Saat memutuskan untuk meninggalkan dunia terkait karier dan cita-cita demi menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga, aku pikir tak ada hal yang perlu disesali. Jika waktu itu aku bahagia menyambut kabar kehamilanku, hingga kemudian memutuskan untuk resign.. aku pikir, keputusan itu adalah hal terbaik untuk seterusnya.

Hanya saja, ada beberapa hal tak sesuai harapan yang aku lalui dan berbeda situasi dengan apa yang orang lain jalani. Sebagian besar ekspektasi memunggungi realita yang ada. Aku berusaha untuk bertahan. Menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga berbahagia dengan perannya, sejak masih beranak satu, hingga kini beranak dua.

Tak sedikit pun ada perasaan menyesal untuk stay di rumah membersamai anak-anak. Toh, di waktu senggang aku masih bisa melakoni satu-dua hobby, seperti menulis.

Aku tentu bahagia dengan keputusan menjadi seorang ibu dan istri yang sepenuhnya di rumah. Aku juga semestinya bahagia mengerja hal-hal terkait pekerjaan domestik rumah tangga. Aku juga akan sangat berbahagia untuk mengasuh dan menjaga sendiri anak-anakku, walau tanpa bantuan orang lain. Tanpa bisa berharap lebih atas uluran tangan siapapun untuk momong para bocah kendati sedang repot-repotnya. Jangan kan berandai memiliki asisten rumah tangga, karena untuk berharap bantuan dari orang terdekat saja, terasa mustahil. Tak ada yang benar-benar bisa diharapkan.

Aku mungkin akan berbahagia jika memang segala sesuatunya sungguh-sungguh kondusif untuk dijalani, paling tidak aku dimudahkan dalam beberapa hal yang memang tak seluruhnya bisa kuhandel sendiri dengan dua tangan. Hanya saja orang lain lebih senang menjudge hanya karena mereka tak berada di posisi yang sama. Atau beruntungnya, mereka tak melalui kesulitan serupa.

Karena itu pula di satu waktu aku membandingkan diri sendiri dengan kondisi ibu muda yang lain. Ketika mereka bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tanpa diiringi tangis anak sebab ada mertua, ipar, atau saudara yang suka rela dititipi bocah.. kadang di waktu-waktu itu, aku tengah menangisi kondisiku yang kelelahan, sedang sederet pekerjaan rumah masih belum terselesaikan, disusul kerewelan anak-anak yang menuntut perhatian lebih.

Anak satu, segalanya terasa masih lebih mudah untuk diatasi. Anak dua, aku mulai kewalahan seorang diri. Sebab sedari dulu, segala sesuatu selalu ditangani sendiri. Jauh dari orangtua dan keluarga di seberang Jawa sana. Hanya ikut suami kendati berdekatan dengan keluarganya, siapapun mungkin tahu.. masing-masing orang yang berkeluarga memiliki kesibukan dan kebutuhan masing-masing. Aku tak boleh berharap banyak. Ditanya kabar saja, cukup bagiku merasa lebih diperhatikan (dianggap).

Setelah melahirkan Dhafin, punggung dan tulang panggulku mulai kerap terasa sakit. Belum lagi ditambah migrain yang kapan saja bisa datang ketika psikis dan fisik sama lelahnya.

Aku hanya butuh bantuan ketika kelelahan.

Namun ada hal-hal yang dikomentari orang lain dan terasa begitu sensitif, sebab mereka tak tahu menahu sikon seperti apa yang kuhadapi dalam keseharian.

Misal, mengapa mencuci piring setelah menumpuk terkesan sengaja dibiarkan begitu saja. Padahal mereka tak tahu, tanpa ada yang menjaga si bayi, aku tak bisa leluasa bergerak dan mengerja segalanya seorang diri. Sialnya, para tetangga bisa dengan leluasa melihat pekerjaan itu sebab setumpuk piring kotor harus dicuci tepat di teras rumah. Itu karena kamar mandi dan dapur bagian belakang rumah, belum juga dibangun. Aku tentu tak mungkin menjelaskan detil situasi yang dihadapi, dan harus tampak sebegitu menyedihkannya untuk bisa dipahami.

Sama halnya dengan cucian yang baru bisa disambi di akhir pekan, ketika suami libur bekerja. Dengan ekspektasi akan lebih terbantu. Nyatanya aku masih disibukkan dengan setumpuk pekerjaan rumah dari A-Z ketika suami memilih hibernasi di hari liburnya. Pada akhirnya, jika dua hari itu tak mencukupi, cucian itu tak juga bersih dan mengering, maka yang terjadi seakan-akan kami tengah mengoleksi pakaian kotor yang telah subur beranak pinak.

Repotnya, jika saat mencuci pun.. aku harus menggotong mesin cuci seberat sekian kilo ke depan rumah begitupun saat usai mencuci.

Ada banyak kendala, aku kesulitan, aku kerepotan, tetapi tak ada bantuan. Orang-orang datang hanya untuk berkomentar dan mulai menyorotku dengan label pemalas, tak becus, sampai pada perbandingan orang dulu vs ibu-ibu sekarang.

Aku hanya ingin berkata "capek", "lelah", "aku butuh bantuan", "aku butuh istirahat", dan yang paling menyedihkan "aku juga butuh perhatian lebih dari ayahnya anak-anak" dan itu saja seolah-olah hanya serupa keluhan dan bentuk dari betapa tidak bersyukurnya aku seperti apa yang mereka sangkakan.

Padahal, sembilan tahun menjalani pernikahan.. pasang surut, jatuh bangun, ada banyak hal yang dilalui termasuk sepaket ujiannya. Mereka saja yang tak tahu menahu.

Mengapa ada ibu-ibu yang terlihat waras tetapi kemudian menjadi mudah sekali marah, mengalami baby blues, depresi sampai pada hal-hal yang lebih buruk dari itu? Tentu bukan karena mereka tak bisa bersabar. Bukan karena mereka tak mau bersyukur.

Katanya Islam begitu memuliakan kedudukan perempuan terutama seorang ibu. Tetapi mengapa ada begitu banyak beban dan peran yang harus dipanggul tetapi masih juga tampak kurang di mata orang lain?

Ibu tak boleh marah, ibu tak boleh mengeluh, ibu tak layak punya kesempatan me time. Yang pantas adalah hal sebaliknya. Ibu yang sabar, ibu yang waras dan nrimo, ibu yang terus giat dan tampak rajin di mata semua orang walau selelah apapun psikis dan fisik yang dirasakannya kala itu.

Belum tuntas dengan kelelahan-kelelahan tersebut, masih harus ditambah rongrongan orang-orang yang merasa kiprahnya jauh lebih baik dan mulia. Masih harus ditambah dengan laporan tetangga yang mengeluh atas kenakalan anaknya, walau sebenarnya anak lain yang berbuat nakal, tetapi tuduhan nakal itu terarah hanya ke buah hatinya saja.

Kadang, bukan tak ingin sabar. Bukan tak bisa ikhlas. Tetapi beban dan peran terus bertambah, sedang bantuan yang diharapkan seakan tak mau berempati.

Suami yang libur, asyik memperpanjang jam tidur. Masih sibuk dengan game online di handphone-nya. Tatkala dimintai bantuan, menjaga anak-anak lebih menjadi alasan.

Jika seorang ibu bahagia dan dengan entengnya memilih untuk mengenyampingkan karier dan kesempatan dalam mewujudkan cita-cita demi mengutamakan keluarganya.. lantas mengapa harus merasa tak bahagia di kemudian hari?

Aku menengok ke dalam diri sendiri untuk menjawab pertanyaan di atas. Aku bercermin pada situasi-situasi sulit yang harus dihadapi setiap hari. Betapa bahagianya seorang ibu juga bergantung pada orang-orang di sekitarnya, seberapa banyak bantuan yang mungkin diterimanya, seberapa baik dirinya diperlakukan oleh orang-orang di sekelilingnya.

Mengapa seorang perempuan yang tadinya berdikari, bisa tampil cantik dan terawat, wajah ceria, kemudian harus benar-benar berada di titik terpuruk dan perasaan insecure hanya untuk memberikan dunia yang utuh dan layak bagi orang-orang di dalam hidupnya tetapi dengan jaminan mengorbankan perasaan dan kebahagiaannya sendiri?

Apa seorang ibu tak bahagia karena telah menyesali keputusannya sendiri?
Kurasa tidak.

Ia menjadi tak bahagia karena orang-orang yang telah dengan sepenuh hati ia perjuangkan dengan pengorbanan yang tak mudah, ternyata tak sama sekali menghargai itu semua.

Apa aku tak bahagia?
Iya, aku tak bahagia ketika menyadari betapa lelahnya psikis dan fisik yang menderaku.

Aku tak bahagia ketika sangat membutuhkan bantuan tetapi orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat bersandar dan bergantung, lebih menyibukkan diri dengan hal-hal terkait kesenangan pribadinya.

Aku tak bahagia ketika menyesali perasaan bersalah usai mengomel sepanjang gerbong kereta, menatap tajam pada anak-anak yang sebenarnya tak melakukan kesalahan fatal, tetapi rasa lelahku berimbas ke mereka.

Aku tak bahagia ketika harus bersuara tinggi, menangis dalam bicara, hanya untuk memohon pengertian dan perhatian dari ayahnya anak-anak.

Aku tak bahagia saat menangisi kondisiku yang tak beroleh kesempatan untuk beristirahat lebih, tidur lebih nyenyak, atau bahkan menyelesaikan satu artikel dalam sekali duduk tanpa dibarengi dengan tangisan si bayi yang sedang manja-manjanya.

Betapa aku tak bahagia berada di lingkungan yang sama sekali tak kondusif untuk mentalku. Di lingkungan yang penuh dengan kepura-puraan. Ketika dikelilingi oleh orang-orang yang hendak membungkam suaramu dari berbagai arah. Ketika apa yang kau lakukan menjadi selalu salah. Ketika apa yang kau tulis juga dipermasalahkan. Saat kesalahan yang tak ada dijadikan ghibah sebagai sumber fitnah.

Aku mengalah, aku berusaha untuk bertahan hingga sejauh ini. Tetapi aku benar-benar lelah.

Aku tahu semua memang ada fasenya.
Saat ini aku berada di fase untuk berlelah-lelah sebab anak-anak masih belum bisa mandiri.

Hanya saja apa aku tak boleh mendapat bantuan lebih? Tanganku hanya dua, sebanyak apa yang bisa kukerjakan dalam waktu bersamaan?

Seringkali aku menuntut pengertian dan managemen waktu bersama suami. Tetapi lagi dan lagi, tak ada yang berjalan sesuai jadwal yang diatur. Aku masih bangun dan mengerja segalanya sendiri, ketika suami tertidur lelap, kemudian bangun untuk terburu-buru berangkat kerja. Pulang di sore harinya, ia masih sibuk dengan segala tetek bengek yang ia anggap penting sebab itu lah hiburannya usai bekerja mencari nafkah.

Lantas, apa hiburan yang layak bagi seorang ibu yang kelelahan? Dengan dua anak kecil yang sudah menguras hampir sepenuhnya waktu dan energi. Ibu yang hanya dituntut sabar, ikhlas, dan waras? Ia dituntut mampu mengerja segala sesuatu seorang diri, kendati tangannya hanya dua. Jika ia bersuara dalam media apapun, ia disergah dengan kalimat yang mengintimidasi dan menambah perasaan down yang dirasa.

Sebenarnya, bukan suami tak punya kesempatan dan waktu untuk membantu.. managemen waktunya lah yang bermasalah. Suami bisa saja bangun lebih awal dan membantu sedikit pekerjaan rumah bersama, ketika anak-anak mungkin saja masih tertidur lelap. Atau apa salahnya mengerjakan sederet pekerjaan rumah bersama-sama? Jika berumah tangga dibangun atas dua orang manusia yang memutuskan untuk menetap bersama, mengapa harus ada tugas yang dilempar begitu saja ke satu orang tanpa ada kesadaran untuk berbagi tugas dan mengembannya berdua?

Ini rumah tangga, bukan rumah pekerja. Ini rumah tangga, bukan rumah duka. Ini rumah tangga, bukan rumah sengsara. Sakinah, mawaddah, dan warahmah tak bisa dicipta seorang diri.. melainkan berdua!

Aku sudah terlalu lelah, sehingga menulis segala uneg-uneg itu di sini.

Aku tak sedang ingin berpikir bahwa rumah tangga bahagia yang kujalani sepenuhnya berporos pada perkara domestik rumah tangga belaka. Kelelahan. Mengasihani diri sendiri. Alih-alih menerima bantuan atau pun kepedulian dari orang-orang terdekat, yang terjadi justru kesalahpahaman dan disudutkan.

Aku butuh bekerja untuk meneruskan cita-cita, pekerjaanku adalah menulis. Untuk bisa menulis, aku butuh waktu yang longgar dan sikon yang terkondisi. Tak juga setelah merasa lelah, seharian berjibaku dengan rutinitas yang sama.

Aku butuh terus produktif sebagai wujud eksistensi sebagai emak blogger yang memilih berdikari dalam berekspresi dan berkarya dari rumah.

Aku butuh tetap menjadi diri sendiri tanpa terbebani, sesekali waktu untuk me time dan me-refresh kewarasan diri baik lahir maupun batin.

Aku butuh dipahami, bukan dihakimi.
Aku butuh dimengerti, bukan disalaharti.
Aku butuh waktu dan kesempatan untuk menjadi produktif menurut versi dan kemampuan yang dimiliki.

Aku ibu rumah tangga, seharusnya bahagia. Aku bahagia untuk fulltime di rumah bersama anak-anak.
Ada banyak hal yang membuatku bahagia dan senang di waktu lain, tetapi jika kelelahan, hal bahagia apa yang sanggup kurasakan di waktu-waktu seperti saat ini?

Ketika meminta waktu khusus untuk mengerjakan job blogger, tetapi suami juga sibuk dengan pekerjaannya dan tergesa-gesa mengejar waktu berangkatnya. Aku menangis marah di waktu bersamaan. Mengesalkan sekali.

Pun beberapa waktu lalu sebelum duduk dan menulis, aku menangis bersama anak-anak. Aku butuh menyalurkan emosi ini, setelahnya.. mungkin akan ada hal lain yang membuatku merasa lapang kembali.

Aku hanya kelelahan. Psikisku lelah. Fisikku lelah.

Tak ada telinga, siap mendengar. Tak ada pundak, untuk bersandar. Tak ada yang benar-benar mengerti.

Aku dan suami sedang tak satu frekuensi.

Aku butuh bantuan. I needed help, untuk keluar dari semua kelelahan ini.

___________________________________________

Magelang, 24 Mei 2021

2 Komentar

  1. Memang sulit mbak untuk menyamakan pemikiran. Mungkin kenapa sumi agak tidak mementingkan karena dia mungkin sebliknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar, apalagi cara kerja otak perempuan dan laki-laki berbeda. Sometimes, ketika sedang lelah-lelahnya semua terasa tak adil. Berasa kayak kurang syukur ya jadinya hehe. Tapi sebenarnya, dia (suami) juga mungkin sama lelahnya. Realitanya menikah tak selalu menyuguhkan hal manis, selalu ada bumbu-bumbunya. Apalagi kalau di fase berjuang, fase sedang repot-repotnya karena anak-anak.. tapi setelah menulis ini, aku merenung lagi, suami sebenarnya bukan tipikal orang yang berat tangan untuk membantu pekerjaan istri. Hanya memang ritme dalam keseharian saja yang belum menemukan frekuensi yang sama setelah nambah krucil. Ini yang jadi PR. Tiap pasangan pasti punya medan juang tersendiri yaa, tantangan dan ujiannya juga. Semoga kami bisa segera menyatukan ritme. Terima kasih sudah meninggalkan pesan :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)