Seringnya seorang istri dianggap tak becus sebab sang suami ikut membantu pekerjaan rumah tangga. Dijudge pemalas, tak bisa apa-apa, hanya karena penilaian kasar orang lain tanpa tahu kebenarannya. Dan kerap orang-orang yang melempar sangkaan adalah juga para ibu yang tahu persis repotnya mengerja semua perkara sedang tangan hanyalah dua. Belum lagi jika anak-anak berjejer dengan jarak usia pendek, sedang tak ada orangtua dan keluarga di sisi yang dapat bergilir peran dalam menjaga.

Jangan kan nanny katanya, suami yang turun tangan pun adalah tabu bagi mereka.


Katanya, bukan ranah lelaki menyentuh tetek bengek gawean rumah. Bukan tugas lelaki memegang sapu atau pakaian kotor yang beranak pinak begitu saja. Tabu, selalu tabu. Padahal pembeda itu manusia yang mencipta. Ini bukan soal kesetaraan gender yang mengharuskan lelaki dan perempuan berdiri sama rata.

Tetapi mengkhususkan peran tertentu sebagai nilai bagi perempuan yang telah menikah adalah keliru. Seolah tugas mereka hanya boleh berkutat pada 3R saja. Dari kasur, ke sumur, juga di dapur. Sudah begitu, lelah masih tak diapresiasi. Jangan kan puji yang ada hanya persepsi minim empati.

Seorang istri dituntut untuk lebih dan mumpuni, kendati siapapun tahu multitasking bakat bawaan para istri. Ia bisa mengemban peran ganda. Tanpa dikomando setiap istri akan belajar dalam rumah tangganya. Para ibu dengan insting keibuannya seketika tahu merawat bayi dalam semalam, walau berkubang airmata dan lelah luar biasa.

Di mana letak tabunya? Hanya karena suami ringan membantu pekerjaan istri? Di mana letak rendahnya? Hanya karena suami memasak lauk yang juga untuk dimakan sendiri? Baju yang dicuci juga baju sendiri tak hanya pakaian istri. Rumah yang dibersihkan ialah juga hunian sendiri.

Suatu hari seorang ibu muda mendatangiku untuk mengeluhkan beban hatinya. Di keluarga suami ia terus menerus diintimidasi, bahkan ketika luka jahit paska bersalin belum juga kering dari jalannya, ia dituntut untuk bangun dan mengerja segala sesuatu seorang diri. Ibu muda ini pun menangis tersedu-sedu. Baginya saat itu, hidupnya direnggut oleh batasan dan keharusan untuk layak disebut sebagai istri sekaligus ibu.

Jika bersuara ia dianggap mengeluh dan membeberkan aib pribadi. Terus menerus diam, beban hatinya makin menjadi. Hingga kemudian ia pun berani mengutarakan maksud dengan kalimat pengantar yang dipikir siang malam berhari-hari, agar tak menyinggung perasaan orang tua suami.

“Mertuaku marah, Mbak. Mengarahkan telunjuk tepat di depan mukaku dengan kata-kata serapah. Jangankan mendengar dan mencerna maksudku secara baik-baik. Aku sudah lebih dulu dicap salah. Suami pun tak bisa berbuat banyak. Ipar-ipar jangankan melerai tetapi turut serta memprovokasi masalah yang ada.” Ceritanya kemudian.

Puncaknya, hati ibu muda ini lagi-lagi dihujam belati dari lisan keluarga suami. Fakta bahwa tak melulu rumah mertua menjadi surga bagi menantunya. Siapapun tahu pepatah yang berkata jika “cedak mambu belek, adoh mambu kembang.”

Dekat bau tai, jauh bau wangi. Ada makna tentu dari pepatah Jawa yang menggambarkan kehidupan anak menantu di rumah keluarga suaminya.

Tidak, tidak, ini bukan menyorot masalah menantu dengan mertua. Tetapi stigma yang turun temurun mengikat kaum wanita yang dikata layak hanya jika “cekelannya” menyoal masak, asah-asah lan kumbah-kumbah. Padahal 24 jam dalam sehari, tiga perkara itu belum juga mewakilkan kesibukan apa saja dari rutinitas yang melulu dilakoni setiap harinya.

Jenuh? Lelah? Tangisi saja diam-diam. Jika bersuara tudingan tak berempati lah yang didapat kemudian. Seolah tak boleh lelah, tak boleh salah, tak boleh rebah. Engkau harus kokoh wahai Hawa, meski retak pada jiwa dan ragamu ditambal seorang diri.

Karenanya pernah terlintas dalam benak, jika menikah adalah ibadah mengapa laki-laki dianggap rendah hanya dengan membantu pekerjaan istrinya?

Andai membantu di sini bernilai ibadah, atau sebut saja salah satu langkah dalam ngibadah berumah tangga, mengapa tudingan hanya mengarah pada istri yang seolah menjatuhkan wibawa imam keluarganya? Apa karena ngaji kita hanya sebatas itu-itu saja?

Kita belum menilik jauh contoh pernikahan sejati, layaknya teladan rumah tangga Rasulullah yang tak pernah meninggikan posisi lelaki untuk dianggap cukup berwibawa di hadapan para istri.

Siapa pula yang merendahkan? Pekerjaan yang ditangani, atau stigma yang mengakar hingga kini?

Para suami, engkau pun luar biasa. Jika sibukmu mencari nafkah tak membuatmu abai mengemban tugas bersama. Tak enggan turun tangan ngelongi gawean rumah istri tercinta. Bagimu siapa luang maka dia yang mengerja. Katamu lagi, jika Nabi saja juga membantu pekerjaan para istri, maka apa yang membuatku berberat hati? Semoga menjadi ketawadhuan sejati. Yang mewangi hingga ke akhirat nanti.

Para istri, tatap lagi wajah suami jika didapati beliau lah lelaki yang sudi menepis sekat yang memisahkan peran wanita dan pria tatkala telah menikah. Dia lah lelaki yang sudi memasang badan untuk menjaga hati istrinya tak terluka.

Sebagai cermin, Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya: “Apakah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam rumah?” Ia radhiyallahu ‘anha menjawab: “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia biasa. Beliau menambal pakaian sendiri, memerah susu dan melayani diri beliau sendiri.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Maka tak tabu jika suami membantu istri, yang tabu adalah stigma itu sendiri. Teruntuk para istri luar biasa, juga para suami hebat yang rela berbagi tugas bersama. Peluk cium ke pasangan masing-masing yuk, Mak. Jangan lupa bilang terima kasih dan secangkir kopi serta sarapan untuk memulai hari ini 🤗🌹❤

With love dariku yang sepagi ini menulis di sebelah suami 😅 Semoga bermanfaat. Mewakili mamak-mamak yang stronggg jiwa raganya. Barakallah.

____________________________

Magelang, 📝 Putri An-Nissa Nailathul Izzah
Senin, 9 November 2020
***
Disalin ulang dari tulisanku di facebook, sempat dipost di grup "Komunitas Bisa Menulis" sebelum grup hilang untuk kedua kalinya ^^ Semoga bermanfaat ..

0 Komentar