Dulu, saat baru menginjak usia remaja.. aku mulai berani memimpikan hal-hal besar. Menulis target apa saja yang harus kuraih di tahun-tahun ke depan. Hampir semua list yang tertulis adalah daftar cita-cita untuk pencapaian terbaik yang ingin diraih. Menempuh pendidikan setinggi mungkin. Menulis sebuah buku. Keliling dunia. Jadi orang terkenal yang bisa menebar manfaat baik untuk orang lain.

Impian besar yang bagiku tidaklah muluk-muluk. Bukankah Allah Maha Besar? Impianku mungkin hanya remah yang tak mustahil untuk Allah ijabah dalam sekejap mata, jika Allah berkehendak. Maka aku percaya selama mimpi itu terus tertanam di dalam semangatku. Selama aku tetap berjalan di jalan yang benar untuk dapat menuju mimpi-mimpi itu, maka tak ada yang mustahil.

Aku mungkin begitu polos saat itu. Kaca mataku belum bisa melihat dunia secara luas. Bahwa hidup ini harus ada perjuangan yang di dalamnya disertai rasa sakit, airmata, pengorbanan bahkan penderitaan. Pikirku semua akan berjalan baik-baik saja jika orangtua dan keluarga tetap utuh di sisi. Tak ada yang kehilangan atau harus meninggalkan satu sama lain.

Semakin hari aku membiarkan impian itu menari dengan khayalan yang baru mampu berandai. Membayangkan gerbang cita-cita itu akan terbuka lebar untukku. Barangkali pernah tanpa sadar aku bercerita dengan ambisius tentang impian besar dari gadis remaja yang lupa, bahwa ia hanya tumbuh dan tinggal di sebuah tempat yang bahkan begitu terpencil, meski hanya di dalam peta.

Sungai Guntung. Tak banyak yang aku ketahui tentang tanah ini kendati aku pernah terlahir di sana. Waktu itu aku bahkan mengabaikan kenyataan bahwa tempat tinggalku sangatlah tidak memungkinkan untuk berkembang sejauh yang kuinginkan. Belum lagi, tanpa dukungan dari keluarga dan orangtua aku tentu takkan bisa melangkah ke manapun aku ingin.

Untuk melanjutkan pendidikan ke bangku menengah pertama saja, aku harus mendaftar seorang diri tanpa dukungan keluarga kecuali mamak. Tumbuh di lingkungan keluarga yang masih berpola pikir sempit seperti mengekang keinginanku yang besar. Masa remajaku terkekang dengan segala macam peraturan. Bahkan untuk bergaul dengan teman-teman sebaya pun aku tak pernah beroleh ruang. Yang keluarga berikan padaku hanya kecurigaan dan pernyataan intimidasi. Hanya karena aku [anak perempuan].

Lama kelamaan aku tumbuh dalam dua dunia. Satu dunia mengharuskanku untuk tunduk pada setiap peraturan yang ada di dalam keluarga. Dunia lain, di mana aku hidup untuk impianku sendiri. Hingga terbiasa dengan dua dunia yang saling membelakangi itu.

Lebih lagi, tumbuh dari keluarga yang begitu mudah mengedepankan emosi dan kekerasan seperti menimbulkan trauma tersendiri. Sayangnya waktu bahkan tak bisa diputar lagi. Tak ada yang bisa dituntut untuk mengembalikan masa remajaku yang tak berjalan dengan semestinya. Tak ada yang mau bertanggung jawab atas luka trauma yang membekas sampai kapanpun.

Bagi keluarga mamak, termasuk mamak. Kekerasan mungkin adalah cara lain yang paling jitu untuk mendidik. Pukulan dan kemarahan seperti jadi makanan yang lebih mengenyangkan dari sekedar pengganjal perut. Tetapi aku tak bisa membenci mereka. Bagaimanapun mereka adalah keluargaku. Seperti apapun mereka memperlakukanku dulu.

Mungkin karena tak melulu pelajaran baik itu didapat dari keluarga baik-baik. Karena yang kudapatkan jelas berbeda. Aku tak menerima kata-kata halus penuh kasih sayang untuk tahu mana yang baik dan salah, melainkan petunjuk bernada amarah dan serapah. Tetapi kemudian aku belajar bahwa sangat menyakitkan diperlakukan seperti itu maka aku tak boleh berbuat hal sama pada orang lain. Terutama pada keluargaku sendiri.

Aku belajar satu hal dari didikan mereka, untuk tidak mengulang kesalahan sama pada generasiku.

Terkadang orangtua.. keluarga.. tak sadar bahwa sesuatu yang salah sudah mereka terapkan sejak lama. Saat tak ada kesempatan untuk memperbaiki meski mereka telah menyadarinya, luka trauma itu terlanjur membekas di dalam memori dan mental sang anak.

Terlebih didikan salah yang didapat seorang anak akan tetap mempengaruhi karakternya setelah dewasa. Aku sendiri merasakan hal itu. Ada hal yang kadang tak bisa kukendalikan. Juga ada hal-hal yang berlawanan di dalam diri sendiri.

Saat duduk di bangku Madrasah dulu, aku kerap ke perpustakaan daerah. Ada salah satu buku yang menjadi bekal pertamaku untuk mengerti sejak dini tentang kekerasan yang sering terjadi di dalam sebuah keluarga. Sayangnya aku lupa judul buku yang bercover warna merah jambu dengan ilustrasi hati yang retak. Tetapi point terpentingnya masih terekam dengan jelas di ingatan.

Bahwa anak yang mengalami kekerasan, perlakuan kasar, sering mendapat pukulan fisik atau pun mental, maka besar kemungkinan akan mengulangi hal sama pada anak-anaknya. Terlebih jika pola asuh yang tidak sehat itu seperti menjadi kebiasaan dalam sebuah keluarga. Salah sedikit langsung main pukul. Memarahi kesalahan anak dengan kata-kata kasar bukan justru menasehati baik-baik.

Barangkali itu yang disebut trauma psikis? Sesuatu yang sepertinya sembuh dari luar tetapi tetap ada luka di dalam jiwa. Banyak sekali orang di luar sana yang tak berhasil keluar, sebab trauma itu membekas sedemikian dalam. Sampai-sampai tak sadar bahwa hal itu juga mewarnai karakternya.

Hingga sekarang, Aidan berusia 2 tahun 3 bulan. Aku selalu mengingat-ingat isi dari buku itu. Bahwa apapun yang menimpaku tak boleh kuulangi pada anakku sendiri. Meski saat marah emosi bisa saja tak terkendali. Walau tangan mungkin saja melayang dengan mudah.

Sebisa mungkin aku mengerem diri sendiri. Saat marah kata-kata yang mungkin salah kuganti dengan kata-kata yang lebih layak untuk didengar. Kata-kata yang mengandung doa. Kadang suami juga mengingatkan hal serupa. Walau pernah tanpa sadar aku berucap perkataan buruk, setelahnya menyesal sekali, berkali-kali mengucap istighfar di dalam diri. Berharap agar ucapan itu terhapus.

Anak mungkin tak sadar saat ia berlaku salah, atau hanya kita yang terlalu menganggap semua bentuk kenakalannya sebagai kesalahan? #selfreminder

Bukankah keridhoan ibu juga termasuk kunci sukses dalam mendidik anak? Ridho pada sang anak walau seperti apapun ia yang kerap menguji kesabaran. Sebab tak mustahil doa-doa yang tadinya mengalir merupakan sebab anak-anak menjadi mudah dididik. Anak-anak menjadi patuh pada orangtuanya.

Aku bersyukur. Sebab kesalahan keluarga seperti memberi pelajaran tersendiri. Untuk tahu apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan saat mendidik seorang anak. Juga sekuat mungkin berusaha untuk tidak berkata kasar. Apalagi memukul dengan keras sampai meninggalkan bekas pada tubuh anak. Beruntungnya lagi, sebab dalam dua tahun masa penantian setelah menikah, jeda itu memberiku waktu untuk belajar sampai aku benar-benar siap lahir batin menurut Allah.

Allah mempertemukanku dengan guru-guru yang mengajariku banyak hal jauh sebelum Aidan lahir.

Guru yang mengajari bagaimana harusnya seorang anak diperlakukan menurut tahap usianya. Bagaimana menjadi orangtua yang baik dengan menerapkan pola asuh sehat di dalam keluarga. Selain itu, tak hanya saat berkiprah di PAUD atau saat mengikuti sebuah seminar/talkshow mengenai parenting. Ada banyak sekali ibu-ibu luar biasa di kehidupan nyata yang mengajariku secara tidak langsung. Aku hanya merekam, mengingat, dan mengaplikasikan sendiri ilmu itu secara gratis. 

Sembari terus menanam motivasi terkuat di dalam diri, bahwa apapun yang terjadi kekerasan bukan jalan keluar satu-satunya. Orangtua, keluarga, mereka boleh saja salah dalam menerapkan pola asuh ketika membesarkanmu. Tetapi jangan pernah biarkan kesalahan sama terulang lagi dan lagi melalui dirimu, kelak ke anak-anakmu juga.

Ah, semoga kekerasan pada anak. Kekerasan pada rumah tangga. Tak jadi semacam candu pada diri siapapun. Termasuk aku sendiri. Semoga anak-anak kita tetap bisa tumbuh dengan hari-hari yang dipenuhi kenangan manis bersama orangtua dan keluarganya. Bermula dari diri sendiri, sebuah generasi yang baik bisa terlahir dan tertempa dengan baik pula. Sebab anak adalah amanah dari Allah. Al-umm hiya al-madrasatu al-ula, [pun] ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Lantas, apakah anak-anak hadir hanya untuk menerima kemarahan atau pelampiasan saja? Tentu saja tidak.

Maka, stop kekerasan pada anak. Mulai detik ini. Katakan pada diri sendiri sebab hanya kau yang bisa memutus rantai itu. Bismillah :)

Btw, tentang impian yang menjadi pembuka postingan ini, qadarullah sebab Allah memiliki rencana lain dari rencana yang tadinya sudah kususun dengan baik. Meski berliku-liku, meski terasa terjal dan menyakitkan, nyatanya aku sampai pada satu persatu impian kendati jalannya berbeda dari yang kurancang saat awal.

Walau terlalu banyak kisah pahit di belakang sana, tetapi mungkin karena usia yang semakin dewasa.. aku mulai melihat hal-hal itu dari sudut pandang berbeda. Tak lagi hanya soal rasa sakit yang diingat-ingat, tetapi hikmah apa yang ada di baliknya. Kadang aku berpikir, barangkali itu semua bagian dari rencana Allah. Barangkali begitulah jalan yang harus ditempuh terlebih dulu untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya.

Yang terjadi saat ini, aku menikah muda pada usia 18 tahun dan menetap di Jawa. Punya anak di usia 21 tahun. Melanjutkan pendidikan di salah satu universitas. Lantas berkarier di dalam rumah dengan suka cita ^_^

Yang lebih membahagiakan aku tetap bisa menulis, kapanpun dan di manapun aku mau. Aku juga tetap bisa menyalurkan hobby traveling meski masih area lokal. Suatu saat insyaa Allah, jika Allah berkata 'kun' maka 'faya kun'.. langkahku akan sampai ke negara-negara bersalju itu. Suatu saat Allah akan mengabulkan keinginanku untuk merasakan kebesaran Allah di belahan bumi cinta-Nya yang lain. Aamiin yaa mujiibu.

Jangan berhenti bermimpi dan terus berproses menjadi lebih baik. You can do it!!!!


Magelang, 28 Juli

0 Komentar