Assholatu khoirrumminannaum… Assholatu khoirrumminannaum… Suara adzan subuh telah berkumandang di seantero tempat tinggalku. Tepat pada saat ibu membangunkan dengan membelai lembut rambutku. Aku menggeliyatkan tubuh sebentar, lalu duduk di atas tempat tidur berhadapan dengan ibu.
        “Ayo, ambil air wudhu dulu. Shalat berjamaah sama-sama. Hari ini kan hari keberangkatan kamu, Niss,” ujar ibu seraya mencium keningku dengan lembut lalu beranjak dari tempat duduknya. Aku mengikuti ibu, beringsut dari tempatku dan mengekor ke belakang. Ada perasaan haru juga sedih yang tiba-tiba menghinggapi perasaanku. Berat rasanya untuk pergi meninggalkan ibu begitu juga ayah. Tapi  mungkin untuk sekarang, hanya ini jalan alternatif yang bisa aku ambil. Pergi dan menyingkir untuk sementara dari tempat ini. Memberi kesempatan pada diri sendiri, untuk berdialog ramah dengan suasana hati yang hingga saat ini tidak menentu. Terlebih jika aku tetap bertahan di sini. Mungkin hanya perasaan sedih dan tertekan yang akan menyelimuti hari-hariku. Ha, ada kalanya manusia memang harus dihadapkan pada satu situasi sulit. Di mana mereka akan dihadapkan pada dua keputusan yang sulit pula. Menguji seonggok daging yang tercipta dalam diri. Manakah yang akan menang? Logika atau kah perasaan?
         “Niss,” tegur ibu.  Yang membuatku tersontak kaget dari lamunan sejak tadi.
         “Wudhu dulu sana,” sekali lagi ibu mengingatkanku untuk segera mengambil air wudhu.
         “Iya, Bu.” Jawabku dengan sedikit terbata. Jika seandainya saja saat ini ibu tidak ada di hadapanku. Mungkin airmata yang aku tahan sejak tadi telah tumpah dengan ruah. Hanya hatiku yang tidak bisa menahan tangisnya. Di dalam hati aku berkata sendiri.
          “Ibu, sungguh saat ini aku sangat rapuh." 

 *Sepenggal kisah dari cerpen yang tergabung di buku antologi "Pupus"


0 Komentar