Alhamdulillah disampaikan kembali pada ramadan tahun ini. Kendati terasa berbeda, bukan berarti kedatangan bulan puasa tak lagi istimewa. Bersyukur di hari pertama berpuasa kemarin masih bisa merasakan tarawih berjamaah dengan para tetangga di masjid lingkungan tempat tinggal. Pasar bedug juga tetap beroperasi layaknya tahun sebelumnya, walau mungkin interaksi satu sama lain lah yang dibatasi.

Tak lagi semudah dulu untuk berjabat tangan dan cipika-cipiki saat bertemu kenalan. Sebagian besar wajah yang berseliweran juga bertutupkan masker. Interaksi begitu seperlunya. Tetapi euforia menjalani ramadan begitu sayang untuk dilewatkan siapapun juga. Barangkali itu, orang-orang tetap keluar dan menyambut ramadan dengan persiapan yang suka cita.

Bagiku, ini kali pertama menjalani ramadan di trimester akhir kehamilan. Khususnya di tengah situasi pandemi saat ini.

Kendati jauh sebelum covid.19 mewabah, ibu hamil yang satu ini memang sudah menjadikan rumah sebagai markas ternyaman. Tetapi ada yang begitu terasa ketika banyak hal mudah dan seolah lepas bebas (tadinya), menjadi begitu dibatasi dan terisolasi saat ini.

Bahkan sekedar keluar rumah untuk memeriksakan kehamilan di pusat kesehatan. Beberapa waktu lalu, karena mengira pemeriksaan HB sudah harus dilakukan bulan ini.. berangkatlah kami ke puskesmas terdekat.

Alih-alih berjalan sesuai perkiraan. Sampai di puskesmas, aku justru diomeli bidan yang bertugas. Pemeriksaan ini itu yang seharusnya menjadi jadwal di trimester ini juga ditunda bulan depan. Situasi sekitar pun terasa mencekam. Para tenaga kesehatan terlindungi APD lengkap. Tak satu pun dari mereka maupun pasien yang datang, tanpa mengenakan masker dan mencuci tangan terlebih dulu.

Ruang tunggu tak lagi sesak membludak. Kami diminta duduk di luar puskesmas saat menunggu obat dari apotek. Hal yang membuat kian takut dan khawatir, sebab bidan berseloroh tanpa tedeng aling-aling lagi. Padahal psikologi ibu hamil sudah dipenuhi banyak kekhawatiran. Ditambah saat bu bidan berkata, “Kalau nggak rentan banget, mending di rumah aja. Gimana kalau mbaknya dan bayi di kandungan terinfeksi?”

Tanpa menjawab, aku hanya menatap tegkes yang duduk berseberangan denganku dengan perasaan tak keruan. Ini kok jadi kayak nakut-nakutin ya, walau tujuannya baik dan memang sesuai dengan sikon pandemi saat ini 😅 Tapi kan yang dikasih tahu lagi hamil tua, apa nggak makin spaneng?

Alhasil, saat menunggu obat sedang ditebus. Aku memujuk suami untuk meng-cancel obat tersebut agar bisa menebusnya saja di bidan terdekat. Tapi karena sudah terlanjur, kami pun duduk panas di depan puskesmas. Sembari banyak-banyak beristighfar. Meminta perlindungan dari Allah. Takut, was-was, cemas, khawatir, paranoid, segalanya berkumpul jadi satu.

Terasa nian, pandemi ini bukan perkara sepele yang patut dikecilkan siapapun juga. Sebaliknya, menjadi pengingat untuk senantiasa mawas diri di manapun dan kapanpun itu.

Terlepas dari rasa sedih sebab belum bisa berkunjung ke dokter spesialis kandungan untuk USG. Kami pun hanya sebatas menerka-nerka jenis kelamin bayi yang ada di perutku ini. Tetapi baik itu laki-laki atau perempuan, insyaa Allah sudah yang terbaik menurut Allah bagi kami sekeluarga dan tetap akan menjadi teman baik kakaknya.

Tak ada harapan lagi selain doa meminta keselamatan, kesehatan, kekuatan dan kebaikan untukku beserta debay di kandungan. Sehat, selamat, sempurna, tak kurang satu apapun. Semoga saat debay lahir, pandemi benar-benar telah terangkat bersih dari segala penjuru bumi. Aamiin allahumma aamiin.

Negeri ini benar-benar tengah berjuang dengan dampak yang diakibatkan oleh penyebaran virus corona. Semua orang berusaha bertahan hidup kendati kekhawatiran tetap menjadi momok tersendiri. Terutama, bagi para suami yang tetap harus berangkat kerja dan keluar rumah. Juga bagi para istri yang melepas punggung suami tatkala berpamitan, dengan untaian doa sekaligus perasaan cemas.

Aku salah satunya. Kantor suami tak mengeluarkan kebijakan cuti selama pandemi atau keringanan untuk bekerja dari rumah. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan ketika melepas suami menunaikan amanah dalam bekerja tentu saja; doa.

Doa saat ini menjadi satu-satunya perisai untuk bergantung lebih kuat pada Sang Pemilik segala ketetapan dalam hidup.

Teringat obrolan dengan salah satu guru ngaji yang sekaligus menjadi imam di masjid lingkungan kami.

“Kalau dalam kondisi begini, masjid-masjid justru sepi. Orang-orang ketakutan untuk bergerombol walau dengan tujuan ibadah, justru akan menjadi malapetaka tersendiri. Seharusnya, datangnya ujian menjadi momentum banyak orang untuk lebih dekat lagi dengan Tuhan-nya.”

Aku menyimak betul apa yang beliau katakan. Kendati begitu, menaati kebijakan dari ulil amri juga merupakan salah satu ikhtiar untuk menghentikan potensi penyebaran wabah ini.

So, hari kedua ramadan. Dari markas teraman bernama rumah, euforia ramadan tetap lah istimewa kendati atmosfernya berbeda.

Semoga bersama datangnya Ramadan, Allah ijabah setiap doa dan harapan kita. Pandemi ini, akan segera beranjak pergi. Kembali pada titik ketiadaannya. Menjadi pembelajaran berharga bagi setiap kita, bahwa Allah tengah memulihkan bumi dengan cara-Nya.

Bahwa segala sesuatu yang terjadi, tetap tak lepas dari izin dan kehendak Allah. Kun maka Faya Kun, mudah bagi Allah mendatangkan pandemi yang mewabah di seantero bumi. Akan lebih mudah lagi bagi Allah untuk mengangkatnya tanpa jejak sama sekali.

Stay safe. Stay home. Stay health. Demi orang-orang yang kita sayangi, demi banyak hal yang masih ingin dicecapi, demi hidup yang lebih baik lagi, bulan ini langit yang akan dihujani banyak doa dari para penduduk bumi. Semoga harap dan doa-doa terbaik itu diijabah Allah, diaminkan pula oleh penduduk langit.

Pada akhirnya, sehebat apapun rekayasa manusia. Secanggih apapun teknologi manusia. Tetap tak ada yang dapat mengalahkan bahkan mendahului ketetapan-Nya.

Self remind, dari ibu hamil yang berbahagia menjalani ramadannya kendati di tengah pandemi.


_______________________

Magelang, 25 April 2020

Disalin ulang dari postingan di akun Wordpress milikku. Sayangnya akun itu jarang update :)

2 Komentar

  1. Semoga aja ramadhan tahun depan bisa sedikit ada titik terang dan kembali normal yaaa mba :). Pandemi ini bnr2 menguras pikiran dan tenaga. Rasanya selalu kuatir trus2an. Suamiku masih Wfh, tp terkadang kalo ada urusan ttg audit, mau ga mau dia hrs DTG ke cabang. Utk meriksa langsung. Di situ baru deh kuatir :(.

    Tapi memang di saat begini, terasa banget gimana tergantungnya kita utk minta perlindungan dari yg di Atas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin allahumma aamiin :) Padahal ramadan tinggal empat bulan lagi ya, Mbak. Dan pandemi masih belum ada tanda-tanda akan hengkang dengan sendiri. Berharap ramadan dan idul fitri 2021 nanti, pandemi sudah bersih total agar semua kembali normal. Bisa menikmati suasana ramadan dan lebaran tanpa harus menerapkan protokol seperti lebaran kemarin yang meniadakan ujung-ujungan. Lebih sedih lagi buat yang nggak bisa mudik. Berasa bangett pandemi mempengaruhi setiap hal sampai pada moment paling bermakna..

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)