Terasa menggelitik, jika mengingat kembali awal perkenalan antara aku dan suami. Kami yang saat itu masih terbilang sangat muda, naif, tetapi tiba-tiba memutuskan untuk menikah. Sekalipun belum saling mengenal lebih jauh seperti apa aslinya, satu sama lain. 

Mungkin karena sudah terlanjur pewe kali ya. Banyak kesamaan yang ada di kami berdua. Sama-sama punya orangtua sambung. Sama-sama penyuka senja. Penyendiri. Suka nulis. Suka genre-genre musik yang sama. Pandangan tentang masa depan yang juga tak jauh berbeda.

Mungkin terlalu naif untuk menjadi alasan mengapa kami berdua kemudian mantap sekali untuk melenggang ke jenjang pernikahan waktu itu.

Karena sudah sayang kah? Seperti apa perasaan sayang sedang waktu untuk saling mengenal lebih, terbilang masih sangat awal.

Akan tetapi makin ke sini, aku pun memahami bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari takdir. Barangkali memang demikianlah Tuhan memprakarsai perjalanan kami dalam saling menemukan satu sama lain. Bagaimana kami berjodoh. Bagaimana prosesnya terasa berjalan mudah sejak lamaran datang lewat perantara kakak perempuannya.

Allah menyusun skenario-Nya di atas skenario kami berdua. Menikah di usia sekian, mengejar karier, meraih pencapaian demi pencapaian di usia muda, baru setelahnya menikah. Namun jika takdir berkehendak lain, ya apa boleh buat. Nyatanya kami menikah, dan seluruh target-target itu baru direalisasikan setelah menjalani pernikahan dan anak-anak lahir bersamanya.

Betapa dia adalah jodohku yang kuhampiri sejauh jarak dari Sumatera ke Jawa. Aku adalah jodohnya, yang dia temui sejarak Jawa dan Sumatera. Kami hanya saling menemukan. Kecocokan yang terdapat di awal jumpa mungkin saja adalah satu di antara jutaan rencana baik Allah. 

Kesamaan yang terasa memikat, rasa nyaman yang tercipta dalam waktu singkat, aku yakin bukan kebetulan semata. Termasuk obrolan-obrolan berisi dan mengalir, yang terasa menyenangkan sebab seakan-akan pikiran kami juga saling bertautan satu sama lain. Apa itu yang disebut chemistry? 😂

Pernah menyesal mengapa memutuskan untuk menetapkan pilihan dan menikah muda dengannya? Padahal, aku mungkin memiliki banyak kesempatan untuk melangkah lebih jauh.. meraih mimpi, dan membuktikan diri sebesar yang aku inginkan di usia yang masih sangat muda waktu itu.

Entah ya. Kendati mengingat ulang bagaimana rasanya ketika menerima lamaran yang datang tiba-tiba dengan maksud baik itu, jujur saja aku sempat merasa ragu, jelas ragu. Karena tujuan awal membelakangi tanah kelahiran bukan untuk menikahi lelaki asing yang baru dikenal.. di saat kesempatan untuk meneruskan pendidikan sedang terbuka di depan mata.

Toh nyatanya aku menganggukkan kepala waktu itu. Termasuk pada pertanyaan, apa mau hidup sederhana bersamanya sebab kondisi ekonomi keluarganya yang juga demikian. Aku tak mempermasalahkan itu. Aku tahu persis ketika awal pertama diajak bertandang ke rumah kedua orangtuanya. Aku melihat bagaimana kondisi rumah itu. Aku melihat bagaimana kehidupan kedua orangtuanya. Bagaimana saudari perempuannya. Aku membuat penilaian tetapi bukan berdasarkan materi apa yang dimilikinya..

Aku menemukan betapa bersahajanya kedua orangtuanya, betapa baiknya saudari perempuannya.. ada kehangatan yang terasa sejuk sekali, sesuatu yang lama tak kudapati dari keluargaku sendiri.

Jika ditanya mengapa aku mantap memilih menikah dengannya? Pertimbangannya karena aku melihat bagaimana sikap dan perlakuan keluarganya di awal-awal menyambut kedatanganku di rumah mereka. Aku orang asing, mereka tak melihat langsung bagaimana keluargaku nun jauh di seberang sana. Mereka hanya percaya, bahwa aku adalah pilihan anak lelaki di keluarga mereka.

Dan ya.. ketika aku memilih menikah, itu berarti aku menikahi dia dan keluarganya sekaligus.

Naif sekali ya memang. Aku masih begitu polos untuk memahami kenyataan bahwa apa saja sangat mungkin untuk berbalik dari penilaianku di awal. Fakta bahwa orang-orang akan turut berubah. Realita bahwa tak melulu menantu akan hidup seirama di bawah atap yang sama dengan mertua dan keluarga suaminya.

Belum lagi aku harus beradaptasi habis-habisan dengan budayanya, adatnya, kebiasaannya, makanannya, sampai pada bahasanya setelah tinggal dan menetap di Jawa. Seseorang pernah memberi saran padaku, aku harus meningkatkan kemampuan bahasa Jawaku agar bisa diterima lebih baik, karena itu modal komunikasi yang utama. Oh ternyata itu belum cukup. Aku bisa merubah diriku, aku bisa berusaha menjadi lebih baik, dan mengupayakan hal-hal yang semestinya untuk berdamai dengan situasi yang ada. Kecuali satu hal, bahwa aku tak bisa merubah karakter orang lain dalam semalam.

Aku sempat kecewa pada realita yang tak sesuai ekspektasiku.

Akan tetapi, hari ini.. bersama seluruh bumbu-bumbu pernikahan yang menyertai perjalanan kami, memilih menikah dengannya adalah keputusan besar yang aku syukuri.

Aku bersyukur untuk dipertemukan dengannya. Lelaki dengan senyum menenangkan yang kadang terasa mengesalkan karena kami masih kekeuh pada ego masing-masing. Tapi toh, dia juga yang tetap bertahan mendampingiku.. istrinya yang masih labil, istrinya yang juga berjuang menyembuhkan trauma inner child. Diriku yang kuakui memiliki banyak sekali kekurangan, namun dia yang menutupi semua itu. Serupa baju.

Aku bersyukur, meski beberapa mimpiku tertunda atau bahkan terhenti.. dia menjadi alasan sekaligus jembatan untuk mewujudkan impian itu. Dia yang menjamin bahwa apa yang terlambat bagiku, bukan berarti tak layak untuk tetap diperjuangkan. Salah satunya dalam menempuh pendidikan kembali serta tak berhenti menuliskan buah pikiran. Sekalipun berkali-kali aku hidup dan redup bersama kesibukan sebagai seorang istri sekaligus ibu. Selalu ada alasan untuk memulai kembali..

Aku bersyukur menemukan laki-laki yang dapat menerima segala lebih dan kurangku. Menyokongku untuk terus menjadi lebih baik, kian matang, dan dewasa. Walau ada pula waktu di mana aku mengkufuri kebaikannya, sebab ada sisi dalam diriku yang menuntut untuk dipahami.

Betapa kalau dipikir-pikir, aku memiliki banyak sekali dosa pada suami. Merasa belum sepenuhnya menunaikan bakti sebagai istri, sebab struggle yang ada pada diri sendiri.

Memang perempuan itu punya banyak sekali ladang jariyah dalam keluarganya jika ditunaikan berlandaskan Lillah, tetapi ya itu, di waktu bersamaan juga ada banyak peluang yang bisa jadi dosa jariyah karena tanpa disadari 😂 Harus banyak-banyak sungkem sama paksu nih 🙏🙏



Beberapa malam yang lalu, aku bertanya pada suami seperti apa rasanya ketika awal berkenalan hingga saat melakoni tahun pertama dalam pernikahan?

Beliau pun bercerita sambil tersenyum manis, malu-malu plus bucin gitu kali ya, sampai akhirnya suami tiba-tiba berkata "... dikira nggak ada perjuangan apa buat dapatin kamu, tapi sekarang sama suami sok galak.. sedih aku tuh.."

Pas suami bilang gitu, rasanya halus tapi jleb. Auto sungkem karena merasa bersalah dan sedih, meski ditanggapi dengan guyon, dan kami sama-sama tertawa.

Kenyataannya, setelah menikah dan punya anak.. tingkat kegalakanku melonjak signifikan. Betapa tanggung jawab, beban, dan kewajiban turut bertambah seiring waktu. Ada saat di mana rasanya seperti tidak sedang marah-marah, tetapi nada bicara juga meninggi dengan sendirinya.

Pada akhirnya memang, setiap gadis kalem yang di masa lajangnya pendiam sekali.. sedikit bicara.. jarang mengomel.. setelah nikah dan punya anak bakat ngedumel dan misuh-misuh seperti terasah dengan sendirinya.

Memang sebagai istri, khususnya aku, harus banyak-banyak sungkem ke paksu.

Karena sebagai istri, aku sendiri tak pernah tahu. Sikap, perkataan, tindakan, atau bahkan tulisan mana yang mungkin menyinggung dirinya sebagai suami. Yang secara tanpa sadar telah menyakiti perasaannya.

Menikah memang menjadi universitas kehidupan paling kompleks bagi setiap pasangan.

Akan tetapi, sebaik apa kita belajar dan bertumbuh bersama itulah yang terpenting.

Senantiasa berproses bersama untuk menjadi lebih baik lagi, semakin memantaskan diri, semakin layak, dan semakin 'growing up' dalam menjalani fase demi fase kehidupan yang kadangkalanya tak selalu sejalan dengan kehendak yang diinginkan.

Berganti pasangan, tak selalu menjadi jalan keluar tersendiri ketika berbenturan dengan apa yang tak disenangi. Jadi memang kelapangan hati, kesediaan untuk menerima dan memaafkan, kerelaan untuk menundukkan ego dan sama-sama belajar.. adalah syarat mutlak. 

Keduanya harus sama-sama sadar, suami maupun istri menyadari bahwa "sakinah, mawaddah, dan warahmah" tak bisa diraih dalam waktu sehari. Tak bisa dimiliki tanpa keduanya sama-sama berjuang, berkorban, dan saling menguatkan. Tak ada pernikahan yang sempurna, selama mau saling mendengar, menerima masukan, memperbaiki keadaan.. aku sendiri berharap, sesulit apapun dinamika kehidupan pernikahan, pada akhirnya semoga dapat terlalui, dan menjadi pembelajaran paling manis untuk dikenang bersama pasangan sepanjang masa, sampai tua dan membungkuk berdua.



Dear Bojo, kutulis ini dengan kesadaran hati dan pikiran.. pernikahan kita memang tak berjalan mudah, permasalahan datang dan pergi begitu saja. Ada saat kita sepaham, ada saat kita berseberangan arah.

Ada waktu di mana kita saling peluk, ada juga waktu di mana kita saling memunggungi satu sama lain.

Sembilan tahun ini, terima kasih untuk mendampingi dengan berbagai permasalahan yang datang satu paket dengan pembelajaran di dalamnya.

Aku bertumbuh, aku mendewasa, ternyata justru setelah menikah dan dipertemukan denganmu.

Kadang suka mikir gini, kalau suami menjadi 'petunjuk' tersendiri sebagaimana nama yang dimilikinya.

Semoga kita tetap bisa duduk tenang dengan kepala dingin, saat melerai satu persatu masalah yang hadir. Duduk tenang dan bercengkrama tentang banyak hal, menemukan solusi bersama, dan memberikan suntikan semangat maupun kekuatan ketika yang lain sedang membutuhkan itu semua.

Barangkali, semua yang aku dapati selama ini adalah bagian dari alasan mengapa Allah jodohkan aku denganmu. Selalu dan tak henti dalam meyakini, bahwa Allah punya jutaan rencana baik yang jauh lebih luar biasa dari rencana yang kumiliki sebelum menjatuhkan pilihan padamu; lelaki bermata coklat.

Masyaa Allah, barakallahu fiik. Bojo... sehat-sehat ya, panjang umur, murah rezeki, tak kurang satu apapun, tetap kuat dan waras menghadapi istri macamku ini. LIMITED EDITION soalnya 😆😆😆

Salam sungkem! Sehidup sesurga. Aamiin Yaa Mujibassailin, allahumma aamiin.



__________________________

Magelang, 29 Juni 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

2 Komentar

  1. Auto ketawa pas baca 'bakat ngedumel setelah nikah dan punya anak itu terasah dgn sendirinya'

    Hahahahah Krn aku ngerasain banget itu :D. Kita ada kesamaan sih mba, sama2 dari Sumatra yg menikah dengan lelaki Jawa :). Akupun dulu sempet usahaa banget buat menyesuaikan diri. Ntah dengan bahasanya, makanannya, hobinya, kebiasaan adat mereka. Sampe skrpun msh berusaha. Walo udh banyak hal2 yg akhirnya kami bisa kompromi :).

    Yg pasti akupun bersyukur punya suami berbeda suku begini, Krn aku hrs akuin, dia sabar dan tangguh menghadapi cewe Sumatra yg hobi ngomel ini :D. Ga kebayang kalo aku menikah dengan sesama Sumatra yg mungkin karakternya mirip aku :D, sama sama keras. Yg ada panas Mulu mungkin :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak, punya suami orang Jawa kayaknya bisa mengimbangi kita yang udah kebawa-bawa khas orang Sumatranya :D Memang yang namanya pasutri itu harus saling melengkapi termasuk soal watak. Kalau yang satunya tukang ngedumel, yang satu biasanya sih bakal lebih kalem. Karena kalau hobby ngedumel semua, bakalan rame tiap hari hahaa..

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)