Aku, memaafkan dengan bahagia, bahagia dengan memaafkan

Aku, tak ingin terikat oleh perilaku orang lain terhadapku

yang baik tumbuh menjadi kebaikan

yang buruk membantuku tumbuh dan belajar .. 

(A deep reminder, sebuah caption yang membuatku selalu merasa lebih baik)


Nyaris setengah tahun lamanya tak menyapa pembaca blog ini dengan postingan teranyar. Menarik diri, menyembuhkan diri sendiri. Pada akhirnya, hengkang memang bukan solusi akhir. Tetapi menjadi jeda ketika kita memerlukan waktu bagi diri sendiri. Ruang untuk lagi-lagi berefleksi. Mematut diri, menyadari apa-apa yang tadinya seolah berjalan sangat buruk untuk kemudian dijadikan momentum pembelajaran.


Banyak hal akan tak sesuai ekspektasi kita. Bahkan ketika berharap orang-orang terdekat dapat memahami kebaikan yang ingin kita bagi, tak semua orang akan menerimanya sebagai hal baik. Sebab perpekstif menjadi kaca yang tak melulu jernih. Kita dipisahkan dengan sekat-sekat yang ada di jendela pemikiran masing-masing. Seseorang menjadi buruk menurut kita, ketika kita menganggapnya memang buruk. Seseorang juga akan menjadi baik menurut kita, ketika kita menganggapnya baik. Terlepas, apakah orang itu sungguh-sungguh buruk atau baik.


Kadang, semua memang hanya persoalan sudut pandang.


Termasuk saat kita dilukai oleh orang-orang yang kita anggap tulus, baik, dan peduli tadinya. Kita menjadi sedemikian terluka sebab menaruh rasa percaya. Andai, kita menaruh rasa sesuai porsi yang secukupnya saja.. barangkali akan lain cerita. Sekalipun orang-orang yang menoreh luka adalah saudara kandungmu sendiri. Atau mungkin orangtua, keluarga, sahabat, darah dagingmu.


Kita tak pernah bisa menolak hal-hal buruk apa saja yang datang dalam berbagai rupa kejadian tak mengenakkan. Kita tak tahu isi kepala orang lain. Kita tak memiliki mata batin yang dapat menembus isi hati orang lain. Kita tak bisa mengelak dari perlakuan, perkataan, perbuatan-perbuatan tak baik yang datang dari orang-orang yang telah kita percayai.


Satu hal, yang bisa kita lakukan adalah merubah perspektif diri sendiri.

Merubah sudut pandang diri dalam menerima semua itu..

Membenahi respon diri ketika berhadapan dengan hal-hal yang tak dikehendaki


Sejak dulu, aku meyakini. Marah boleh, tetapi membenci apalagi mendendam tak pernah menjadi pilihan yang pantas dibenarkan. Sekalipun kita adalah orang yang dirugikan, dipecundangi, didzolimi. Marah lah, kita berhak marah kepada mereka yang berbuat salah. Kita berhak memutuskan sejauh apa rasa marah itu akan menghukum orang yang telah melukai diri entah yang bersangkutan sadar atau pun tidak.


Membenci apalagi mendendam hanya menguras energi percuma. Pada akhirnya, kita hanya perlu waktu memberi ruang maaf di dalam diri untuk mereka. Kita tak ingin tersiksa dengan memendam rasa benci apalagi dendam. Maka teruntuk apapun luka yang hadir dari kejadian, orang-orang, pengalaman tak mengenakkan, sampai waktunya nanti.. kita akan bisa melepas itu dengan sekali tarikan nafas. Melepaskannya untuk tak lagi memilih menjadi orang yang terluka, melainkan orang yang memberi maaf.


Jujur, ada alasan mengapa Februari lalu aku memilih menarik diri dari jejaring sosial media dan memutus sebagian circle yang dimiliki. Aku tengah memberi ruang bagi diri sendiri untuk meminimalisir kontak dari mereka yang berpotensi melukai. Ya, karena orang yang sangat mungkin melukaimu adalah orang yang kau beri rasa percaya walau hanya sekian persen sekalipun.


Belum lagi, jika kehadiran seseorang hanya menjadi penegas dari inner child yang belum sembuh hingga kini.


Aku belajar, bahwa yang terpenting adalah menyelamatkan psikis diri sendiri. Memutus rantai dari siapapun yang berpotensi menjadikanmu terpuruk. Tak menjadi lebih baik. Dan diam-diam menjadi parasit, memanfaatkanmu hanya demi kepentingannya sendiri. Toxic people, orang-orang yang datang dan "hanya" membawa pengaruh buruk. Terkadang, orang-orang demikian justru melemparkan kesalahan padamu bukan justru menyadari kesalahan yang sebenarnya.


At least, setelah berbulan-bulan menyibukkan diri dengan kesibukan di dunia nyata. Aku bisa menulis ini sebagai pembuka dan pemberitahuan, kalau aku akan aktif menulis lagi di platform ini. Aku ingin melupakan dengan memaafkan apapun yang tadinya mendatangkan kesedihan. Aku memaafkan diriku sendiri untuk melalui hal-hal yang di luar kendali.


Karena sekali lagi bukan tugas kita menyenangkan semua orang. Bukan tugas kita menjadikan semua orang ridho, sebab sangat mustahil. Kita juga tak bisa mengendalikan sikap dan pendapat orang lain. Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan respon diri sendiri terhadap hal-hal yang terjadi.


Finally, lega bisa meluangkan waktu menulis lagi di blog ini. Kali ini, dini hari, ditemani si bayi. Tetap tersenyum, selalu bersyukur, salam bahagia dariku; Mamak muda yang kini beranak dua. Alhamdulillah :)


_______________________________


©

 yusniaagussaputri.blogspot.com

Magelang, 19 Agustus 2020

6 Komentar

  1. kunci memaafkan ikhlas dan gak dendam, selama ada dendam tak akan ada kata maaf.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat, Bund. Ikhlas itu mudah terucap tapi berat dalam realisasinya. Jika masih ada rasa marah, benci, apalagi dendam, itu berarti ikhlas itu sendiri belum benar-benar merasuk ke hati. Mungkin cara termudah untuk beroleh ikhlas memang memaafkan terlebih dahulu, kendati kesalahan seseorang tak benar-benar bisa dilupakan begitu saja. Semoga dengan seiring waktu, hati benar-benar bisa ikhlas dalam memaknai "maaf" dan melupakan rasa sakitnya. Self remind :') Terima kasih sudah berkunjung, Bund.

      Hapus
  2. "yang terpenting adalah menyelamatkan psikis diri sendiri. Memutus rantai dari siapapun yang berpotensi menjadikanmu terpuruk. Tak menjadi lebih baik."

    Seketika langsung merenung dan sadar, ternyata gak ada salahnya untuk memutus rantai dari orang yang toxic. Thank you untuk tulisannya..
    Bagus juga lagi kata-katanya.

    Salam dari yuniarts.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Mbak Sharon. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini ya :)
      Jadi memang ada waktu di mana kita perlu menarik diri, membuat batasan, terutama dari mereka yang hanya membawa pengaruh negatif. Dalam hidup, kita tak bisa lepas dari orang-orang yang toxic dalam hubungan apapun. Entah itu pertemanan, anak dan orangtua, lingkup sosial, maupun circle lainnya. Menarik diri tak ada salahnya. Kita perlu waktu untuk mencerna semuanya baik-baik. Untuk memilah-milih mana yang terbaik dan memang harus ditinggalkan saat itu juga. Karena bagaimanapun, kita bertanggung jawab atas diri sendiri. Bukan orang lain :) Kalau aku, stay waras! Menjauh jika memang langkah itu diperlukan. Terima kasih ya.

      Hapus
  3. Aku belajar juga kalo menyimpan dendam hanya menyakiti diri sendiri, bukan orang yg kita dendami. Percuma yg ada. Malah dendam yg terlalu kuat, kdg malah jadi penyakit . Rugi dua kali.

    Kalo memaafkan mungkin susah, aku lebih milih lupakan dan serahkan hukumannya ke Yang Maha Kuasa. Lebih adil, dan aku percaya setiap orang akan menuai apa yg dia lakukan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Mbak Fanny :)
      Betu sekali. Dalam hidup berlaku hukum tanam tuai. Siapa yang menanam, dia akan menuai. Ada sunnatullah. Siapapun tak pernah bisa lepas dari sunnatullah itu yang familiar di kita sebagai karma. Memaafkan bisa, tetapi melupakan lah yang sulit. Aku sendiri begitu. Memilih untuk tak mendendam adalah pilihan bijak untuk kebaikan diri sendiri. Karena tak adil, jika orang yang menyakiti kita sedang enjoy dengan hidupnya, dan di waktu bersamaan kita sendiri sedang terpuruk dan menyalahkan keadaan. Tetap semangat ya :)
      Terima kasih sudah berkunjung.

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)