Sabtu, 21 Juli 2012

Dear diary

Saat aku menulis catatan ini pada tubuhmu yang putih. Aku tengah berada di antara deretan awan-awan putih yang tampak jelas dari kaca jendela pesawat yang akan membawaku kembali ke Yogyakarta. Setelah sebelumnya, hampir satu minggu aku berada di Riau dan berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau yang lain. Semua untuk mempercepat proses pengurusan administrasiku yaitu surat pindah dan beberapa berkas lainnya yang masih tercecer di tanah kelahiranku sebelum aku benar-benar pindah dan menetap di pulau Jawa. Sesekali aku memandangi awan yang bergerak rapi di luar sana dan juga peta bumi yang terhampar nyata di bawahku tampak jelas dari kaca jendela pesawat. Aku sangat bersyukur dan tidak henti-hentinya hati memuji keagungan Tuhan untuk semua kemudahan yang telah Ia berikan untukku selama ini. Kalau bukan karena pertolongan dariNya, aku mungkin tidak akan bisa seperti ini. Satu persatu mimpi yang dulu hanya jadi bahan olok-olokan orang lain, kini mendekat dengan sendirinya beriringan dengan usahaku dan tentunya semua atas izin Allah. Jalan itu datang menghampiriku saat aku merasa sangat terpuruk.

            Dimulai sejak hari pertama aku kembali menginjakkan kaki di kota Batam. Dari Bandara Hang Nadim aku memutuskan untuk segera menuju ke pelabuhan agar bisa secepatnya menyeberang dan pulang ke tanah di mana aku pernah menghabiskan masa bersama orang-orang terdekatku selama lima belas tahun. Hingga aku memutuskan untuk keluar merantau sendiri, lepas dari sisi orang-orang terdekat baik keluargaku. Yang ada di pikiranku saat itu hanya satu. Keyakinan, bahwa semua akan jauh lebih baik lagi dan hanya ini cara yang dapat aku lakukan untuk memperbaiki semua hal terutama tekadku untuk mengejar cita-cita yang sejak dulu tertanam begitu kuat. Sudah dua jam aku berada di dalam kapal laut yang akan membawaku kembali ke tanah tempat keluargaku bermukim. Sungai Guntung, itulah nama Kecamatan kecil yang telah menorehkan begitu banyak kenangan bersama orang-orang yang aku sayangi, meski terasa singkat.

Ah, andai saja orang tuaku tidak memutuskan untuk berpisah saat usiaku menginjak ketiga belas tahun. Mungkin ketika aku tiba, akan ada wajah mereka yang dapat menghilangkan rasa lelah yang ada di raga juga jiwaku. Tapi ternyata tidak. Aku hanya terlalu berharap bahwa kenangan singkat selama tiga belas tahun itu dapat terulang kembali. Bahagia, dengan kedua orangtua yang masih utuh dan duduk bersama merangkai tawa saat senja mengukir cakrawala jingga. Sesekali aku sempat menoleh ke arloji yang ada di tanganku. Hanya tinggal beberapa menit lagi aku akan tiba di tanah kenangan itu. Aku memandang ke luar lewat jendela kapal, sketsa gedung dan bibir pelabuhan kian dekat dan siap untuk menerima kapal yang sebentar lagi akan menepi. Hatiku semakin tidak keruan. Lirih dalam hati aku berkata, “Ya Allah, hampir dua tahun aku memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Kini denganMu aku kembali menjejakkan langkah di tanah ini. Iringi langkahku, kuatkan aku, serta permudah segala urusanku.” Hanya kata-kata ini yang dapat aku ucapkan saat itu.

            Dear diary

Aku tidak peduli, entah sudah berapa lembar sisi dari tubuhmu yang habis untuk mengisahkan segala ceritaku selama perjalanan pulang ini. Kau tahu dear? Allah itu adil, sangat adil. Rencananya begitu agung hingga aku baru dapat merasakan semua keindahan dari rencananya tersebut saat ini. Dengan langkah yang bergumul dengan rasa senang, bahagia dan jantung yang turut berdegup kencang. Aku memanggil satu tukang ojek untuk mempercepat waktu sampai di rumah. Aku lupa, semenjak perceraian kedua orangtuaku, rumah kami yang dulu pernah ditempati, kini hanya tinggal puing-puing bangunan kosong. Dan dikuasai oleh makhluk kecil yang leluasa memasang jaring-jaringnya di mana pun dengan sesuka hati mereka.  Aku hanya dapat memandangi sisa kenangan yang masih utuh walau begitu usang pada rumah itu.

Kau tahu dear? Airmata yang tidak ingin aku biarkan tumpah akhirnya tumpah juga dengan sendirinya. Aku menemukan satu buah foto ayah dan ibuku tepat di salah satu meja usang di kamar yang dulu pernah mereka tempati. Aku hanya bisa menatap gambar tersebut dengan sesekali menciuminya. “Ayah, Ibu, aku sangat merindukan kalian.” Baru saja aku ingin keluar dari rumah kenangan yang telah berhasil menyeret bulir-bulir embun yang berharga mengalir rapi menekuri tiap-tiap sudut wajahku, aku tersontak, ada  dua anak kecil yang saat itu telah berada di hadapanku. Mereka adik-adikku. Tuhan, lihatlah mereka. Aku bahkan sempat tidak mengenali adikku karena pakaian yang mereka kenakan telah cukup menjadi bukti tidak adanya perhatian bagi mereka selama ini, baik dari keluargaku.

Aku langsung berjalan dan memeluk adikku dengan tangis yang semakin menjadi. Mereka juga ikut menangis, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka hingga aku melepaskan pelukanku. “Kak, Sandi mau ikut sama kakak,”  ucap adik bungsuku. Spontan rasa haru semakin kuat menjalari hatiku. “Iya, Dik. Kakak pulang untuk mengurus semua surat pindah dan berkas-berkas kalian. Setelah ini, kalian akan ikut serta bersama kakak menuju kehidupan yang lebih baik lagi di luar sana. Jangan bersedih ya, Dik. Ada hikmah dari semua yang telah Allah berikan untuk kita. Allah sayang sama kita.”

****************

BIODATA PENULIS :
Nama Yusnia Agus Saputri dengan nama penanya Putri An-Nissa Nailhatul Izzah. Lahir sebagai wanita berdarah bugis. Beberapa karyanya yang telah terbit dan akan segera terbit tergabung dalam bentuk antologi. Salah satunya, “Pelangi Ramadhan”(AG Publishing), “Pupus” (Afsoh Publisher), “Catatan Hati Bianglala Hijrah” (Soega Publishing), "75 Keajaiban Menulis" (Afsoh Publisher), "The Formula of Charity" (Penerbit Harfeey) dan beberapa antologi lain yang masih dalam proses terbit. Saat ini menetap di Magelang. Dapat di hubungi melalui email : yusniaagussaputri@ymail.com;

= = = = = = = = = = = = = = =

LOMBA WRITING AWARD WR SEPTEMBER-OKTOBER 2012

0 Komentar