Tadinya kita mungkin mengutuk waktu sibuk. Menggerutu pada kesibukan yang tak ada habisnya menyita waktu. Mengeluh pada banyak hal yang barangkali tak sesuai dengan kehendak diri, tatkala melangkah keluar dari satu-satunya tempat pulang, yakni: rumah.

Kita mungkin berandai-andai beroleh waktu luang, sekedar pewe dengan posisi rebah. Seharian berdiam di rumah. Entah itu dibersamai cemilan, ponsel di tangan, buku bacaan, bisa khatam drama korea terbaru barangkali.. atau menyimak gosip terkini yang datang dari kancah infotainment lewat saluran televisi. Semua hal yang benar-benar disenangi untuk dilakoni setiap hari.

Tak sedikit pula dari kita yang jenuh menatap hari di keesokan pagi untuk kembali pada rutinitas yang sama. Mandi, sarapan, berganti baju, kemudian melenggang ke tempat kerja. Kita bosan pada ketetapan hari yang itu-itu saja demi gaji satu bulan sekali.

Tapi mau bagaimana lagi? Rutinitas menjenuhkan itu adalah jaminan untuk kelangsungan hidup. Tuntutan profesi dan bagian dari tanggung jawab diri. Walau terkadang kita mengutuk semburat mentari yang memotong waktu tidur nyenyak di tengah rasa kantuk yang masih menggelayut.

Kita jengah pada padatnya lalu lintas di jalan dan ada berapa banyak kendaraan beroda dua atau empat yang wara-wiri mendahului.

Kadang, kita mengeluh ini dan itu. Kita berandai hanya duduk diam di rumah. Bercengkrama dengan anggota keluarga. Berandai tentang libur panjang akan ke mana jika kebetulan beroleh cuti dari tempat bekerja. Realitanya, kita terkungkung tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi. Piknik pun tak jadi-jadi.

Banyak nian agaknya yang tak sesuai dengan keinginan hati.

Dan, gerutuan itu barangkali telah diaminkan oleh penduduk langit. Hari ini, ketika bangun di pagi hari. Kita mendapati diri beroleh cuti di tengah pandemi. Kita betul-betul diberi hak waktu luang untuk merealisasikan angan berada di rumah, dan menarik diri dari aktivitas luar.

Sehari, dua hari, satu minggu barangkali.. kita masih menikmati kesenggangan waktu yang akhirnya tercicipi. Tetapi memasuki minggu kedua, ketiga dan seterusnya, ada hal lain yang diam-diam mengusik kenyamanan diri. Fakta bahwa berdiam diri di rumah tak melulu sejalan dengan ekspektasi.

Ada nikmat yang diam-diam membuat diri kembali berefleksi. Yakni nikmat dari kesibukan yang tadinya kita gerutui. Penatnya bekerja dan mengukur hari sebab ada ikhtiar menjemput rezeki yang tengah dilakoni.

Nikmat berinteraksi, ketika bisa saling menatap wajah dan senyum yang menyabit ramah tanpa khawatir pada ancaman virus corona dan keharusan mencipta jarak pada yang lainnya. Hingga tak lagi berjabat tangan atau pun cium pipi kanan dan kiri.

Juga nikmat bersosialisasi ketika bisa berkumpul di tengah-tengah keluarga besar, mengikuti majelis taklim, mengunjungi pusat keramaian, memenuhi undangan walimah, menghadiri agenda-agenda di mana ada banyak orang tengah berbaur di dalamnya. Kita tiba-tiba rindu pada keriuhan yang tadinya mengganggu.

Kita rindu pada hangat matahari pagi dan semburat senja yang menggiring langkah sejak keluar rumah hingga kembali ke rumah. Mulai teringat pada janji yang belum sempat ditunaikan. Pada rencana yang terpaksa dibatalkan. Atau sekedar melipir ke tempat tongkrong favorit yang biasa didatangi.

Kita rindu pada hal-hal tersebut tatkala dicabut begitu saja. Nikmat di antara sekian banyak nikmat yang baru kita sadari artinya saat ini. Nikmat yang tak terbaca sebab kita berfokus pada jenuh dan penatnya rutinitas yang dilalui.

Pada akhirnya, waktu luang pun telah diperoleh. Sentilan berupa teguran datang untuk menggugah diri bahwa apapun yang diperoleh sebelum ini, sepenat apapun, sejenuh bagaimanapun, jauh lebih terasa nikmat untuk tetap kembali pada kesibukan tersebut.

Sebab ada ketetapan baik Allah di dalamnya. Ada amanah yang kemudian tertunaikan entah itu menyangkut hak diri sendiri maupun orang lain. Ada kebaikan dan banyak hal baru yang kemudian diperoleh di sepanjang perjalanan pergi hingga pulangnya.

Betapa selama ini kita keliru menilai nikmat Allah dari sudut sempit angan di dalam diri. Kita keliru menakar seberapa banyak nikmat yang Allah beri.

Sembari bermuhasabah di tengah masa karantina yang tersisa, untuk kembali pada muraqabatullah. Kembali menghadirkan sang pemilik kehidupan di antara hela nafas dan denyut nadi. Banyak-banyak memperhitungkan diri sendiri.

Barangkali, bersama waktu luang yang hari ini lebih banyak dinikmati, kita masih saja tak menghadirkan secebik syukur dalam diri. Masih saja menggerutu sebab hadirnya problematika lain di tengah pandemi.

Maka yang terpenting adalah sebaik apa kita mengisi waktu luang yang ada. Apakah bertambah baik, atau sebaliknya. Apakah bertambah dekat atau justru kian jauh dari-Nya. Apa yang menjadikan diri kita berprogress dalam kebaikan kendati jarak yang diambil langkah tak lagi sejauh sebelumnya?

Ketika kesempatan demi kesempatan mungkin tertunda sebab terkendala keadaan.

Di sisa waktu karantina, ketimbang mengurut kening dan membiarkan rasa cemas menghinggapi. Tak ada salahnya memberikan goals pada diri sebagai tantangan, hal baik apa yang bisa dilakukan untuk tetap berdaya, bermanfaat, produktif di tengah situasi yang terjadi.

Sebaik apa waktu yang ada kita nikmati untuk mengakrabi orang-orang terkasih? Berbagi tugas dengan pasangan di rumah. Membersamai buah hati tatkala bermain. Menjadi sosok yang lebih hangat di tengah keluarga, terlepas dari himpitan kebutuhan lain yang tetap merongrong. Berusaha sebaik mungkin untuk tak dikeruhkan oleh keadaan.

Berapa banyak buku bacaan bermutu yang mungkin saja telah berdebu bisa mulai tersentuh. Ada berapa halaman di setiap juz Al-Qur’an yang bisa dikhatamkan sebab tak lagi disibukkan hal lain yang menyita waktu.

Tanya diri dengan refleksi sendiri. Hal baik apa yang kita (bisa) dapatkan dari semua kejadian ini? Hal baik apa yang menambah kebaikan diri walau di tengah pandemi?

Jika perlu, kita bisa menulis sederet list target yang akan dipenuhi untuk mengisi waktu luang di masa karantina dengan sebaik-baiknya.

Tantang diri sendiri.

Akan menjadi apa kita selama pandemi ini berlangsung, hingga nanti ketika swakarantina dan pandemi berlalu. Pilihan dan jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Ini adalah sebuah refleksi, paling utama ditujukan bagi diri sendiri. Untuk menantang diri berbenah lebih baik. Kutulis di sini, agar kelak dapat terbaca kembali dan menjadi cermin di kemudian hari.

Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu..

_________________________

Magelang, 12 April 2020

Disalin ulang dari postingan di akun wordpress milikku. Semoga bermanfaat :)

MAH

0 Komentar