Kita ; Dalam Rupa Umpama

15 April 2014 pukul 6:55
 
Pada akhirnya kita akan memilih jalan yang berbeda saat tiba di persimpangan dengan cabang yang tak sama. Atau barangkali seperti embun, yang memilih hadir meski harus diuapkan oleh sang mentari. Aku bingung, begitupun engkau. Kita meraba sisi jalan yang tak memberikan petunjuk. Sedang belukar kian menyemak di hadapan kita. Menghadang mata dengan kukuh tak berbelas kasih. Pada saat kita menyibak belukar itu, yang kita dapati hanya luka saat jari tertusuk duri tumbuhan yang menjalar liar. Saat kaki terperosok lumpur yang barangkali tertawa saat aku maupun engkau hampir menyerah kalah. Kita melangkah lagi, mencoba memujuk hati dan memberi semangat pada jiwa. Satu langkah lagi, ucapmu dan lirihku yang kerap ditingkahi sesal. Duh, betapa banyak perumpamaan yang merongrong kita dalam rupa menyedihkan. Tetapi kita tahu bahwa kita hanya sedang berjuang untuk tiba di satu jalan setapak yang mengarah di tujuan sama. 

Tentangmu Adikku, Tentang Kita.

12 Oktober 2013 pukul 9:23
 
Kau adikku, dan aku kakakmu. Ada darah yang sama mengalir di tubuh kita. Namun yang membedakan hanya jalan dan takdir hidup kita masing-masing. Sudah berapa tahun usiamu sekarang? Kakak lupa. Tetapi yang kakak tahu, kau telah tumbuh beranjak dewasa. Randi Agus Saputra, bahkan di namamu terselip namaku.. Yusnia Agus Saputri, sangat tipis bukan perbedaan nama kita? Ya, sebab kau adikku.

Saat takdir yang aku percayai sebagai kehendakNya merubah kebahagiaan kita. Aku sudah memilih jalanku sendiri walau pernah tersesat. Ternyata semua kesedihan itu, menamparku bertubi-tubi hingga sadar dan bangkit. Adikku.. kelak kau akan menjadi seorang suami, ayah bagi anak-anakmu, rubahlah yang buruk selagi masih bisa kau rubah saat ini. Lupakan penyesalan dan keluh kesah yang hanya mematahkan semangatmu. Biarkan masa lalu berlalu, kau harus bisa hidup jauh lebih baik di hari ini dan seterusnya. Kau bisa lebih baik dariku, kakak percaya itu. :')

Jodoh Pasti Bertemu

26 September 2013 pukul 18:58

Tiba-tiba saja ada keinginan untuk menulis catatan tentang jodoh. Betapa masa penantian tersebut tak jarang begitu lama, melelahkan, dan penuh airmata. Bismillah. Melihat ada banyak para sahabatku yang masih menunggu dengan penantian yang tak pernah lekang. Mengingat betapa kisah mereka begitu beragam, yang rindu kepada sosok halal yang telah Allah tetapkan untuk diri masing-masing.

Dulu, sebelum bertemu dengan jodoh sejatiku.. yaitu suami. Aku juga merasakan hal yang sama galaunya, padahal apa yang harus aku risaukan? Sebab jodoh tak mungkin tertukar. Bila masanya tiba, ia pasti akan datang melengkapi sebagian dari separuh agama. Teringat pesan Paman, saat penantian itu menguras airmata di setiap jengkal sajadahku.

"Jodoh itu.. sudah ada yang atur. Kamu tinggal berbenah diri, agar terus lebih baik lagi. Kalau kamu baik, insya Allah ia di belahan dunia yang antah berantah, mungkin juga tengah memperbaiki agama dan akhlaknya."

 Paman benar. Saat kita tengah memperbaiki diri, ia di sana juga tengah mempersiapkan diri untuk memilikimu, menjagamu dan membimbingmu sesuai yang telah Allah tetapkan di atas muka bumi ini, melalui perantara agama dan kitabNya yang suci. Jika aku ulur kembali kisah hidupku ke masa lalu, untaian peristiwa sejak kecil hingga pertemuan secara tak terduga bersama suami. Tak akan dipungkiri lagi, bahwa tangan Yang Maha Agung-lah yang telah mendesain jalan hidupku sedemikian rupa, dan indah pada waktunya.

Sahabatku, betapa kasih sayang Allah begitu dekat. Sangat dekat. Jangan bimbang, tetap istiqamah untuk memperbaiki akhlak diri. Insya Allah, yang baik akan tetap untuk yang baik pula. Allah tak mungkin mengingkari janjiNya. Percayalah, hal yang harus kau lakukan di tengah-tengah penantian tersebut adalah menata hati.. menjaga diri dari hal yang dapat menjerumuskan kesucianmu, dan nantikan ia di mahligai cinta dan suci dariNya. :)

Nothing Impossible!

2 September 2013 pukul 9:44
 
Rasanya baru kemarin aku berdiri dan belajar bagaimana cara berjalan kemudian berlari dengan baik. Waktu ternyata berjalan terlalu cepat, barangkali kedua orangtuaku masih ingat wajah gadis empat belas tahun mereka yang saat ini telah tumbuh menjadi sosok wanita dewasa. Umm, ya.. Berapa lama waktu membiarkan kita terpisah satu sama lain sejak insiden memilukan itu terjadi? Tujuh tahun, dimulai sejak aku masih berusia empat belas tahun. Waktu yang lama, tetapi cukup singkat untukku.

Mom, Dad.. Meski secuil asa itu telah aku raih walau belum seutuhnya, kelak! Semua orang begitupun kalian yang akan menjadi saksinya. Saat kesulitan justru mampu menjadikan gadis yang dulu terlalu manja menjadi sosok wanita yang tegar, kuat, dan sabar. Mom, Dad.. Aku bukan lagi gadis manja kalian..

Dulu.. aku mungkin selalu merengek bahkan menangis jika kemauanku tidak kalian penuhi. Tetapi saat ini, selama tujuh tahun ini aku telah belajar mandiri.
 

Cahaya dari Kegelapan (Saat Kesalahan Menjadi Ibrah)

18 Agustus 2013 pukul 13:56
 
Dan angin punya cara untuk berhembus. Langit punya cara untuk berubah warna. Air punya cara untuk mengalir. Pelangi punya cara untuk membias dalam rona. Bintang punya cara untuk berpijar dalam gelap. Begitupun aku, yang belajar mencintaiMu dengan caraku sendiri. Dengan petunjuk yang ada dariMu. Barangkali cahaya takkan ada jika tak pernah ada kegelapan. Dan mungkin saja aku takkan berubah menjadi lebih baik jika tak belajar dari pengalaman. Pengalaman yang datang dari pilihan bodoh.

Mungkin saja siang takkan ada jika malam tak pernah bergulir. Dan aku bersyukur pada kesalahan yang pernah ada, sebab ia mengajariku untuk melangkah di jalan yang benar dan tak jatuh di tempat yang salah untuk kedua kalinya. Barangkali ini semua adalah indikasi mengapa perjuangan untuk menuju syurga itu pahit, karena Ia telah menanti hati-hati yang rindu dan tertatih menuju cintaNya. 
 

Muara Kasih Ibu

4 November 2013 pukul 11:36
 
Tentang perjuangan seorang ibu untuk kesembuhan putrinya.**

Diam menatap bulir airmatanya. Sosok ibu yang bercerita mengenai anaknya beberapa hari yang lalu di rumah sakit. Mungkin merasa lelah jika harus ke rumah sakit setiap dua atau tiga bulan sekali untuk transfusi darah. Aku mengingat dialog yang ia ceritakan saat menemani putrinya di rumah sakit..

"Capek juga ya, Nak?"
"Ibu kok seperti itu. Lebih lagi aku, Bu. Rasanya kesel. Tapi mau bagaimana lagi."

Cuplikan dialog pendek yang membuat hatiku terenyuh, haru. Aku menyembunyikan getar kesedihan yang menelusup ke relung hati, sudah cukup melihat airmata wanita yang ada di hadapanku. Jika saja waktu itu aku menyaksikan sendiri dengan mata kepalaku, mungkin aku takkan mampu menahan airmata seperti yang aku lakukan tadi.

"Kasih sayang seorang Ibu memang tidak ada batasnya ya, Put. Terlebih lagi jika harus melihat anaknya terbujur di rumah sakit. Rasanya sedih." Ucapnya lagi.

0 Komentar