankan dengan sarung tenun khas Bugis, songkok recca', dan bau parfum Bapak yang khas khusus di hari raya.

Biasanya jika Bapak sudah pulang dari sholat Ied, itu moment di mana keluarga kami akan menghadap ke Mak Aji dan satu sama lain akan saling menghaturkan maaf dan saling memberi maaf. Baru setelahnya moment makan bersama, sebelum akhirnya para tamu yang adalah sanak keluarga beserta tetangga tak henti-hentinya datang bergilir dari pagi ke petang.

Setelah makan, Bapak lantas memanggil kami anak-anaknya maupun keponakan yang ada di rumah.. untuk pembagian ampao lebaran yang sangat dinanti-nanti. Bisa dibilang, para anak kecil akan panen uang THR meski sebenarnya itu tak begitu pas dimaknai sesuai singkatannya. Ini bukanlah tunjangan bagi anak-anak kecil termasuk aku di waktu itu, ini adalah hadiah. 

Entah hadiah karena telah ikut berpuasa, hadiah untuk satu tahun yang telah berlangsung sebelumnya dan semacam hari kasih sayang yang meloloskan kami untuk meminta apapun dengan suka cita, khusus dari para orang dewasa untuk memanjakan kami.

Ah betapa indahnya ingatan 'happy inner child' yang kumiliki terkait ini. Meski tak berlangsung lama, sebab di moment lebaran tepat ketika usiaku 13 tahun, kami kehilangan sosok orangtua yang hadir mengisi kenangan manis tersebut.

Aku bersyukur, setidaknya di 13 tahun pertama itu aku memiliki kenangan masa kecil yang manis di tiap momentum hari raya.

Termasuk kenangan ketika beroleh tugas untuk menjadi spesialis mengulek semua bumbu masakan hingga benar-benar halus. Tak peduli seberapa pegal atau sakit pergelangan tanganku, Mak Aji akan kembali menyuruhku mengulang pekerjaan jika dirasa belum sesempurna yang ia kehendaki. Dan bertahun-tahun kemudian aku baru menyadari bahwa tujuan baik Mak Aji memberiku pekerjaan mengulek itu bukan semata-mata untuk menyusahkanku, merenggut waktu bebas bermainku. Akan tetapi, saking seringnya beroleh tugas itu... aku menjadi familiar dengan bumbu-bumbu rempah tersebut.

Hari ini, dengan bangga aku membawa cita rasa itu ke dalam rumah tanggaku. Pujian atas makanan lezat pun tak sekali, dua kali, datang dari suami beserta anak-anak. 10 tahun ini aku mewarnai dapur rumah dengan cita rasa yang dulu akrab di lidah. Jadi setiap kali merindukan menu atau masakan khas daerahku semasa kecil, aku sendiri yang akan memasaknya. Beruntungnya lidah Jawa suamiku tak sama sekali merasa aneh atau bahkan tak cocok. Beberapa menu khas Bugis bahkan kerap kumasak sebab menjadi masakan favorit suami dan anak-anak saat ini. Masyaa Allah..

Sejak masih kecil, Mak Aji menyertakanku di dapur barangkali bukan untuk memasak melainkan berkenalan dengan bumbu-bumbu rempahnya. Mak Aji secara tak langsung mengakrabkanku dengan resep keluarga yang tanpa kusadari sangat berguna di masa kini. Sadarnya justru setelah menikah dan tatkala sehari-hari berjibaku di dapur rumah.

Di keluarga besar Mak Aji pula, rumah dengan 6 kamar di dalamnya.. setiap bulan puasa, para wanita atau tepatnya Mama beserta menantu Mak Aji yang lainnya akan saling bantu membuat beraneka jenis kue maupun roti. Semua dibuat sendiri, aroma manis kue yang terpanggang, bau adonannya, hingga pada kerak kue yang sengaja kuminta sebagai camilan paska berbuka puasa. Nuansa ramadan yang setiap tahun kurayakan dalam ingatan.

Alhamdulillahilladzi bini'matihi tattimush shalihat.

Rindu itu setiap tahunnya hadir di sini, dalam diam aku memeluk kesedihan, kebahagiaan, kerinduan tersebut.. tanpa mengutarakannya langsung ke suami.

Dulu di awal-awal menikah, aku mungkin bisa terdistraksi pada moment perayaan Idul Fitri karena sama ramainya. Tetapi setiap lebaran Idul Adha, tak sekali aku menangisi hal-hal yang melekat kuat dalam ingatan sedang suasanannya tak kujumpai di sini. Tak ada perayaan apapun setelah shalat Ied. Masing-masing orang akan kembali beraktivitas seperti hari biasa. Hanya saja pembagian hewan kurban cukup menjadi pelipur bahwa itulah satu-satunya pertanda bahwa Idul Adha juga tengah berlangsung di sini.

Kelak, semoga saja ada rezeki minallah.. kami sekeluarga di sini, bisa turut merasakan semaraknya hari raya Idul Adha di kampung halamanku. Tanah tempatku terlahir hingga belasan tahun tumbuh di sana, sebelum kemudian beranjak dewasa di kampung orang.

Bapak, Emmak, adik-adik, sehat selalu ya. Kutulis ini sebagai ingatan manis yang layak kita kenang bersama. Kelak, semoga Allah kumpulkan kembali. Persatukan kembali meski seberapa jauh pun jarak yang memisahkan satu sama lain. Sehat selalu, panjang umur, berlimpah keberkahan dan kebaikan dari-Nya. Aamiin yaa mujiibu.


“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allahu Akbar walillaahil hamdu. Allahu akbar kabiro walhamdulillahi katsiro wa subhanallahi bukrotaw wa ashiila. Laa ilaaha illallaahu walaa na'budu illaa iyyaahu mukhlishiina lahuddiin."


Segenap rindu dan air mata sendu yang kupeluk pagi ini.


_________________________________


Magelang, 16 Juli 2022

copyright : www.bianglalahijrah.com

0 Komentar