Ada insiden tak mengenakkan tadi malam saat ikut berkomentar di status FB seorang teman. Awalnya greget. Niat meluruskan sayangnya malah berujung prasangka. Kadang seseorang bisa salah menafsirkan nasehat baik orang lain jika sudah bertentangan dengan pendapatnya. Terlebih jika tak sesuai dengan niat yang ada di dalam hatinya.

Padahal gadis ini sudah kuanggap seperti adik sendiri. Sering kali ia curhat mengenai niatnya yang ingin berhijab syar'i namun tak direstui keluarga. Pun rasa bungah saat melihatnya pelan-pelan berproses meski ujung-ujungnya hanya bisa bertahan selama beberapa bulan. Barangkali ia lelah dengan rongrongan keluarga yang tak memahami niat baiknya.

.. atau karena pengaruh teman-temannya. Mungkin saja.

Tapi ya aku bisa apa? Hanya tetangga. Meski pernah memberanikan diri untuk menyampaikan itikad baik sang anak kepada ibunya. Memang ditanggapi baik, tetapi sulit sekali meluruskan pemahaman mereka mengenai kewajiban menutup aurat sesuai syariat. Walau sudah berhati-hati saat mengutarakan maksud hati, tetap saja akan ada yang berprasangka 'sok baik', 'sok alim', dan sebagainya.

Mereka hanya mendengar tetapi tidak membuat perubahan apapun. Pernah ada yang nyeletuk kalau hijab itu yang penting sudah menutup kepala, nggak perlu pakai yang gede-gede. Terlebih mereka juga beralasan yang penting sholat sudah baik.

Benarkah? Padahal kita tak tahu saat shalat apakah sudah khusuk atau masih terngiang-ngiang perkara di luar shalat. Bukankah shalat yang baik itu ialah shalat yang khusyuk?

Ibadah yang baik tentu akan tercermin dari kehidupan orang itu dalam kesehariannya. Hatinya juga akan peka untuk menerima suatu niat baik yang berwujud nasehat.

Akhir-akhir ini aku memang memperhatikan status yang ia update dan menahan diri agar tak gatal berkomentar. Tetapi status tadi malam merobohkan pertahan diriku demi meluruskan maksud dari status sang gadis. Notabene yang berkomentar pun adalah kaum adam. Rasanya tak wajar jika updetan status muslimah yang belum menikah dikerumuni laki-laki yang sebenarnya juga tak paham dan hanya sekedar mengimbuhi. Ikut-ikut berkomentar.

Finally, setelah menerima damprat karena dianggap ikut campur urusan orang lain akhirnya aku menarik diri. Istighfar. Terpenting niat baik sudah kusampaikan meski mungkin tak terbaca dengan baik. Karena jika ia mengenalku dengan baik harusnya tak perlu begitu emosi menterjemahkan maksud dari komentarku.

Ah ya sudahlah. Toh kita tak perlu membenarkan semua hal hanya untuk diterima orang lain, atau hanya agar orang lain sependapat dengan kita. Meski kebenaran barangkali akan membuatmu hanya memiliki teman yang dapat dihitung. Walau orang lain mungkin akan sakit hati dengan kebenaran yang kita sampaikan.

Anggap saja konsekuensi dari kebaikan itu. Diterima atau tidak, tak jadi masalah. Tugasmu adalah menyampaikan kebenaran untuk kebaikan.

Bercermin lagi, rasanya tak salah jika seseorang harus selektif memilih teman. Karena sedikit banyak, secara perlahan, seorang teman mampu merubah kepribadian kita mengikuti caranya. Salah berteman sama saja menjerumuskan diri sendiri jika ternyata ia bukanlah sosok yang baik untuk dijadikan teman.

Karena teman yang baik akan mengajakmu untuk menjadi baik pula. Berteman boleh saja dengan siapapun, selama kita bisa memfilter mana yang boleh diikuti dan mana yang tidak. Bersikap selektif agar kita sendiri mampu terus berjalan di jalan baik, bersama orang-orang yang juga akan membersamaimu menjadi lebih baik.

Sederhana saja :

Kau tak perlu mengikuti alur semua orang hanya agar beroleh teman dan orang lain dapat menerimamu.

Karena sebaik-baik teman yang dapat membawamu mendekat pada Allah. Bukan condong pada kekinian duniawi saja.
“Seseorang itu menurut agama teman dekatnya, maka hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Magelang, 27 Juli

0 Komentar