Jum'at lalu aku kembali ke rumah sakit untuk meneruskan konseling. Seharusnya seminggu sebelum itu, berdasarkan jumlah obat yang diberikan oleh psikiater untuk waktu dua minggu. Tetapi karena hari yang ditentukan bertepatan dengan Idul Adha, aku mengulur waktunya hingga satu minggu kemudian. Itu berarti tiga minggu dari konseling terakhir kali.

Di hari yang sama, beberapa jam sebelum bertemu psikolog, aku mengabari beliau bahwa akan datang siang itu. Padahal sejak sehari sebelumnya, aku seperti maju-mundur untuk berangkat ke pertemuan konseling.

Sebutlah, aku mengalami beberapa pergelutan batin akhir-akhir ini. Tiba-tiba merasa ragu. Apa dengan menemui profesional, mengetahui diagnosa awal psikolog tentang mood disorder yang kumiliki, sampai pada perasaan yang tiba-tiba merasa "aku normal, mengapa harus memerlukan profesional?", berkelebat hadir agak memaksa.

Aneh. Mengapa perasaan seperti itu yang hari ini muncul mengusik keyakinanku pada proses healing yang sedang berusaha dijalani?

Atau ini lagi-lagi sebentuk mekanisme pertahanan diri? Trust issue?

Pikiranku seperti sedang mencari alasan untuk 'tidak harus melanjutkan konseling' lagi. Padahal, pemikiran seperti ini jelas bukan hal yang benar. Aku memerlukan semua tahap itu. Sampai setidaknya yakin bahwa hal-hal menyakitkan, pengalaman buruk yang dipendam sendiri, semua yang selama ini kerap menganggu tak lagi gencar mengusik mentalku.

Aku sebenarnya khawatir. Ini hanya mode pertahanan diri, dan aku kembali menghadirkan tembok itu. Merasa tak nyaman, agar memiliki alasan untuk menghindar. Ini pula yang pada akhirnya kusampaikan pada psikologku.

Bertanya pada beliau, mengapa setiap kali aku memasuki sebuah circle, aku mulai merasa nyaman, apalagi jika secara kebetulan orang-orang di dalamnya membuatku merasa diterima, itu tak pernah benar-benar bisa berlangsung lama? Karena pelan-pelan, aku seperti menciptakan ketidaknyamanan sendiri, dan itu menjadi masuk akal untukku. Seperti alasan yang mungkin bisa kuyakini bahwa orang-orang yang bersangkutan justru hanya akan melukaiku. Atau diam-diam mereka senang membicarakanku, menjelek-jelekkanku di belakang, karena itu yang kerap sekali terjadi.

Psikologku memiliki pandangan tersendiri terkait itu, aku menangkap analisanya. Tetapi aku juga berusaha memahami, barangkali perasaan tersebut bagian dari problem 'trust issue' yang ada padaku selama ini. Iya benar, masalahnya mungkin saja ada padaku. Aku yang tak bisa sepenuhnya membuka diri, bukan?

Ada banyak penjelasan yang Psikolog coba jabarkan dari permasalahan yang kusampaikan.

Dimulai dari relaksasi atau stretching yang berujung pada cedera otot, seperti ingin menertawai kekonyolan diri sendiri.

Kemudian berlanjut pada bagaimana perasaanku tiga minggu belakangan ini. Terkait bullet journal untuk mood tracker yang kubuat berdasarkan saran dari dokter Myra Sp.Kj. Psikologku membenarkan cara ini agar aku juga bisa membuat semacam grafik mood, supaya lebih mudah menganalisa fluktuatif moodku setiap saat. Walau kenyataannya, sejak trigger terakhir kali aku stuck menulis apapun di bullet journal itu.



Kebetulan dua hari setelah hari raya Idul Adha, aku sempat mengabari psikolog bahwa situasiku tengah di titik mental breakdown. Di fase itu aku seperti melepaskan kontrol diri yang selama ini menutup rapat-rapat permasalahan yang ada. Secara jujur menuliskan isi pemikiran dari pengalaman maupun perasaan yang hadir saat itu. Apa saja yang terlintas di benakku, kutuang dalam bentuk tulisan. Meski hanya dibagikan pada laman Facebook pribadi dengan setelan privasi terkhusus "teman".

Support moril pun terus datang, begitu banyak, dari teman-teman sosial media. Dari komentar, DM, pesan WhatsApp, sampai pada beberapa panggilan telepon meski tak bisa kujawab saat itu karena tak siap berbicara dengan siapapun. Speechless. Masih banyak orang yang peduli. Kendati mereka yang terbilang dekat, justru tak kunjung menampakkan diri.

Pada akhirnya, aku merasa jauh lebih tenang dengan semua dukungan yang datang hari itu. Membaca komentar, saran, masukan, yang datang dari teman-teman secara perlahan.. membuatku merasa dikuatkan, dan didengarkan. Di titik down itu, ada banyak orang yang sedang ingin merangkul perasaanku. Aku menghargai itu semua.

Tetapi ternyata itu saja belum selesai, ada emosi negatif yang tertahan dan terlampiaskan dengan cara yang salah. Aku menyesali itu di hadapan psikolog. Berkata bahwa sebenarnya aku tak bermaksud demikian, tetapi kejadiannya terjadi begitu saja. Wajah psikologku sekilas tampak kaget. Iya, aku juga menyesal untuk itu.

Kemudian, aku menceritakan triggernya yang bermula dari masakan Rendang Sapi di hari raya. Berimbas pada perasaan tertolak, merasa lagi-lagi tak dianggap, tak diapresiasi sama sekali. Aku merasa terus menerus dikerdilkan oleh lingkup maupun orang-orang yang sama. Seperti men-trigger kembali seluruh perasaan sedih, termasuk pula pengalaman menyakitkan yang dialami sepanjang ini. Tanpa sadar membuatku jauh lebih emosional.

Sembilan tahun menikah, baik keluarga suami, terutama mertua, bahkan orang-orang yang tak mengenalku dengan baik.. mereka yang membangun cerita untuk percaya bahwa aku tak bisa memasak. Kemudian bertahun-tahun aku berusaha membuktikan diri bahwa aku bisa memasak, aku bisa melakukan apa yang mereka pikir tak bisa kulakukan. Aku terus belajar. Berusaha menunjukkan diri, dan berharap diapresiasi.

Tetapi yang terjadi jauh panggang dari api. Masakan yang kubawa sepenuh hati ke rumah salah seorang kerabat justru tak dilirik sama sekali. Aku sampai memohon pada keponakan suami untuk mau sedikit saja mencicipinya. Seolah sungkan dengan sang ibu, bocah itu menggeleng keras di hadapanku. Apa yang salah sebenarnya? Aku, atau masakanku? Bagaimana bisa mereka memutuskan bahwa makanan itu tak sesuai dengan lidah mereka, jika mencicipinya saja tak pernah? Aku sudah mati-matian belajar, dan berusaha memasak sesuai selera lidah orang Jawa pada umumnya. Mereka yang memilih tak memberiku kesempatan hingga hari ini.

Setiap kali membuktikan diri, semakin aku mendekati kesempurnaan, semakin mereka menunjukkan sikap sebaliknya. Menyedihkan sekali berharap diapresiasi oleh mereka yang tak pernah tulus peduli. Padahal, Nabi sendiri memberikan teladan bagaimana adab di hadapan makanan. Apalagi jika itu berupa pemberian seseorang. Jadi sebenarnya, bukan masakanku yang tak sesuai dengan mereka. Barangkali diriku sendirilah yang selama ini tidak mereka anggap sebagai bagian.

Apa itu belum cukup jelas? Selama sembilan tahun, bukan hanya oleh mertua, bahkan pula ipar. Aku terus menerus merasa diperlakukan tak adil sebagaimana perlakuan mereka.

Malam itu, setibanya di rumah aku menangis seperti anak kecil yang meringkuk kesakitan. Hatiku menciut, kecil sekali. Aku menyampaikan kekecewaan pada suami. Mengapa keluarga dan orangtuanya terus memperlakukanku seperti ini? Masakanku yang bermasalah? Atau mereka memang tak pernah menyukaiku sejak awal? Sepertinya apa saja yang kulakukan selalu tak sesuai dengan mereka. 

Aku benar-benar putus asa. Memutus semua kontak yang ada. Menutup diri dari mereka. Sembilan tahun, aku hanya ingin beroleh sedikit saja apresiasi. Apa salah?

Kuceritakan uneg-uneg itu di hadapan psikolog, bahwa aku sudah berusaha. Di titik tersebut pun, aku hanya ingin mereka yang membicarakan kekuranganku di belakang, juga bisa mengapresiasi kelebihanku. Walau terasa sangat mustahil.

Usai mendengar ceritaku, psikolog meminta agar aku berhenti menaruh ekspektasi pada siapapun. Karena ketika mereka tak bisa memenuhi ekspektasi itu, aku sendiri yang akan terluka.

Psikolog menganjurkan supaya aku belajar mendalami sikap "Nothing to Lose". Belajar masa bodo, EGP, pada apapun respon yang orang lain berikan. Karena sebagai manusia selalu akan ada hal yang berjalan di luar kendali. Termasuk pada respon orang lain yang tak melulu berkenan di kita.

Nothing to Lose berarti, saat aku melakukan sesuatu hal, itu semata-mata untuk memuaskan diri sendiri, jika kemudian aku memutuskan untuk membagikan itu pada orang lain, maka apapun respon yang orang lain berikan kemudian.. itu bukan lagi masalah untukku.

Ini tak benar-benar menjadi mudah. Nothing to Lose, dan bagaimana pengaplikasiannya. Apalagi jika sudah sembilan tahun berusaha di tengah orang-orang yang sengaja membutakan mata terhadap kelebihanmu, seperti halnya meneteskan perasan jeruk nipis di atas luka yang belum kering. Berat sekali, berada di sekitar orang-orang yang sengaja membutakan mata untuk melihat sedikit saja kebaikanmu. Tetapi anehnya, nila setitik selalu saja tampak di mata mereka meski keburukan itu tak benar-benar ada di dirimu.

Seperti itulah kenyataannya.

Aku menulis ini untuk melepas emosi negatif yang masih tersisa atas semua perlakuan mereka selama ini. Jika memang sesulit itu mereka menerimaku, bahkan sekedar mengapresiasi maksud baikku, aku akan belajar mulai dari sekarang. Sebaiknya, aku berhenti terlalu keras pada diri sendiri. Memberi makan kucing kelaparan jauh lebih bermanfaat barangkali. Memberi pakaian pada tuna wisma jauh lebih membahagiakan. Setidaknya orang-orang yang memang butuh uluran tangan, lebih bisa menghargai sekecil apapun pemberian itu. Dari pada manusia yang memiliki nurani-pikiran bahkan indra yang sempurna, tetapi tak tahu cara mengapresiasi.

Aku belajar, bahwa menjadi orang yang pandai mengapresiasi kelebihan, kebaikan, atau bahkan pencapaian orang lain seharusnya bukan hal yang sulit jika hatiku sendiri tak berkeberatan dengan itu. Kecuali kalau aku menganggap orang lain sebagai pesaingku.

Dua point yang kutangkap dari konseling kali ini. Berhenti berekspektasi terlalu tinggi pada orang lain. Belajarlah untuk bersikap Nothing to Lose, dan lakukan semua hal semata-mata untuk diri sendiri, bukan tergantung dari bagaimana respon orang lain nantinya.

Dua sesi konseling yang berlalu tanpa terasa, sembari menunggu ayahnya anak-anak selesai shalat Jum'at di masjid komplek rumah sakit. Siang itu, aku merasa jauh lebih lega. Aku pelan-pelan mulai terbuka. Meski belum keseluruhan, sebab ada yang sangat mengganjal di benakku.. tetapi hingga hari ini belum sama sekali kuceritakan pada psikolog. Aku pribadi belum siap untuk itu. Mungkin nanti, perlahan, ketika bisa mengalahkan 'trust issue' dalam diriku sendiri.

Sepertinya sesi konseling kali ini aku sedikit banyak mulai terbuka, beberapa pertanyaan kulempar hanya untuk meyakinkan diri sendiri. Meski sepulang itu.. aku mengalami gangguan cemas. Khawatir jika aku melewati batasanku sendiri. Aku meracau di saat tidur. Kujelaskan pada suami bahwa kondisi perasaanku sebenarnya jauh lebih lapang, tetapi entah dari mana datangnya, ada perasaan bersalah yang menyergap begitu saja. Bersalah pada diri sendiri. Aneh, ya?

Aku ingat. Sebelum keluar ruangan, sembari menggendong Dhafin, aku kembali bertanya..

Selama ini aku memperlihatkan sisi lain dari diriku di sosial media, seakan-akan aku terlihat baik-baik saja, dengan kehidupan normal sama seperti yang lainnya. Di titik ini, aku hanya ingin orang lain mengenalku lebih baik. Entah itu kelebihan, beserta pula kekurangan yang ada. Aku menyadari bahwa sebenarnya aku sendiri takut orang lain akan berekspektasi terlalu tinggi pada sosokku. 

Jadi aku merasa nyaman untuk menyampaikan bagian dari proses terapi ini. Bahwa aku memiliki kekurangan di balik itu, berharap semoga memudahkan orang lain dalam memahamiku lebih baik. Bukan hanya sepintas dengar, atau sekilas tahu. Tetapi benar-benar mengenalku dari setiap sisi yang ada, bukan hanya satu sisi.

Betapa banyak di antara kita yang ingin bicara, berharap beroleh kesempatan, tetapi seringnya kita terkunci oleh keberanian diri sendiri. Tak berani keluar cangkang. Tak berani membuka diri. Tak berani jujur di mulai dari diri sendiri.

Padahal, apapun itu.. juga bagian dari diri kita yang sebenarnya. Bagian dari perjalanan hidup yang membentuk siapa kita, kini maupun nanti. Juga suara-suara yang tak seharusnya dikekang, ada baiknya dilepaskan saja. Karena setiap kita berhak memperoleh kedamaian di dalam hati masing-masing. Kita tak bisa terus lari dari kenyataan, bukan?

Haaahhh! Akhirnya, aku bisa menghela napas lega detik ini. Aku lega bisa menuliskan pengalaman itu di sini. Psikologku sepertinya mendukung aktivitas menulis ekspresif jika memang ini membantu di proses healing itu sendiri. Aku percaya satu hal, setiap pertemuan kita dengan seseorang.. entah itu teman, guru, kenalan, siapapun, semua terjadi bukan karena perkara kebetulan semata. Melainkan ada iradah Allah di dalamnya. 

Begitu pula mengapa psikologku saat ini yang menjadi konselorku, mengapa bukan yang lain?

Allah pasti punya maksud baik tersendiri. Insyaa Allah.

Semoga keraguan yang tak diundang itu juga pelan-pelan akan sirna. Sebab ternyata, aku melihat ada kebaikan dari secuil keberanian yang kubagikan di sini. Bahwa sebenarnya, ada banyak orang-orang sepertiku yang juga menunggu moment pas bagi diri mereka untuk memberanikan diri, menceritakan secara jujur pada dunia.. tentang bagaimana mereka sembuh dan bertumbuh.

 Terlepas setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Itu juga berarti setiap kita bisa saja memiliki pembelajaran berharga, hikmah, sebuah cerita, yang layak untuk dibagikan dan orang lain bisa saja mengambil pembelajaran darinya tanpa harus melalui serangkaian pengalaman tak menyenangkan itu.

Dear diriku dan kamu yang sedang membaca ini, BE BRAVE! BE YOUR SELF! Teruslah menjadi sosok yang lebih baik. Belajar 'Nothing to Lose'. Aku akan berusaha menerapkan saran dari psikologku. Bismillah.

Semoga bermanfaat 💖💖😙😙


_______________________________________


Magelang, 03 Agustus 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

2 Komentar

  1. Aku sepakat untuk jangan berekspektasi terlalu tinggi dengan orang lain. Memang terkadang kita harus bersikap "bodo amat" biar gak terlalu 'sakit' mba.

    mba, udah pernah baca buku "sebuah seni untuk bersikap bodo amat" belum? kayaknya bagus mbaa..

    Semangat terus ya mba..
    Salam kenal, :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal, Mbak Thya :)
      Sebenarnya aku punya bukunya, tapi bacanya belum tamat hehe
      Semoga setelah ini bisa benar-benar bersikap bodo amat ya. Terima kasih sudah main ke sini..

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)