Walau bagaimanapun capeknya, seperti apapun jenuhnya, sekalipun memaksa ingin bercerai, tetapi jika iradah Allah tak merestui, dia akan tetap menjadi pasanganmu di dunia. Mungkin kita disuruh untuk sama-sama berbenah. Karena sakinah, mawaddah, dan warahmah harus diperjuangkan berdua. #deepremind

 

Di pagi hari yang cerah, ketika seisi rumah kembali pada realita kesehariannya. Aku duduk terpaku dan berhenti mengunyah makanan, ketika sebuah pesan tak disangka-sangka datang dari seorang teman.

Sebenarnya saat pesan itu masuk.. aku sudah lebih dulu membacanya pada jendela chat walau tak buru-buru membalas. Aku menerka-nerka apa yang terjadi, sekaligus mempersiapkan diri untuk memberi balasan yang tepat.

Hp kembali berbunyi. Sebuah pesan susulan masuk.

Aku buru-buru membukanya, namun mataku tertuju pada pesan yang telah dihapus dan sebelumnya sudah sempat terbaca.

"Apa pernah terlintas pikiran untuk bercerai?"

Alisku mengeryit. Entah kapan terakhir kali beroleh pertanyaan serupa dari orang lain.

Karenanya aku berpikir keras. Kaget. Terasa tak lazim sebab pertanyaan itu datang dari salah seorang pasangan yang hanya dengan melihatnya saja, aku belajar baik, dan memandang sisi lain dari realita pernikahan. Bahwa terkadang kebahagiaan rumah tangga, tak melulu berangkat dari apa yang dipunya secara materiil, tetapi bagaimana kita dan pasangan bisa saling menerima satu sama lain beserta segala kekurangannya sebagai satu paket.

Jika bersedia menerima kelebihannya, maka harus siap juga dengan segala bentuk kekurangannya. Mungkin begitu.

Aku jadi ingat saat bicara dengan Emma lewat telepon, ketika kami sama-sama membahas seputar marriage life di kehidupan masing-masing. Emma dengan pengalaman dari beberapa kegagalannya, aku dengan struggle pernikahan yang memasuki 10 tahun pertama, dan masih berkutat dengan konflik lawas dengan orang yang sama pula. 

Perbedaannya, aku dan suami mungkin telah sedikit naik tingkat untuk menakar masalah dan menanggapinya secara lebih bijak dan dewasa. 

Tak semenggebu ketika dulu awal menikah yang apa-apa ingin dibuat ringkas dengan bersumbu pendek.

Karena kalau hanya kecocokan saja yang dicari, maka menikahi 1000 orang pun akan terus menemukan ketidakcocokan dalam satu atau banyak hal. Dan perceraian tak mungkin dilakoni sebanyak itu hanya untuk menemukan satu saja orang yang benar-benar sesuai dengan kehendak kita.

Jadi mau tak mau, kita harus tetap bertahan dengan apa yang ada kendati tak menyenangkan. Aku yakin, dalam kasusnya setiap orang menghadapi tantangan berbeda-beda. Tetapi dari sudut pandangku, salah satu cara untuk bertahan ialah dengan belajar menerima. Belajar mensyukurinya. Belajar untuk membenahi bagaimana interaksi dan komunikasi kepada pasangan selama ini.

Betapa mudahnya memang, menyampaikan sebuah nasehat yang masuk akal dan sangat logis jika dijabarkan. Sejatinya, aku sendiri juga tengah belajar.. memahami bahwa pernikahan tak pernah menjadi se-sederhana inginmu, walau mungkin terdapat banyak sekali kesamaan bersama pasangan.

Seterusnya akan ada ujian-ujian lain yang datang menguji.

Lepas dari masalah intern, diuji dengan permasalahan yang bersumber dari luar.

Siapapun menyadari bahwa tatkala memutuskan menikah dan menetapkan pilihan pada seseorang, kita sadar bahwa orang yang akan dijadikan teman hidup bukanlah sosok sempurna. Kita sadar bahwa kita sendiripun memiliki banyak kekurangan.

Lambat laun, kesadaran itu ternyata masih harus diuji. Tahu saja tak cukup. 

Karakter kita satu sama lain seperti saling dibenturkan. Ada saja yang terasa tak lagi sinkron, tak searah, tak sejalan, dan perasaan kita benar-benar diuji saat itu.

Berangkat dari kekurangan-kekurangan yang ada, muncul ketidakcocokan, kekecewaan, pertengkaran, sebab mungkin kita pernah menaruh ekspektasi agak tinggi dan ternyata tak semudah itu. Ia ternyata tak sepenuhnya mendekati apa yang kita harapkan.

Ya, karena watak asli baru mencuat jelas setelah hidup di bawah atap yang sama dan setiap hari saling bersinggungan.

Setelah menikah kita jadi dituntut untuk belajar, menyesuaikan diri, hingga harus terus berbenah diri. Seterusnya kita masih akan beradaptasi pada tiap-tiap fase pernikahan seiring waktu berjalan.

Katanya, ujian terberat datang di 5 tahun pertama. Tetapi di 5 tahun kedua, masih ada ujian lain. Betapa mata kita dibuat mampu melihat kehidupan pernikahan dalam realita yang sesungguhnya tetapi melalui banyak sisi.

Mungkin karena itu, ada banyak sekali ilmu yang harus dipelajari dalam menikah bahkan sebelum benar-benar melenggang masuk ke dunia pernikahan. 

Tak hanya ilmu agama, sebagai bekal dalam menjalankan fungsi sebagai istri atau pun suami sesuai tuntunan syar'i. Namun yang tak kalah penting juga mempelajari bagaimana ilmu psikologi pernikahan, sebagai bekal dalam penyesuaian diri, bagaimana berkomunikasi dalam interaksi yang sehat sebagai pasangan, termasuk pula pengambilan keputusan sampai pada pola pengasuhan anak yang nantinya disepakati bersama.

Ternyata ada banyak hal yang merubah perspektif diri setelah menikah. Menikah tak cukup berbicara tentang umur dan kesiapan seseorang, apalagi hanya berdasarkan kemapanan belaka. Karena tatkala terbentur masalah, teori-teori memuai dan egosenteris mulai mendominasi. Jika tak dibekali ilmu, berorientasikan Allah di dalamnya, pondasi pernikahan terasa rapuh sekali.

Tapi kalau kitanya sadar, si do'i enggak, emang bisa? 

Ya, berarti kita lah yang diberi tugas untuk meluruskan kekurangan pasangan. Untuk menyamakan visi dan misi sekalipun berbeda pandangan. Untuk sama-sama meraih hakikat sakinah, mawaddah dan warahmah.

Jika berantem, balik ke Allah, ingat lagi alasan mengapa menikah, mengapa memilihnya, juga tanggung jawab pada anak-anak yang dititipkan sebagai amanah.

Karena sakinah, mawaddah, dan warahmah takkan bisa diraih sendiri. Harus ada kerjasama yang solid dengan kesadaran penuh dari kedua belah pihak.

Lantas, apa aku pribadi tak pernah berpikir untuk menyerah pada pernikahan?

Jawabannya, pernah!

Rasanya mustahil, orang yang menikah.. tak sekalipun terbersit pemikiran untuk menyudahi hubungan pernikahannya ketika dihampiri permasalahan yang dirasa tak mampu lagi untuk diteruskan.

Aku pernah berada di titik demikian. Padahal, permasalahan kami lebih banyak dipantik dari pihak keluarga terlebih orangtua. Tetapi kembali lagi, pertimbangan ke depan rasa-rasanya jauh lebih membebani walau perasaan saat itu sedang berdarah-darah dan ingin lari sejauh-jauhnya.

Solusinya apa? 

Komunikasikan baik-baik. Karena tanpa komunikasi yang baik, permasalahan sederhana pun bisa jadi rumit karena miskomunikasi yang tak diinginkan. Sekalipun itu berseberangan dengan karakter pasangan yang bertolak belakang. 

Gimana kalau orang yang kita nikahi tak banyak bicara atau lebih suka memendam segala sesuatunya seorang diri?

Apapun itu, ya tetap harus dibicarakan berdua. Dihadapi berdua.

Jika dirasa masih sulit, tak ada salahnya menyertakan pihak ketiga untuk menjadi jembatan evaluasi bagi diri masing-masing, sebagai mediasi agar bisa menemukan titik terang dari permasalahan yang ada. Mungkin akan lebih baik jika orang yang ditunjuk bukan berasal dari keluarga inti keduanya melainkan orang luar yang benar-benar amanah dan dapat bijaksana.

Menikah itu enak? Enggak! Karena di waktu-waktu tertentu, ternyata terasa 'enak bangeett'.

Ada ujian, berarti ada kenaikan kelas. Nah, nikmat terhakiki itu akan dirasa setelah berhasil melampaui ujian tersebut.

Awal menikah kita beradaptasi dengan pasangan beserta lingkup keluarganya, setelah punya anak otomatis kita akan beradaptasi lagi sebagai partner pasangan sekaligus orangtua. Kalau tadinya berpikir punya anak takkan ada yang berubah, tetap bakalan ada yang berubah. Dari kebiasaannya, pola pikirnya sampai pada orientasi. Baik itu jangka pendek atau pun jangka panjang.

Aku banyak belajar. Ada yang berangkat dari teori yang dipelajari. Ada pula yang berdasarkan pengalaman langsung. 

Terlebih tadi pagi, sempat berbincang dengan suami, bahwa adakalanya ujian itu memang sebentuk masalah yang terasa menjauhkan kita dengan pasangan. Ada ujian yang bikin kita seperti bertolak belakang sekali dengan pasangan yang tadinya udah dianggap soulmate, eh ternyata tak semua semanis itu. 

Ada ujian yang pengen bikin kita udahan dan melangkah keluar detik itu juga. Macam-macam ujiannya.

Tapi seperti yang suami ucapkan tadi pagi, "Masalah itu, terasa beratnya.. berat banget, ya pas di detik kita lagi menghadapinya dengan segala emosi beserta ego diri. Nanti kalau sudah lewat beberapa waktu ya bakalan biasa lagi. Malah rasanya bisa lebih akrab dan hangat lagi sama pasangan."

Kalau dipikir-pikir sih iya juga.

Ada titik pengen banget marah sejadi-jadinya, segala uneg dikeluarkan, pengen ngelempar batu cobek wkwkwk, tetapi begitu situasi lebih terkondisi.. yang ada justru mikir sendiri. Kok tadi harus gitu banget ya? Seharusnya marah tak perlu se-over itu. Seharusnya masalah yang ada tak perlu dibesar-besarkan, dsb...

Ada waktu untuk bersitegang dengan pasangan, ada juga fase untuk menengok lagi ke belakang dan buka-buka lagi cerita cekcok yang pernah ada untuk ditertawakan bareng-bareng dan cukup sebagai pembelajaran.

Dulu, ada yang pernah bilang gini "Kamu berantem sama suami kok bisa habis itu baikan lagi? Nggak bisa lewat sehari gitu?"

Lah, ngapain nunggu sehari kalau bisa damai dalam waktu singkat?

Karena aku pribadi sadar, sometimes.. aku yang banyak salahnya, aku yang masih labil, masih kurang dewasa, tukang mutung, ditambah struggle dengan inner child yang sesekali butuh dirangkul dan diakui belum juga sembuh sepenuhnya. Aku memposisikan diri, gimana kalau aku yang salah dan dia sebenarnya sudah ngalah?

Saat marah, semua terasa tak sesuai. Terasa dia saja yang salah, dan kita yang terluka.

Aslinya, kita hanya butuh waktu untuk berhenti sejenak dan menarik diri. Apalagi tabiat perempuan lebih banyak bicara dan menuntut (butuh) untuk lebih banyak didengar pula.

Nanti pasti akan ada waktunya, kita bisa kembali berpikir logis dan menyesali kemarahan yang sudah lewat.

Semua orang dewasa bisa saja tak terkendali dan lepas diri. Tapi akan ada waktu di mana kita menyadari kondisi dan bercermin ke diri sendiri, menyadari sesuatu hal penting, mengambil pembelajaran, memetik nilai-nilai positif, dan ke depannya.. kita akan belajar, pasangan kita juga belajar, untuk bisa sama-sama lebih memahami.

Sama-sama lebih belajar untuk saling menerima.

Menikah bukan lahan untuk memetik hasil saja, kita yang menanam, kita yang memanen. Jadi gagal nandur sesekali nggak apa-apa kalau dari itu bisa membuat kita berdua jadi lebih setiti lagi, lebih tresno lagi 😍, lebih saling menghargai lagi.

Aku belajar. Kami belajar. Postingan ini pun lahir, dari apa yang kami lalui sepanjang ini. Perjalanan dari pernikahan yang tak melulu sesuai harapan, tetapi ada hikmah tersendiri di balik itu.

Jadi kalau kamu lagi jenuh, lelah, merasa mentok bagaimana menyatukan isi kepala dengan suami, bismillah ya.. semoga setiap fase kesulitan yang dihadapi, perbedaan yang membenturkan diri dengan si dia, hingga permasalahan yang menyesakkan, kamu terus dikuatkan, dia dikuatkan, untuk tetap saling berbimbing tangan dan meluaskan maaf tanpa batas.

Oh ternyata, seni menikah itu tak hanya ada di komunikasi yang baik saja tetapi juga bagaimana kita belajar untuk menyiapkan lahan luas agar bisa menampung segala kekurangan pasangan kemudian memberinya maaf tak terbatas. Tanpa keikhlasan untuk memberi maaf, dia hanya pasangan paling mendongkolkan yang hari ini kita nikahi. Tanpa maaf, emosi-emosi negatif mengelilingi dan kita tentu tak pernah berharap hidup dengan orang yang kita benci, bukan?

Semoga aku dan kamu, pasangan-pasangan kita, Allah tautkan hati untuk bersama-sama meraih sakinah, mawaddah, dan warahmah sebaik-baiknya dalam naungan ridha-Nya. Kalau bukan karena Allah, untuk Allah, buat siapa lagi sih semua orientasinya?

Bismillah ya, kita pasti bisa! Kita kuat. Kita menang, pada akhirnya ujian itu hanya akan menguatkan dan kian merekatkan cinta. Sekali lagi, cinta dalam Sa-Ma-Ra.

Aamiin allahumma aamiin. Biidznillah. []


*habis misu-misu ke suami, boleh sungkem dulu :D tarik napas, keluar bentar, biar lega! 

Allah selalu punya rencana indah untukmu 💕

Semoga kita dihindarkan, dijauhkan, dari apa-apa yang sebenarnya tidak kita inginkan. Aamiin.

____________________________


Magelang, 4 Juni 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com  

postingan ini murni sebagai catatan sekaligus pengingat bagi diri sendiri, kini dan nanti, seterusnya ..

2 Komentar

  1. Berumah tangga itu unik. Kadang ada suami istri suka bertengkar. Tapi jodohnya tetap panjang. Selamat malam, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak. Ada pula yang tampak rukun, nyaris tak pernah terlihat ada konflik, tetapi qadarullah harus berpisah. Karena terkait jodoh juga adalah bagian dari iradah Allah.. terima kasih :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)