Saat bibir tidak mampu berucap, namun ada hati yang senantiasa berdialog. Dialog tentang kita. Hati kita. Bercerita kisah demi kisah yang tidak terlampaui oleh kata. Bercerita tentang kita yang menunggu malam berlalu menjadi pagi. Atau, menunggu saat senja menghilang berganti malam. Semua yang terangkai indah dalam melodi waktu. Tidak dapat menghilang bagai embun yang menguap akan matahari. Tidak dapat terpisah bagai bumi dan langit yang tidak mungkin menyatu. Begitulah kita.
****

Aku melipat kertas itu dan menyelipkannya di sela-sela tas berisi pakaian, yaitu milik kedua adikku. Hanya tinggal beberapa menit lagi mereka akan berlalu pergi ke tempat yang sebelumnya tidak pernah mereka kunjungi. Ke tempat di mana kelak mereka akan menemukan setitik cahaya yang dapat menuntun langkah mereka, kepada siapa hidup ini akan di arahkan. Ke tempat di mana ada beribu anak lain yang bergelar santri, sama-sama sedang menimbah ilmu. Sama-sama sedang berusaha dalam menegakkan titah Illahi.

"Kak, sebentar lagi mobil jemputan Paman datang," ucap adik bungsuku, Sandi.
"Iya, memangnya kenapa, Dik?" Aku tidak kuasa menatap mata beningnya. Ada embun yang menggantung seolah mendesak untuk segera keluar dari halauan kedua kelopak matanya.
"Kami takut, Kak. Di sana kami tidak kenal siapa-siapa," ucapnya lagi.

Aku langsung memeluk kedua adikku. Tidak terasa airmataku pun ikut mengalir keluar. Setelah kehilangan kedua orangtua yang aku sayangi pada sebuah kecelakaan dua tahun lalu, mereka adalah harta berharga yang sangat penting di dalam hidupku.

"Dik, ada Allah yang akan selalu bersama kalian. Jangan pernah merasa sendiri. Di mana pun kita berada, ada mata Allah yang selalu melihat. Ada tangan Allah yang selalu menyertai orang-orang yang gemar menuntut ilmu di jalanNya. Percayalah, kelak ilmu juga yang akan mengantar kita kepada syurganya Allah. Semoga di sana kita bisa berkumpul kembali dengan kedua orangtua yang sangat kita sayangi."

"Karena Allah, Dik." Aku mengecup kening mereka bergantian. 

29092012, Magelang

0 Komentar