Karena Cara dan Rasa Tak Bisa Dipaksa Sama
Seringkali berpikir, mengapa ada orang yang begitu lepas berbicara saat tak dimintai saran? Mengapa ada orang yang berkomentar saat kita tak butuh masukan?
Mengapa ada orang yang sulit mengerem lisannya untuk sedikit saja berpikir, apa imbas dari ucapannya bagi orang yang ada di hadapannya?
Karena sepele apapun komentar yang keluar, bagi sebagian orang tidaklah sesederhana itu.
Mereka mencerna, mereka merasa.
Bisa tidak, kita berhenti berkomentar untuk apapun yang orang lain lakukan?
Berhenti sok peduli tetapi dengan kata-kata yang justru tak berempati?
Bisa kita berhenti menjadi orang yang "merasa" lebih tahu apa yang baik bagi orang lain? Sebab kita tak pernah tahu alasan seseorang di balik pilihan-pilihan yang ia ambil. Karena nyamannya kita dengan nyamannya orang lain juga berbeda.
Bisa kita berhenti mempermasalahkan hal-hal sepele tentang kebiasaan orang lain?
Bisa kita berhenti menjadi manusia dengan lisan yang tajam?
Bisa kita berhenti membuat perbandingan?
Untuk mulai belajar menahan diri.
Berkomentar hanya saat dimintai saran dan masukan. Berbicara hanya ketika dirasa memang perlu diucapkan tanpa harus menampar perasaan orang yang mendengar.
Sebab, kita sungguh tak pernah tahu. Seperti apa dampak ucapan kita terhadap orang lain. Kita mungkin tak benar-benar tahu kesulitan yang dialaminya, ketika ia sendiri pun memilih tetap tersenyum di hadapan banyak orang dan menyembunyikan rapat-rapat persoalan hidupnya. Bagaimana jika ucapan yang dilayangkan justru menambah sederet luka yang dirasainya?
Di waktu bersamaan, kita tak jarang mengolok-olok orang yang begitu perasa dengan guyonan yang sampai di telinganya. Mengapa tidak bertukar posisi saja? Barangkali bukan orang lain yang terlalu perasa. Kita lah yang kelewat batas dalam bercanda. Menganggap setiap orang sama rata dalam berjenaka.
Hanya karena menurut kita biasa, tak lantas orang lain harus merasa biasa. Tak justru orang lain harus bersikap biasa-biasa saja dengan cara kita.
Sedikit saja, barangkali setiap kita perlu sepersekian detik atau bahkan menit, untuk mulai berpikir dan menahan diri, sebelum kalimat yang terlontar tak lagi dapat ditarik. Sebelum terlambat menyadari berapa banyak kesalahan yang dibuat tersebab lisan yang minim empati.
Setiap kita mungkin perlu (mulai) belajar.. ada hal-hal yang tak bisa dianggap sama dan biasa. Sebab pengalaman dan sudut pandang setiap kepala juga berbeda. Soal rasa dan cara tak bisa dipaksa sama.
Ketika orang lain berbeda cara dalam menerapkan sesuatu hal, bukan berarti ia membuat kesalahan, bukan juga karena cara yang kita pakai lebih dari benar. Sebab sekali lagi, ada banyak warna yang mengisi masing-masing wadah di dalam diri seseorang. Masing-masing kita memiliki sudut pandang berbeda. Pengalaman dan pengetahuan menuntun kita dalam setiap tindakan dan keputusan yang tak mutlak sama.
Kita tak perlu mendikte setiap hal yang dirasa bertolak belakang dengan kebiasaan 'orang' pada umumnya.
Mari, sedikit saja. Kita menjadi orang yang berdamai dengan diri sendiri. Untuk terbuka menerima perbedaan pada pilihan-pilihan orang lain tanpa harus menggurui apalagi menghakimi.
Apa yang salah dari berbeda? Selama tak saling merugikan, selama tidak menyusahkan. Selama kita bisa tetap berjalan seiring, sembari menjaga rasa masing-masing, menghargai kenyamanan satu sama lain.
Biar saja orang lain memilih berbeda. Kita tak perlu mengaturnya.
Sesekali, mungkin kita perlu bertanya pada diri. Orang lain yang sulit menerima masukan atau kita yang sedang memaksakan pemahaman?
Sederhananya, ketika dalam satu meja dua orang sedang duduk menghadap sajian. Satunya memilih menggunakan sendok, satunya lagi memilih makan dengan tangan. Apa yang salah dengan pilihan-pilihan tersebut?
Tak ada. Yang salah ketika satu di antaranya menuntut kesamaan pada orang yang lebih memilih makan menggunakan tangan. Ia merasa menggunakan tangan tidak lah sebaik makan menggunakan sendok. Ia merasa pilihan yang dijalaninya jauh lebih baik dari kebiasaan yang diambil orang yang satunya.
Sesederhana itu. Dua hal yang bertujuan sama, di tempat yang sama, tetapi karena cara eksekusi berbeda kemudian menimbulkan masalah.
Dalam banyak soal, kita sering dihadapkan pada permasalahan yang lebih pelik soal perbedaan sudut pandang ini. Jadi, mungkin kita perlu berdamai dengan diri sendiri. Tak setiap hal yang dirasa baik menurut diri sendiri, harus pula baik bagi orang lain.
Kita tak perlu memaksakan pemahaman.
Kebiasaan kita tak perlu menjadi cara yang wajib diadopsi orang lain.
Pengalaman kita tak harus menjadi guru bagi orang lain.
Zona nyaman kita tak perlu menjadi kenyamanan bagi orang lain pula.
Sebab sekali lagi, nyamannya kita dengan nyamannya orang berbeda.
Adakalanya, kita tak perlu menjadi rambu-rambu bagi kehidupan orang lain.
Cukup diam, tersenyum di tempat. Hidup akan jauh lebih berwarna.
Kutulis ini sebagai refleksi diri sendiri. Karena banyak hal yang akhir-akhir ini terasa fluktuatif sekali. Terasa menguras energi lebih, tak hanya pikiran saja. Sebab itu tulisan ini lebih pada menyemangati diri sendiri sekaligus jawaban yang ingin sekali kuutarakan pada mereka yang menghakimi pilihan-pilihan yang kuambil sebagai seorang ibu.
Kadang.. menuliskan isi hati maupun pendapat pribadi, terasa lebih melegakan ketimbang menjawab banyak argument yang jelas-jelas berujung pada perdebatan semata.
Kendati di satu waktu ingin rasanya berujar pada mereka, "Bisa kita saling menghargai pilihan masing-masing? Tanpa harus mempermasalahkan pilihan orang lain?"
Anehnya, aku lebih sering diam di tempat dan ujung-ujungnya merasa tak puas diri. Perasaan tak puas itu mengendap berhari-hari. Menuliskannya, bukan berarti aku menjadi seseorang yang bijak. Justru karena aku sedang berusaha berdamai dengan diri sendiri. Berdamai karena melalui situasi tak mengenakkan dan seringnya memojokkan. Berdamai dengan memilih 'bodo amat' dan tetap teguh pada pendirian.
Ya, karena tak setiap hal yang menurutmu baik, sesuai dengan kondisi atau situasi sebagian orang. Aku di antaranya. Lagi pula, ini hanya persoalan sudut pandang. Aku dan mereka memiliki cara dan kenyamanan berbeda. Mungkin mereka yang belum bisa memahami itu. Kendati tujuan mereka baik, cara penyampaiannya lah yang belum pas untukku.
Semoga bermanfaat.
________________________________
(C) yusniaagussaputri.blogspot.com
Magelang, 1 Oktober 2020
6 Komentar
betul, setuju aku denagn tulisan ini
BalasHapusAlhamdulillah, semoga bermanfaat :)
HapusSesuatu yang baik dilakukan dengan yang baaik pula :D
BalasHapusMungkin iya :D
HapusTerima kasih sudah berkunjung
Sepakat mba :). Seandainya semua orang punya pemikiran seperti ini, kurasa aman damai tentram negara kita. Ga ada gontok2an Krn beda soal apapun.
BalasHapusAku cendrung banyak diam kalo bertemu orang2, bukan Krn sombong , tapi Krn kuatir ucapanku bisa menyakiti orang lain. Lebih baik diam kalo memang ga menguasai pembicaraan, ato ga bisa mengeluarkan kata2 baik. Daripada maksain bicara tp ga sadar menyakiti.
Betul, dengan kita tahu batasan.. pasti bakal lebih damai. Karena memang lebih nyaman hidup tanpa bayang-bayang komentar orang lain. Apalagi untuk sesuatu yang tak kita harapkan di waktu dan sikon nggak tepat. Sayangnya, di masyarakat kita dianggap hal biasa terlalu blak-blakan. Giliran kitanya tersinggung malah dikata baperan. Mungkin setiap kita perlu belajar, mengulang pelajaran PKN saat sekolah dasar, mengenai apa itu tenggang rasa :) Terima kasih sudah berkunjung yaa
HapusAssalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)