9 hari menuju milad pernikahan kami yang ke-9 tahun. Aku berpikir berapa banyak air mata yang tumpah selama ini? Berapa banyak pula yang masih tersisa? Semakin lama mengarungi bahtera pernikahan, ada banyak realita yang tak sejalan dengan ekspektasi. Ada banyak harapan yang diranggas oleh kenyataan. 

Akan tetapi bukan berarti tak ada pembelajaran baik di dalamnya. Aku sadar ada kedewasaan, ilmu, dan pemahaman yang bertambah. Ada kemampuan pula yang kian terasah setelah menikah. Terlebih begitu menjadi ibu.

Selama ini, aku ternyata terus berproses dan belajar dari setiap masalah yang datang-pergi, bersama kesulitan yang sejatinya membuatku semakin tangguh sebagai survivor. Sadar atau tidak, kapasitas diri ter-upgrade dengan sendiri. Setiap orang yang menikah, aku rasa akan melalui fase-fase itu dan menjumpai dirinya telah jauh bertumbuh dari sebelumnya. Iya, kan? ☺️

Aku menengok lagi ke belakang sana. Hari pertama berjumpa dengan lelaki yang kemudian menjadi suami. Hari pertama menjadi menantu di rumah keluarga yang kupilih sebagai labuan setelah jauh meninggalkan tanah kelahiran. Juga masalah pertama yang menertawai ekspektasiku tentang mertua sebagai ganti orangtua, atau keluarga suami sebagai ganti keluarga sendiri, sebab ternyata itu hanya kenaifan-ku belaka.

Kemudian, aku seperti memasuki babak baru yang berucap "selamat datang di nerakanya para menantu". Aku ingat betul, tak hanya mertua, dan ipar, bahkan tetangga sekitar juga ikut menyudutkan posisiku. Aku seperti di-anak tirikan. Tak dianggap. Diabaikan. Dikerdilkan oleh mereka. Pernah ketika belanja sayur, mereka bergerombol dan menusukku dengan kalimat merendahkan, tak lepas di situ.. salah satu di antara mereka menoyor kepalaku kemudian tertawa sinis. Aku bertanya-tanya mengapa mereka begitu membenciku? Apa salahku?

Dua tahun dengan berbagai perlakuan tak adil, tersiksa lahir batin, diteror di rumah orangtua suami. Ke mana pergi, orang-orang menatapku sinis karena yang mereka tahu aku adalah menantu tak berbakti dan berakhlak buruk. Padahal, tak ada yang melihat langsung seperti apa tersiksanya aku di rumah itu.. bagaimana upayaku, seperti apa kebenaran aslinya, siapa yang sejatinya diperlakukan buruk, dan siapa pula yang berlaku buruk. Rumah yang tadinya kusangka akan menjadi tempat tinggal sesungguhnya, seperti hanya ilusi belaka. Aku lagi-lagi kecewa dengan apa yang ada. Naif sekali, ya?

Puncaknya, setelah dua tahun tertekan dan dirundung masalah, aku akhirnya hamil. Kupikir kehamilan itu akan menjadi kabar bahagia bagi semua orang. Tetapi ternyata tidak. Ketika kehamilan memasuki usia 7 minggu, datang pemicu dari luar rumah, membuatku cekcok dengan mertua. 

Emosiku tak terkendali, tapi aku ingat betul waktu itu, bagaimana permohonanku pada mertua untuk stop bersikap demikian tak adil karena kondisiku yang tengah hamil. Hanya saja, jawaban yang kuterima jauh lebih menyakitkan lagi. 

"Aku ora peduli Kowe metheng opo ora! Mantu munafik! Hianat! Koyo telek!"

Aku dicaci maki. Tak tahu kesalahan besar apa yang kuperbuat. Aku dikatai seperti kotoran. Tak berguna. Tak berharga. Tak ada nilainya.

Aku menangis terisak siang itu. Sendirian, tak ada yang menengahi. Tak ada yang berdiri memasang badan. Nyaris kehabisan suara untuk sekedar membela diri, sakit sekali rasanya. Suami ke mana? Waktu kejadian itu ia tengah berada di kantornya. 

Aku disudutkan, disalahkan untuk kesalahan yang tidak kuperbuat. Mereka memilih salah paham ketika seharusnya bisa memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Detik itu, aku paham.. aku tak pernah benar-benar diterima. Mereka tak suka padaku, aku tak bisa memaksa lagi. Upaya apapun takkan berguna. 

Dengan tubuh gemetar nyaris tak punya tenaga, kuhubungi suami untuk pulang. Hari itu juga kami keluar dari rumah, tanpa tujuan. Hanya baju di badan. Kami menumpang di rumah salah seorang teman kantor suami. Sejak itu, kami berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Dalam kondisi hamil, aku menguatkan diri meski suami jadi bulan-bulanan emosiku. 

Aku ternyata sudah depresi dari awal mengandung Aidan karena pukulan masalah demi masalah. Setiap kali marah, aku kehilangan kendali. Aku merusak barang. Menyakiti suami. Melukai diri sendiri. Mungkin bibit dari mental illness sudah bermula di hari itu, kali kedua aku terpukul luar biasa sejak perceraian orangtua.

Hanya saja aku bertahan. Kami hidup di kontrakan, tak punya apa-apa. Pelan-pelan mulai menyicil peralatan rumah tangga. Pasang surut masalah berdatangan, capek, batin lelah, ingin pergi tapi tak bisa. Karena merasa tak memiliki tujuan. Tak ada tempat pulang. Akhirnya, aku terus dirundung depresi berkepanjangan.

Situasi demikian berlangsung sampai Aidan berumur 3.5 tahun. Entah mengapa di titik itu aku yakin untuk kembali pulang ke rumah mertua. Capek mengontrak. Terlebih mempertimbangkan bagaimana kondisi Aidan, baik itu psikis hingga persiapan pendidikannya. Aku sendiri yang mengajak suami untuk pulang, bismillah, semua sudah berubah. Terlebih Papa mertua meyakinkan kami, bahwa kondisi sudah jauh membaik.

2018 kami pun pulang ke rumah mertua. Awalnya semua berjalan baik, tanpa masalah. Akan tetapi setelah terhitung sekian bulan, masalah mulai muncul kembali. Awal 2019 kami pun nekat membangun rumah tak jauh dari lokasi rumah mertua, tepat di atas tanah warisan dari almarhumah ibu kandung suami. Di tahun yang sama, Aidan masuk rumah sakit, aku kembali hamil, disusul dengan wisuda sarjana. Dana yang ada sempat teralihkan, karena itu pembangunan rumah harus kami tunda sementara.

Mungkin karena sudah jengah kami berlama-lama tinggal tanpa segera menempati rumah sendiri, ada saja masalah yang membuat tak nyaman. Ada pula tetangga yang baru di kemudian hari kami ketahui, dengan sengaja mengadu domba yang tidak-tidak. Agar hubungan kami, dan orangtua tak membaik. Juga karena omongan tetangga itu, aku difitnah untuk hal yang tidak kuperbuat. 

Rasanya, selalu saja bertepatan ketika kondisiku tengah hamil.

Januari 2020, kami nekat menempati rumah yang belum jadi. Bagian atas masih bolong. Lantai tanah. Kamar yang jadi baru satu ruang. Tak ada dapur. Tak ada kamar mandi. Jendela masih ditutup papan seadanya. Di bawah ini foto yang kuambil saat awal menempati rumah, aku hamil Dhafin tiga bulan saat itu. Ketika pindah, barang-barang kuangkat sendiri karena suami harus bekerja 😂😅

Berdua dengan suami, kami membersihkan rumah yang masih alakadar. Tak terhitung berapa kali kami kebasahan, kedinginan, kehujanan di dalam rumah karena bertepatan musim penghujan. Aku, suami, beserta Aidan bolak-balik masuk angin. Karena tidur kedinginan setiap malam, akibat bagian atap rumah yang masih terbuka lebar.

Apa pendapat orang, sekuat hati kami abaikan. Walau setiap malam aku menangis, seringkali berada di titik nadir karena tak lagi kuat menerima perlakuan tak adil dari keluarga suami maupun tetangga yang ikut-ikutan. Puncaknya, aku overwhelmed hingga tak sadar self overharm, astaghfirullah 😣😣

Foto kanan (scroll ke bawah), kuambil siang ini. Setelah 1,5 tahun ditempati, kami akhirnya bisa pasang pintu sesuai harapan 😂 Sebelumnya, tak jarang ada anak tetangga yang kebablasan suka menggedur pintu sampai terbuka sendiri. Itu karena pintu kami, tadinya hanya dari selembar triplek biasa. Ditiup angin saja seolah hendak lepas dari engselnya 😅

Foto kiri ke kanan sebagai perbandingan, jejak dari sebuah proses. 

Kami mungkin masih terus berprogres, berharap ke depannya lingkungan di sini semakin jauh kondusif, dan orang-orang di sekitar juga bertambah open minded dalam menerima perbedaan, bukan justru memaksakan apa yang dianggap benar sendiri. Tidak pula harus membenci orang-orang yang memiliki kelebihan dalam bentuk apapun itu. Aamiin insyaa Allah. Bukankah Allah maha membolak-balikkan hati manusia? Aku terus berdoa, hati mereka suatu hari Allah bukakan dan diberikan pencerahan. Tak ada lagi iri maupun dengki.

Sampai di sini.. sudah menemani suami berjuang dari tak punya apa-apa, masih saja dengan entengnya ada yang bilang "Kamu nikah bawa apa toh?" 

Padahal, kami berdua berangkat dari tidak punya apa-apa. Itu yang kami sadari sejak awal memutuskan menikah.

Memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, bukannya sudah jelas menjadi bagian dari kewajiban suami pada anak istrinya? Sesuatu yang jelas dalam syari'at. Tetapi seringnya, peran istri diabaikan begitu saja. Dipandang kecil dalam berkontribusi. Tak jarang dikecualikan. Hanya karena tak tampak bekerja, dan punya gaji bulanan. Padahal di era kini, bekerja dan menghasilkan uang, tak melulu harus keluar rumah dan mengenakan seragam.

Ada banyak ibu rumah tangga yang memulai penghasilannya justru dari rumah, sembari membersamai buah hati, dan mengerjakan peran sebagai istri. Aku sendiri juga bekerja dari rumah. Menulis adalah pekerjaanku, profesiku, sekaligus hobi. Orang-orang di sekitar hanya tak paham sepenuhnya apa yang tengah kukerjakan. Mungkin dalam hemat mereka, aku hanya sedang duduk bermalas ria di depan laptop.

Tetapi toh, kalau memang itu yang mau mereka percayai, aku harus apa? Bukan tugasku menyenangkan atau meyakinkan semua orang yang jauh di dalam hatinya hanya terfokus pada hal-hal buruk yang ingin dia selidiki. Jadi ya biarkan saja. Kebenaran hanya teruntuk mereka yang hendak membuka diri, dan membersihkan hati dari perkara iri dengki. 

Terpenting niat kami tinggal dekat dengan orang tua, agar lebih dimudahkan dalam birrul walidain. Terlebih, keduanya sudah sama-sama sepuh. Sewaktu-waktu jika terjadi apa-apa, kami yang dekat bisa merawat. Anak-anak juga supaya lebih akrab dan tresno sama para Mbahnya.

Betapa di titik ini, aku benar-benar sadar.. bahwa rumah bukan hanya tempat pulang, tujuan kembali, atau ruang yang kita naungi untuk jangka waktu panjang. Rumah tak selalu berbentuk bangunan. Melainkan adalah orang-orang yang selalu hadir dalam sedih atau senangmu. Sakit atau sehatmu. Bahagia atau deritamu. Kaya atau miskinmu, suka atau dukamu, sempit atau lapang, dsb. Siapapun yang ada di titik itu, mereka layak disebut keluarga. Mereka lah sejatinya rumah bagi kita.

Aku ingin berterima kasih pada suami, terima kasih untuk anak-anakku. Di manapun rumahnya, ke manapun tujuannya, selama bersama mereka.. insyaa Allah menjadi sejatinya rumah bagi lahir dan batinku. 

Terima kasih tetap ada, bahkan ketika aku kehilangan kendali atas diri sendiri ❤️

Hai suami, selamat ya, tak terasa hampir genap di tahun sembilan kita berumah tangga. Banyak banget ujian yang ada, tapi meski berteriak ingin menyerah dan saling meninggalkan.. kita tetap kembali dan saling merangkul, tertawa bersama, menangis pun bersama. Terima kasih sudah bertahan, aku juga terus belajar dalam menjadi istri, menjadi ibu, yang lebih baik lagi. Terlepas masih ada struggling karena mental illness yang harus dihadapi untuk disembuhkan, aku akan terus berproses menjadi semakin pantas. Aamiin biidznillah.

Banyak hal yang masih bisa disyukuri, bukan? Termasuk karena berhasil sampai ke titik ini. Ketika merangkak, ngesot, mulanya dari nol banget. Syukran Allah. Alhamdulillah ❤️


Fa Inna ma'al'usri yusra ❤️❤️



Di dalam foto, dengan sudut yang tak jauh beda. Kiri saat awal ditempati, kanan progress saat ini. Masyaa Allah tabarakallah. Alhamdulillah tsumma alhamdulilah ❤️


___________________________________


Magelang, 26 Juli 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

0 Komentar