Menatap senyum lepas pada wajah sendiri. Tatkala memeluk map yang berisi ijazah, transkrip nilai beserta dokumen foto wisuda.. masyaa Allah bergetar luar biasa. Sembari berucap syukur berkali-kali di dalam hati. Untuk sampai sejauh ini, jelas bukan karena diri yang hebat. Tetapi semua karena kemurahan Allah. Support moril dan materiil dari suami. Dukungan tak putus dari murabbi dan teman-teman.

Alhamdulillah tsumma alhamdulillah. Teringat map planning yang ditulis bertahun-tahun lalu tatkala masih berusia 13 tahun. Salah satu target yang ingin diraih di usia 20’an adalah meraih gelar sarjana. Menyelesaikan studi di bangku perkuliahan. Baru setelah ijazah tergenggam tangan semua ingatan di masa lalu terkumpul. Waktu di mana aku menulis daftar impian. Perjalanan-perjalanan yang berliku tetapi menghantarku ke babak ini.

Allah maha baik. Di usia 25 tahun nyatanya bukan hanya gelar sarjana pendidikan yang diperoleh. Melainkan juga gelar sebagai seorang istri dan juga seorang ibu. Tatkala wisuda, genap empat minggu usia kehamilan diri. Ketika suami dan ananda pertama kami membersamai dengan support luar biasa. Tak dipungkiri, satu-satunya orang yang sangat berperan penting dalam pendidikanku adalah suami. Beliau lah yang tak mundur memberi sokongan ketika aku sendiri nyaris hendak roboh dan mundur begitu saja.

Teringat betul, beberapa waktu ketika menjelang sidang. Aku menangis tersedu di hadapan suami. Merasa kalah sebelum berperang. Tatkala perjuangan menuju wisuda bahkan tinggal selangkah lagi. Tiba-tiba kepercayaan diri runtuh begitu saja. Diri merasa insecure sekali dan hilang semangat. Tak satu, dua, teman yang memberikan dorongan kala itu. Di sela-sela semangat yang mengendur, barangkali karena ada doa mamak dan bapak yang berharap jalan anaknya dimudahkan. Sehingga masih ada pendar harapan yang menjadi alasan untuk kembali berjuang dan mengangkat wajah.

Wajah mamak dan bapak, adik-adik, kehendak untuk membuat bangga keluarga besar dan membuktikan diri. Serta ingatan pada cemoohan orang-orang yang mengecilkan diri, berkelebat silih berganti. Dulu sekali, saat mimpi-mimpi yang tertulis kata mereka hanya hal muluk yang tak seharusnya dimiliki diri. Karenanya semua berkat kemurahan Allah.

Suami selalu meyakinkan bahwa biaya bukan hal besar yang harus kami pusingkan. Kendati jelas, beliau berikhtiar lebih untuk membiayai perkuliahan istrinya hingga bisa diwisuda. Suami lah satu-satunya sosok yang hingga hari ini begitu antusias, jauh lebih exited tatkala menggantung foto wisuda istrinya di ruang tamu rumah kami. Beliau berkali-kali berkata bahwa aku adalah kebanggaan baginya, untuk keluarga kecil yang kami miliki.

Semua tak lepas dari peran besar suami. Barangkali, lewat perantara beliau lah Allah perkenankan mimpi untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah kemudian dapat terealisasi. Tak ada gurat ragu atau keberatan sekalipun. Beliau begitu penuh memberikan dukungan. Bahkan di titik paling rapuh istrinya. Masyaa Allah tabarakallah. Fabiayyi ‘alaa irabbikuma tukadzhiban?

Lantas, setelah ini mau ke mana? Mau apa? Sambil meraba perut yang kian buncit di usia kehamilan yang segera genap di bulan ketujuh.. sesuai kesepakatan dengan suami, insyaa Allah untuk saat ini akan tetap berkiprah di rumah. Sebagai ibu rumah tangga. Berkhidmat sebagai istri juga ibu yang terus belajar menjadi lebih baik lagi. Tentu saja, di lain kesempatan akan tetap melecut diri untuk tak berhenti belajar dan meng-upgrade kapasitas diri.

Kelak, ketika ada kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang S-2 insyaa Allah akan disampaikan pula. Betapa Allah teramat baik. Untuk membuka mata bahwa sebaik-baik rencana yang dirancang manusia, rencana Allah jauh lebih nyata dan bermakna. Masyaa Allah. Semoga keinginan menuntut ilmu pun sejalan dengan semangat untuk merealisasikannya. Semata-mata untuk memperpantas diri sebagai pendidik bagi anak sendiri. Mengasah diri. Menempa diri tanpa henti. Sebab ummu al-madrasatul ‘ula. Pendidik pertama bagi putra-putrinya.

Pada akhirnya, sarjana bukanlah tapak akhir melainkan jejak awal untuk melangkah ke babak selanjutnya. Ruang refleksi yang lebih baik lagi. Ruang belajar yang lebih luas lagi. Maka terima kasih tak terhingga untuk keluarga kecil yang memberikan sokongan besar tanpa pamrih. Tanpa mereka aku bukan apa-apa. Aku takkan sampai sejauh ini. Alhamdulillah. Semoga barokah dan manfaat baik gelar maupun ilmunya. Aamiin yaa mujibassailin.

Tanpa Allah, tanpa kekuatan doa beserta ikhtiar, tanpa orang-orang yang hadir membersamai perjalanan.. kita hanyalah hamparan kertas kosong. Namun takdir dan skenario Allah lah yang menjadikan kita ‘kemudian’ tak ubahnya susunan puzzle penuh makna beserta ibrah. Ketika hikmah terhimpun, indahnya pun seperti pelangi.. membias tanpa cela. Hanya Allah sebaik-baik pemberi ketetapan. (C) ~ Bianglala Hijrah

Magelang, 9 April 2020

 


________________________
Disalin ulang dari postingan yang ada di akun Wordpress milikku. Semoga bermanfaat :)

0 Komentar