Ada banyak hal yang berubah setelah aku menjadi ibu. Pola hidup dari mulai tidur, makan, bahkan untuk urusan mandi sekalipun. Meski terkadang terasa lelah, dan jenuh pada rutinitas yang sama, ada kebahagiaan tersendiri yang meluap-luap ketika menatap wajah anak. Mendapati mereka beredar di sekelilingku sejak bangun tidur hingga beranjak tidur kembali.

Aku melahirkan anak pertama di usia yang cukup muda, tepat ketika angka pada usiaku memasuki awal kepala dua.

Jika dipikir-pikir, ada kebaikan mengapa Allah menunda kehamilan di pernikahanku hingga dua tahun lamanya. Sebab barangkali, menurut-Nya aku tak benar-benar siap secara lahir maupun batin waktu itu. Aku hanya merasa serba salah dengan rundungan orang-orang yang mulai menggoda kami dengan kalimat yang tak sedap didengar. Sesuatu yang seharusnya tak layak dijadikan bahan candaan, apalagi jika sudah menyikut urusan ranjang di kehidupan suami istri.

Tapi ya mau bagaimana lagi, di lingkup desa, apa-apa akan mudah menjadi bahan omongan.

Sampai di masa ketika kehamilan menjadi moment yang sangat kusemogakan di dalam doa. Aku berharap dengan memiliki anak di usia muda, ada banyak kebaikan akan menyertai nantinya. Salah satunya, perbaikan hubungan antar menantu dengan mertua. Entah, barangkali karena aku masih di bilangan usia yang naif untuk menganggap perdamaian dua kutub akan semudah itu.

Dan ya, aku bahagia menerima anugerah hamil, melahirkan dengan mudah, dan kesempatan merawat sendiri bayiku di kontrakan kami kala itu. Tanpa perlu merasakan tekanan batin ketika berseberangan cara dengan orang-orang sekeliling. Sebab katanya, tak sedikit para menantu yang merasa tidak memiliki kebebasan dalam menerapkan pola asuh sesuai apa yang ia kehendaki bersama pasangan, sebab masih seatap dengan mertuanya.

Akan selalu ada perbedaan pendapat, cara, dan dari segi pemahaman. Seringnya, orang tua merasa jauh lebih paham bagaimana cara merawat bayi kendati cara yang digunakan tak lagi relevan di masa kini. Ada pula yang masih berpegang erat dengan cara-cara tradisional yang bahkan tak dibenarkan secara medis. Dulu, tak seatap dengan mertua saja aku masih menghadapi statement orang lain yang merasa dirinya lebih baik dalam hal pengasuhan. 

Karena itu tak jarang, timbul persaingan hingga pada perundungan antar ibu-ibu yang ingin menonjolkan eksistensi dirinya di atas peran orang lain.

Dimulai dari perkara ndulang, di mana aku kekeuh untuk memberikan ASI ekslusif pada Aidan. Lalu suatu hari.. Aidan kedapatan sedang diberi makan bolu gulung dan buah jeruk. Moment di mana aku merasa peran keibuanku baru saja dipecundangi oleh orang lain. Aku menangis kesal di hadapan suami, dan buru-buru berkemas pulang ke kontrakan kami.

Sejak hamil tujuh minggu, kami memang sengaja menepi dan memilih hidup mandiri di kontrakan. Hingga Aidan berusia 3.5 tahun, ia bertumbuh di kontrakan yang sempat berpindah beberapa kali. Di kontrakan pula aku menghadapi masa depresi pasca melahirkan yang berkali-kali lipat terasa berat, menyiksa, sebab terasa seperti tak ada tempat pulang. Tak ada yang benar-benar hadir sebagai pendengar. Suami yang sudah sibuk dengan pekerjaannya, tak sempat menilik kondisiku lebih jauh, yang jelas-jelas saban hari kian bertindak kompulsif.

Baru setelah di kontrakan kedua, ketika Aidan berusia satu tahun, aku mulai mencari tahu sendiri tentang kondisi psikis seorang ibu baru pasca melahirkan. Saat itulah aku baru mulai mengerti tentang apa itu baby blues, post-partum depresi, serta pemicu naik turunnya kondisi mental seorang ibu.

Aku pelan-pelan memberi pengertian pada suami, bahwa mungkin saja aku mengalami fase depresi itu. Ketika permasalahan kecil, akan mudah sekali menyulut emosi. Jangan kira orang yang depresi dikata kurang iman, atau kurang ibadah. Di fase-fase itu, aku tak lupa untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Menghadirkan diriku di lingkaran tarbiyah. Meminta masukan pada orang yang sekiranya amanah.

Membekas sekali, betapa fase depresi itu membuatku berada seakan-akan hidup di titik nadir. Tak ada semangat. Tak ada harapan untuk berkembang lebih baik. Produktivitasku menurun. Kesenangan pada dunia menulis bahkan pelan-pelan kupunggungi begitu saja.

Ya, aku pernah berada di masa terkelam itu. Usia dua puluh awal, menjadi ibu muda, dan berjuang dengan fase depresinya.

Aku bersyukur, fase terberat selama menjadi ibu pertama kali, telah berlalu di belakang sana.

Beruntungnya, sebab anak kedua kami memiliki nasib yang jauh lebih baik. Dhafin lahir ketika kami telah menempati rumah sendiri. Meski dua bulan pertama aku sempat mengalami fase sindrom baby blues, tetapi tak separah ketika di masa Aidan dulu.

Pelan-pelan, aku belajar memenuhi tangki cintaku sendiri. Sebab jika tangkiku sendiri kosong, bagaimana bisa aku menghujani anak-anakku dengan cinta?

Mungkin yang dikatakan salah seorang teman, ada benarnya. Kebetulan, kami hamil dengan jarak kehamilan yang terpaut dekat. Sama-sama mengandung anak kedua, dan melahirkan di tahun yang sama.

Aku ingat betul, salah satu isi chat WhatsApp pribadi kami yang sama-sama mengutarakan perasaan bahagia setelah kelahiran anak kedua.

"Dulu pas anak pertama rasanya banyak tekanan, gampang stress, Mbak. Nggak tahu kenapa di anak kedua rasanya jauh lebih happy. Ternyata punya anak lagi tidak semenyeramkan dalam bayangan. Justru asyik yo, Mbak.."

Aku membalas pesan itu dengan emotikon tertawa sebelum mengetik peryataan yang hampir-hampir serupa.

"Samaan, Mbak. Aku juga ngerasa gitu. Pas zaman Aidan rentan depresi, baby blues, benar-benar nggak menikmati. Sekarang justru sebaliknya hahaa.." balasku kembali.

Kira-kira apa yang membedakan, ya? Mengapa di anak kedua perasaan bahagia secara naluriah tumbuh begitu saja?

Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin karena faktor kedewasaan yang turut bertambah seiring waktu.. juga memberikan perbedaan respon di dalam diri kami, tatkala menghadapi keriweuhan sebagai ibu dengan balita beserta bayi. Kami telah belajar dari pengalaman merawat, dan membesarkan anak pertama. Segala suka duka, labeling, dibanding-bandingkan, sampai pada beroleh mom shaming.. juga sudah dilalui di fase anak pertama. Itu pula yang menempa kami menjadi jauh lebih kuat.

Sehingga mental pun lebih siap untuk menjawab ujaran-ujaran yang menyudutkan.

Meski bukan berarti kesulitan, dan tantangan lain, berhenti mengikuti.

Berbeda anak, nyatanya berbeda penanganan. Meski tetap diawali dengan adaptasi, pengalaman dan kesiapan jelas sangat mempengaruhi.

Apalagi nyaris di setiap kehamilan, dan kelahiran berlalu dengan perjuangannya masing-masing.

Hamil Aidan, kami berjuang di kontrakan. Hamil Dhafin kami berjuang dengan pembangunan rumah yang pelan-pelan diprogress, justru setelah ditempati ketika kandunganku berusia tiga bulan.

Bisa dibayangkan, dalam kondisi hamil tapi harus angkat-angkat barang sendiri dari rumah mertua ke rumah kami yang berjarak wetan ke kulon :'D

Dari awal, aku yang angkat-angkat barang. Menata barang-barang di kondisi rumah yang saat itu masih sangat alakadar sekali. Termasuk dengan masak-masak untuk menyuguh para tukang yang bekerja di rumah. Semua kutangani sendiri, sejak hamil muda sampai menjelang persalinan. 

Masyaa Allah. Sekarang, ketika menatap anak-anak.. ada perasaan yang jauh lebih lapang. Perjuangan memang masih ada. Akan tetapi terasa lebih nyaman, dan tenang di rumah sendiri sembari memantau tumbuh kembang anak-anak. Barakallah..

Aku jadi sepenuhnya bisa menyalurkan rasa cinta, dan perhatian pada anak-anak. Terutama pada si bayi. Terasa betul perbedaannya. Kali ini aku merasa jauh lebih keibuan, lebih siap, dan lebih bertumbuh. Termasuk mengontrol emosiku sendiri.

Memang benar, anak-anak adalah alasan mengapa seorang ibu akan bertahan dalam sesulit apapun situasi.

Anak-anak adalah alasan, seorang ibu bisa tertawa di balik air matanya sendiri.

Juga karena anak-anak, seorang ibu dapat menepikan rasa sakitnya, dan dengan hati selapang mungkin memberikan sepenuh cinta dalam mengasihi.

Oh ternyata, segalak apapun seorang ibu kelihatannya, yang setelah memiliki anak terkesan mudah meninggikan suara.. padahal di balik itu, dialah sosok penuh cinta dalam untaian doa-doa baik, yang dikelilingi malaikat kecilnya. Asal muara cinta itu bermula.

Dan yang sangat kusadari setelah menjadi ibu..

Kadang aku berteriak, kadang aku bersuara lembut.

Kadang aku menangis terisak, kadang aku tertawa terbahak-bahak.  

Kadang aku merasa buruk, kadang pula aku merasa menjadi orang paling beruntung.

Kadang aku merasa lelah, di lain waktu aku orang yang tak pernah kehabisan tenaga.

Lihat? Sampai di detik ini, itu semua ternyata hanya fase yang terus bergulir, bergantian hadir, tapi membawa pengalaman baik beserta pemahaman yang bertambah.

Aku percaya, tak ada ibu yang jahat hanya karena ia lepas kendali memarahi anaknya. Setelah menjadi ibu, aku baru benar-benar mengerti, bahwa hatiku sendiri yang merasa paling tersakiti jika melihat anak-anakku merasakan sakit. Itu mengapa ada ucapan yang berkata, "seorang ibu sanggup memarahi anaknya seakan hendak menelannya hidup-hidup, tetapi seorang ibu pula yang akan merasakan sakit hati tatkala melihat anaknya dimarahi walau oleh ayahnya sendiri.."

Related sekali ya.

Betapa menjadi ibu, kita mungkin seakan dituntut untuk sesempurna apa yang orang lain jadikan tolok ukur demi bisa menjadi sosok ibu yang ideal. Tetapi di balik itu, kita diam-diam ternyata terus bertumbuh. Menghadapi apa-apa yang lebih sesuai dengan kondisi kita, tanpa harus terlalu memaksakan diri. Kita berproses menemukan kekayaan cinta yang sesungguhnya, sebuah rasa bahagia yang tak bisa ditukar dengan apapun juga. Bahwa ternyata, kita tak perlu jauh-jauh mencarinya keluar.. kita dan keberadaan anak-anak adalah wujud nyata dari semua cinta itu.

Ada hal yang harus kita sendiri temukan di dalam diri tatkala telah menjadi ibu, rasa bahagia beroleh titipan amanah yang sangat luar biasa, bahagia sebab kita diperkenankan menjadi sosok beruntung yang melalui berbagai pengalaman luar biasa. Sejak awal mengandung hingga di tahap melepas anak-anak yang kemudian bertumbuh dewasa dengan cepat. 

Ternyata, tawa dan senyum bukan sesuatu yang mahal untuk didapatkan, ia ada di sekitar kita. Kita adalah poros mereka. Anak-anak lah yang mengisinya.

Aku pernah di titik depresi setelah menjadi ibu.

Kemudian, aku juga berada di titik penuh cinta untuk menikmati peran sebagai ibu.

Pasang-surut tantangan yang menguji. Naik turun beban yang hadir di sepanjang jalan itu, bukan untuk membuatku terperosok jatuh.. aku ternyata telah jauh bertumbuh, melebihi apa yang sanggup kukira.

Di titik ini, menjadi ibu yang sempurna bukan lagi tujuan. Karena tak pernah ada sosok ibu yang sempurna, baik bagi dirinya maupun orang-orang di sekitarnya. Tetapi memberikan cinta, kasih sayang, segenap waktu dan dedikasi dalam membesarkan anak-anak, aku merasa utuh. Aku tak butuh apapun lagi ketika mendekap buah hati ke pelukanku. Menatap sepasang mata jeli mereka, beruntai doa tulus yang diam-diam memenuhi bilik-bilik perasaanku.

Huwaaa, aku sedang gerimis. Bahkan tatkala mengetik ini pun, anak-anak berada dekat denganku. Masyaa Allah tabarakallah..

Jangan lupa bersyukur ya buibuu, dekap anak-anak kita sepenuh cinta walau kadang tak beruntai kata-kata. Anak -anak tahu kok kapan dia merasa benar-benar dicintai, dan kehadirannya amat sangat berarti bagi orangtuanya.. sekalipun hanya berasal dari sebuah pelukan sederhana. Tak sampai 5 menit lamanya.

Jika hari ini habis marah-marah ke anak, tak mengapa. Itu manusiawi. Kita memiliki batasan tersendiri yang ketika telah mencapai batasnya, kita tak sadar menjadi jauh sensitif dan lekas marah. Membenahi kemarahan itulah yang menjadi tugas kita setelahnya, agar di benak anak-anak tak perlu tercipta luka.

Yuk ayukk, isi kembali tangki cinta kita. Berikan pelukan, agar cawan di dalam diri anak-anak juga terisi cinta kedua orangtuanya.


Untuk Aidan dan Dhafin, terima kasih sudah membersamai ibu melalui banyak fase kehidupan yang pasang surut, bersama mengarungi kesulitan beserta kemudahan di dalamnya, dan tak pernah berberat hati untuk memberi maaf pada sosok ibu yang tak sempurna ini. Alhamdulillah, kita sama-sama berproses banyak untuk sampai sejauh ini. Terima kasih ya, ibu jadi belajar banyak hal. Bukan untuk menjadi ibu yang sempurna, tetapi ibu yang bahagia, dan penuh dengan cinta.

Aamiin, insyaa Allah. Biidznillah. Love you, Nak-anakku. Sehat selalu, dan bahagia senantiasa.


Bu, Ibuu.. jangan lupa bahagia ya. Semoga bermanfaat 😊💗💗💗


__________________________________


Magelang, 15 Juli 2021

copyright: www.bianglalahijrah.com

2 Komentar

  1. semua ibu sepertinya mengalami dengan kadar yang berbeda ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Pengalaman yang mungkin serupa, tetapi medan juangnya saja yang berbeda :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)