Aku sedang mengatasi episode manik dengan mendengarkan musik relaksasi (meditation self), sembari berlatih pernapasan. Berapa hari ini kendati sebelumnya juga pernah berada di fase seperti ini, barangkali baru sekarang aku mengetahui bahwa ternyata kondisi demikian memiliki julukan. Ketika sedang merasa senang, jantungku berdetak lebih kencang. Disusul euforia luar biasa karena ada banyak sekali ide yang berdesakan di dalam kepala. Anehnya, tak semua ide luar biasa itu bisa dieksekusi dalam waktu bersamaan.

Misal, aku berpikir untuk menulis ini dan itu. Mengerjakan banyak hal besar. Tetapi karena sibuk memikirkan ide-ide yang terasa fantastik, aku kelimpungan. Terlalu berenergi, terlalu senang, terlalu banyak ide, menjadi sulit tidur. Jika pun tertidur, namun tak sepenuhnya lelap. Puncaknya, dua hari ini aku bergantung dengan paracetamol untuk meredakan nyeri sakit kepala.

Padahal pagi tadi kondisiku masih baik-baik saja. Bangun tidur seperti biasa. Bersiap ke toko buku untuk membeli beberapa judul baru bertema self improvemet, humaniora dan motivasi. Tepatnya ada tiga judul yang kubawa pulang sebagai kado di hari ulang tahun. Setelahnya suami juga mentraktir makan di angkringan lesehan yang terletak tepat di pertigaan jalan komplek kantornya. Aku masih baik-baik saja sampai saat itu.

Walau sepertinya, sejak berada di toko buku aku menjadi lebih energik dan senang luar biasa. Bukan semata karena didampingi anak-anak maupun suami, atau karena akan beroleh buku baru. Orang lain mungkin akan merasa senang secukupnya. Untukku, ini euforia.

Baru setibanya di rumah, sekitar pukul dua siang.. awal mulanya, aku hanya merasa jantungku berdetak lebih kencang. Berdebar tak beraturan. Kemudian setiap kali ide-ide hebat itu kembali terpintas, kepalaku mulai berdenyut-denyut. Lama kelamaan rasa nyerinya semakin intens. Aku bahkan tak bisa menulis caption dengan baik. Anak keduaku yang merengek rewel, semakin menambah intensitas rasa nyerinya. Di kondisi seperti ini, aku mudah sekali tersulut marah. Sampai dengan sengaja membenturkan kepala di lantai, meski sebenarnya nyeri yang dirasa tak mereda signifikan.

Barangkali selain karena kurang tidur, juga efek dari terpapar sinar matahari terlalu lama. Entah dimulai sejak kapan, tetapi yang pasti setelah menikah, gejala itu semakin intens terjadi. Setiap kali cemas, terpapar sinar matahari terlalu lama, berada di ruangan yang sumuk dan pengap, aku mudah sekali sakit kepala atau mengalami migrain.

Karena kali ini aku sudah mengetahui kondisi diri, aku bisa menerka-nerka bahwa barangkali ini yang dinamakan fase manik. Satu dari episode bipolar yang umum dialami ODB (orang dengan gangguan bipolar). Mungkin karena itu, orang yang didiagnosa memiliki symptom bipolar dianjurkan untuk cukup tidur. Beroleh resep obat yang juga bertujuan sebagai stabilizer mood setiap harinya.

Sebenarnya, aku sudah diresepkan obat oleh psikiater untuk mengatasi gangguan bipolar yang ada.  Agak dilema, karena mengingat kondisiku yang masih menyusui. Agustus ini, anak keduaku baru akan berusia 13 bulan. Dari apa yang disampaikan oleh dokter Myra Sp.Kj, obat jiwa memang bisa dikonsumsi oleh ibu menyusui dengan syarat bayinya harus disapih, atau memompanya terlebih dahulu sebelum memberikan ASI pada anak.

Menyapih jelas bukan pilihan yang bisa kusanggupi. Memompa ASI juga masih mendatangkan kekhawatiran, bagaimana jika masih mempengaruhi kualitas/kandungan ASI nantinya? Aku belum mencari informasi lebih terkait ini. 

Bisa dibilang, sejak anak pertama aku memang sudah bertekad agar anak-anakku tak ada yang harus lepas ASI sampai batas usia seharusnya. Mengingat anak pertamaku juga berhenti menyusu di usia 2 tahun lebih seminggu. Semoga kesempatan yang sama juga berlaku di anak kedua.

Hingga sekarang di tengah suasana hati yang fluktuatif cukup ekstream. Tak ada kondisi yang benar-benar nyaman dirasa. Beberapa waktu lalu aku di fase depresi karena trigger yang diperoleh dari anggota keluarga. Di fase senang pun rasanya masih struggling. 

Aku mungkin agak kekeuh untuk tak rutin meminum obat karena pertimbangannya adalah anak.

Malam ini, usai mengabari psikologku terkait kondisi yang dirasakan.. beliau masih menganjurkan agar aku meminum obat satu kali sehari, terutama di kondisi seperti sekarang ini. Karena itu untuk mengantisipasi situasi sementara, aku mendengarkan musik relaksasi sembari berlatih pernapasan, pun ketika mengetik tulisan ini.

Untuk mendalami metode pernapasan, aku sampai membeli buku terlaris menurut New York Times, berjudul "Breath" yang ditulis oleh James Nestor. Buku ini kuketahui berdasarkan rekomendasi Gobind Vashdev. Gobind sendiri adalah instruktur Buteyko Indonesia sebuah metode teknik pernapasan yang dipercaya dapat membantu kita bernapas dengan benar. Gobind kerap menyebut dirinya sebagai heartworker. Bisa ditengok di akun Instagram pribadinya maupun video youtube terkait Buteyko.

Bahkan, sembari mengetik tulisan ini, aku juga memperagakan teknik pernapasan dalam. Berhubung buku "Breath" belum tamat dibaca, di lain kesempatan semoga bisa mengulas ilmu beserta hasil praktiknya ya.

Jika dibandingkan fase depresif atau manik, aku jauh lebih struggle dengan fase maniknya. Karena disertai kondisi sakit kepala, ada sensasi tak nyaman pada tubuh. Setidaknya ketika di fase depresif, aku mungkin masih bisa tertidur di sela-sela perasaan down yang membuatku jauh melankolis. Terakhir kali, aku menangisi hal sama selama nyaris tiga hari. Tak ada motivasi untuk menjalani aktivitas harian, tak mau bertemu siapapun, kendati masih memperhatikan kebutuhan anak-anak, seperti waktu mandi maupun makan mereka.

Sepertinya, setiap fase memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Bagi sebagian bipolar survivor yang tergabung di grup #BipolarCareIndonesia, mereka lebih merasa senang dengan kehadiran fase manik. Karena menurut pengalamannya, mereka justru menjadi jauh lebih produktif pada saat itu.

Aku jadi bertanya-tanya meski sudah sekian kali membaca literatur terkait orang-orang dengan gangguan bipolar. Apa mood swing bisa dianggap sepadan dengan gejala yang kualami selama ini? Walau jawabannya mungkin, tentu saja berbeda.

Di pertemuan konseling seminggu lalu, aku meminta pada psikologku agar setahun ke depan cukup dengan konseling atau menjalani psikoterapi tanpa harus meminum resep obat dari psikiater. Berdoa agar gejala yang datang ke depannya tetap bisa kukendalikan. Terus berlatih mindfulness, pernapasan, membaca buku-buku terkait, dan melakukan hobi bermanfaat lainnya demi mengalihkan overthinking. Terlebih ketika dirasa sedang berbenturan dengan triggernya.

Akan sulit memang. Karena terkadang, perasaan itu datang tanpa membawa pertanda. Tiba-tiba di tahap awang-awang, suasana hati meningkat, namun di waktu lain bisa saja moodku terjun drastis ketika bersinggungan dengan trigger. Itu alasan mengapa menjadi introvert di masa seperti sekarang jauh lebih aman. Karena mudah sekali merasa tersinggung, dan menjadi lebih sensitif.

Jujur, setelah membaca diagnosa psikologku. Aku menjadi tertuntut untuk lebih mengenal diri, meski aku tak menjadikan ini paksaan. Aku dengan senang hati melalui prosesnya. Lebih aware dengan kondisi sendiri. Belajar memahami ekspresi emosi yang hadir di waktu-waktu berbeda.

Mungkin pula dengan memperbaiki pola hidup, pola makan, pola tidur, semoga bisa jauh membantu. Sungguh aku pernah membaca dari salah satu buku yang ditulis oleh profesor Hiromi Shinya, jika tak salah beliau mengemukakan bahwa orang-orang yang memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya bisa saja berproses pulih dengan mengganti pola makan, terutama memperhatikan apa yang ia konsumsi sebagai makanan. Dengan begitu, diharapkan bisa pelan-pelan terlepas dari bantuan obat seperti anti depresan, dsb.

Ada satu semboyan yang familiar, "Good Food, Good Mood".

Aku barusan mencari informasi itu di buku "The Miracle of Enzyme" di antara keempat judul buku Hiromi Shinya yang telah kupunya. Sayangnya, aku belum menemukan bagian halaman yang memuat informasi tersebut.

Tetapi yang perlu dicatat, meng-konsumsi obat bagi sebagian orang yang menderita mental illness juga akan sangat membantu. Terutama yang memiliki gangguan tidur akut sekian tahun, sama halnya sepertiku. Atau sudah di tahap benar-benar parah dan membutuhkan obat-obatan jiwa yang langsung di bawah pantauan dokter. Dari pengalaman bipolar survivor lainnya, mereka bercerita bahwa ketika mengkonsumsi obat-obatan khusus untuk ODB, itu membantu mereka menjadi lebih mudah tidur. 

Aku berencana, barangkali jika masa menyusui telah selesai, sembari meneruskan terapi konseling dari psikolog klinis, aku bisa menambah ikhtiar dengan turut mengkonsumsi obat yang diberikan psikiater demi mempercepat proses pemulihan diri nantinya.

Aku yakin, jika semua pengalaman ini terjadi bukan karena kebetulan belaka. Ada sebab-akibat, tetapi hikmah terbaik di balik itulah yang menjadi tujuannya. Bukan lagi mempersoalkan mengapa aku bisa begini, mengapa aku yang melalui ini. Bukan lagi persoalan, siapa yang benar-benar bersalah dari semua orang yang berkontribusi di balik trauma inner-child maupun luka batin yang terbawa hingga kini.

Sebenarnya, aku menangkap hikmah tersendiri, berbarengan dengan proses yang kulalui. Seperti sebuah 'epiphany' barangkali.

Pelan-pelan aku berproses untuk mengenal diri sendiri, itu yang pasti.

Berproses mengenali primal wounds dari innerchild-ku yang terluka sejak lama, untuk pelan-pelan dapat mengobatinya..

Belajar untuk memahami emosi-emosi yang hadir, sebab jika aku sendiri tak paham dengan emosi yang dirasa, bagaimana bisa mengendalikannya dengan tepat?

Aku sangat ingin belajar banyak hal, ketimbang sibuk menghakimi penyebab luka itu sendiri. Aku berharap, sekalipun ada di fase depresi, aku masih memiliki kewarasan itu untuk terus bertahan dan membaik secara perlahan.

Bersyukur sekali sebab anak-anak beserta suami menjadi penguat tersendiri. Dukungan yang datang dari teman-teman juga memberikan pencerahan.

Sadar atau tidak, sebenarnya ada banyak orang di sekeliling kita yang butuh pertolongan untuk didengar, dipahami, beserta dirangkul. Orang-orang yang struggle dengan jati dirinya, juga permasalahan yang ia sendiri bahkan tak paham ada masalah apa dengan dirinya.

Kebanyakan kita begitu takut pada penilaian orang lain nantinya. Khawatir dengan judgement yang akan diperoleh dari orang-orang sekitar. Ketakutan akan stigma buruk yang ada di tengah-tengah masyarakat kita pada umumnya. Yang mengatakan, kalau orang yang menemui profesional dalam konotasi negatif berarti gila, tak waras, di luar normal, dsb.

Padahal, pemikiran seperti itu jelas salah. Mental yang sakit sama halnya seperti luka berdarah yang tampak jelas di fisik, keduanya sama-sama butuh diobati. Tetapi karena ketakutan-ketakutan pada kemungkinan yang terjadi nantinya, banyak dari kita yang memilih diam. Menumpuk beban terlalu banyak. Membiarkannya terlalu lama. Merasa telah tuntas dengan diri sendiri, padahal hanya sedang menumpuk beban yang tinggal menunggu waktu saja kapan semua itu akan benar-benar meledak. 

Kita tak sadar memaksa diri terlihat normal, berusaha tampak baik-baik saja. Padahal jauh di dalam diri, ada mental yang sedang benar-benar sakit, tengah memerlukan pertolongan.

Kadang, kita memang hanya perlu sedikit keberanian untuk memulai. Untuk membuat perubahan yang berarti. Mematahkan stigma buruk yang menjadi streotip keliru selama kurun waktu yang cukup lama.

Tak muluk-muluk harus sebegitu wah bagi orang lain. Lakukan saja demi diri sendiri. Sebagai proses untuk mencintai diri, menerima diri apa adanya dengan segala lebih dan kurangnya, menunjukkan sisi tak ideal diri kita sebagai manusia ke hadapan manusia lainnya. Hal tersebutlah yang tengah aku lakukan saat ini.

Belajar, belajar, belajar, sembari terus berbenah. Berusaha untuk pulih juga bagian dari proses berbenah untuk menjadi sosok yang jauh lebih baik lagi, bukan?

Aku ingin menyertakan kutipan dari buku yang sedang kubaca saat ini, "Sembuhkanlah luka-luka itu, selesaikanlah masalah-masalah dalam diri dan terimalah segala peristiwa hidup sebagai ladang untuk belajar. Terimalah diri kita sendiri, dan pelan-pelan maafkan diri ini. Maafkan diri kita yang belum mampu melindungi diri dengan sempurna. Maafkan diri kita yang masih terluka, dan belum pulih ..." [Yang Belum Usai, hal 29]

Terasa mengena, ya?

Jika kita tak pernah berani jujur, tak pernah berusaha terbuka, seterusnya bersembunyi di balik topeng "i'm okay".. kita selamanya akan terjebak di zona pekat yang menyulitkan diri sendiri. Bagaimana orang lain bisa mengulurkan bantuannya, jika kita sendiri tak berusaha untuk menolong diri sendiri?

Ada ketakutan yang membayangi langkah maupun pilihan kita, tetapi jangan berhenti percaya bahwa ada orang-orang baik pula yang akan Allah kirimkan sebagai penyokong langkah kita untuk tidak menyerah dengan mudah. Kadang, kita hanya tak menyadari kehadiran mereka.

Aku yang beberapa waktu lalu mulai menulis sebagian pengalaman diri, menemukan banyak orang yang tulus memberikan support moril beserta doa-doa baik. Barangkali, sewaktu aku menganggap seisi dunia tak peduli dan menutup mata.. karena sebelum itu, aku berfokus pada rasa sakitnya, tak sadar menutup diri rapat-rapat dari mereka yang mendekat karena benar-benar peduli. Baru setelah aku mau sedikit berdamai, aku juga melihat bahwa dunia tak hanya terisi oleh orang-orang yang cuma bisa bersikap buruk saja, masih banyak kok yang tulus, dan mau meluangkan waktu untuk peduli.

Jadi, ayo mulai aware dengan kondisi diri. Jiwamu mungkin saja sesuatu hal yang tak bisa dilihat secara kasat mata. Tak pula bisa disentuh sebagaimana raga. Tetapi bukan berarti kesakitannya tak nyata. Bukan berarti ia tak memerlukan sebuah proses untuk memulihkan diri.

Jangan takut ya, kamu tak sendiri. Kita tak benar-benar berjuang sendiri. Kalau kamu khawatir, sini aku peluk. Aku mau bilang, "... selama kita hidup, akan selalu ada kekhawatiran-kekhawatiran yang datang, baik dengan sebab atau tanpa ada alasan. Hadapi, jangan hindari. Jangan pernah lari.."

Mari sama-sama berproses, sama-sama berjuang untuk pulih. Untukmu yang sedang tidak baik-baik saja, begitupun aku, kita pasti bisa. Kita akan lawan rasa takut itu!

"Karena waktu saja tidak cukup untuk menyembuhkan. Untuk pulih, juga dibutuhkan peran aktif kita dalam menyadari, dan menyembuhkan luka batin dalam diri." [Yang Belum Usai-pijarpsikologi]

 

 Semoga bermanfaat. Kutulis ini untuk memberikan ruang lapang di dalam dada, semoga bisa menguatkan batinmu yang mungkin sedang sama sesaknya. Jangan pernah menyerah ya, kita.


________________________________


Magelang, 7 Agustus 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

2 Komentar

  1. Aku merasa sedang membaca keadaan diriku sendiri.
    Dimana disuatu waktu sangat senang, bersemangat, banyak ide. Kenyataannya tak satupun tuntas untuk kuselesaikan. Sebab tetiba sedih, kecewa merasa tak berharga setelah berinteraksi dengan orang. Kebetulan ada saja yang ia sematkan kepadaku tentang apa yang sudah aku kerjakan.

    Anehnya meskipun suasana hati dan pikiran yang over. Aku masih bisa mengurus anak dan suami. Meskipun kadang reflek diriku membentak bahkan teriak juga mengurus pekerjaanku yang lain.

    Setelah membaca ceritamu Mbak
    Aku merasa semangat untuk sembuh
    Allah maha baik ya
    Dengan keadaan seperti ini menjadi ladang untuk belajar memanen sesuatu ilmu yang belum tentu orang akan tahu

    Salam sehat
    Salam sembuh

    BalasHapus
  2. Hari ini aku belajar arti kata Epiphany :).

    Eh btw, yg ttg asi pompa, aku pernah baca, tp lupa sih sourcenya, ga ada masalah kalo asi dipompa kok mba. Ga akan merubah kandungannya, asalkaaaaan ya alat2nya bersih, botol tampungan juga udh Disteril. Memang jadi rempong sih yaaa, tapi kandungan ASI nya sih ga akan mengalami perubahan kalo semua itu bersih.

    Semangaaaat ya mba. Salut Krn sedikit orang yg benar2 mau mengakui kalo dirinya sedang ga baik2 aja. Mungkin takut dianggab ga normal. Padahal kalo kita sadar ada gejala depresi, sebaiknya memang cari pengobatan sebelum makin parah :( . Aku punya temen yg ibunya mengalami ini juga. Inget banget awal2 ibunya kliatan normal pas aku main ke rumah nya. Tapi lama2 berubah, pernah bawa mobil dengan kecepatan tinggi padahal itu turunan dan jalan komplek. Ternyata memang gejalanya sedang kumat dan dia seolah mendengar sesuatu di telinganya yg menyuruh dia utk buru2 pergi :(. Kasian kalo sampe begitu. untung aja waktu itu mamanya temenku selamat ga tabrakan ATO gimana. Akhirnya diobatin sih Ama keluarganya.

    BalasHapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)