Terbangun dan mematut diri di depan cermin. Memerhatikan tubuh yang tak lagi selangsing dulu. Raut wajah yang tanpa jeda mempertegas bertambahnya usia seiring waktu, namun tak tersentuh skincare routine dengan jaminan kulit glowing dan bebas kerut. Hijab yang dikenakan menutup kondisi rambut yang digelung asal. Lengkap dengan baju dinas khas ibu rumah tangga, pakaian resmi sehari-hari, yang dikenakan tanpa kesan mewah.

Kadang kala istilah mbahrenggo pun melekat, "kumbah-karing-dinggo". Dicuci, kering, langsung pakai. Sebuah drama yang lahir dari keseharian seorang ibu di rumah tangga.

Pernah di tahap ini? Barangkali tak sedikit perempuan [kita] yang melalui fase di mana banyak hal yang tanpa disadari telah berubah seiring waktu. Tatkala sibuk menunaikan tugas sebagai istri dan ibu. Ketika tumbuh kembang anak jauh lebih penting ketimbang upgrade merk skincare di meja rias. Pun, saat pendapatan keluarga hanya berpusat pada gaji suami.. maka berhemat di tengah gempuran kebutuhan jauh lebih mewah ketimbang meladeni ingin pribadi.

Tetapi di balik semua itu, akan ada rasa lelah. Rasa jenuh. Setelah sekian periode berlalu atas nama bakti, sami'na wa atho'na.

Bertambah jengah ketika komentar julid datang mengusik ruang tenangmu yang tadinya qana'ah dengan apa yang ada. Pelan-pelan syukur seolah mengendur dari wadahnya.

Suatu hari, ketika tengah duduk di antara segerombolan emak-emak. Tiba-tiba ada yang nyeletuk ringan tetapi menohok, tepat saat hawa hatimu sedang tidak enak-enaknya. Niat kongkow, nonggo barang sejenak berujung kisruh di dalam benak. Komentar itu beruntut menjejal telinga..

"Sekarang kok kamu kusem? Mbok ya perawatan kayak dulu."
"Welah, anak baru satu wis melar puoll."
"Ibunya itu loh, tetangga yang tinggal di RT sebelah, anak tiga tapi masih kayak remaja ya."

Ada komentar yang lebih menusuk lagi. Ini berdasarkan survey pribadi yang kerap menampung curhat teman. Di antaranya beberapa curhat serupa berasal dari ummahat yang geram bercampur sedih sebab penampilannya dikomentari tampak lebih dewasa [bahasa halusnya tuwir] jika dibandingkan dengan sang suami yang memang qadarullah dianugerahi baby face.

"Saya itu tadinya mau santai, nggak dimasukin ke hati. Tapi kok malah kepikiran terus, jadinya sedih. Terus kudu piye? Apa perlu saya rombak penampilan dan wajah sekalian?" jelas ummahat tersebut dengan hembusan nafas berat.

Lisan, oh lisan. Mudah sekali meluncur tanpa beban. Padahal, ibu yang kita komentari kusam barangkali bukan karena tak mau perawatan. Tetapi lebih pada waktu yang terkuras untuk momong anak dan menghandel segala soal perkara domestik. Dan setiap harinya selalu berujung lelah di penghujung hari tanpa sempat lagi ngopeni rai [wajah]. Bisa tidur nyenyak di malam harinya, bingkisan paling nikmat untuk rebahkan penat.

Bisa saja ibu yang kita komentari melar, bukan karena ia terlalu kalap makan dan enggan peduli pada penampilannya sendiri. Barangkali di antara komentar yang masuk, ia betul-betul merunut diri, berusaha diet mati-matian. Ia tahu tanpa diberi tahu, bahwa pasca melahirkan berat badan yang melonjak belum kembali ke angka ideal lagi. Butuh waktu, proses, dan usaha lebih. Tetapi tak perlu menambah rasa ketidakpercayaan dirinya dengan membuatnya merasa kerdil hingga hilang syukur atas tubuhnya saat ini. Astaghfirullah.

Jangan pula membandingkan satu ibu dengan ibu yang lainnya. Kita tak tahu kendala seperti apa yang ada di kehidupan masing-masing. Pun perjuangan seperti apa yang mereka lalui. Tak adil jika ternyata orang yang kita bandingkan berbeda jauh dari segi financial dan nasib. Ibu yang satu qadarullah beranak tiga, namun harus mengerahkan segenap tenaga dan upaya yang tersisa untuk mengurus segala sesuatunya seorang diri.

Sedang ibu yang satunya lagi? Kendati beranak tiga, secara financial ia jauh lebih baik. Ada si Mbak yang membantu momong anak-anak. Ada si Mbok yang membantu pekerjaan rumah tangga. Hidupnya tak perlu dilingkupi dengan rasa penat, stress karena apa-apa dikerjakan sendiri.

Aku termasuk tipe yang malas nonggo, bukan anti bersosialisasi loh ya. Keluar rumah bagiku hanya sepentingnya saja. Jika dirasa tak ada yang terlalu urgent, ngungkum di rumah berkutat dengan rutinitas yang ada, jauh lebih aman. Kadang, niat ghibah tak berasal dari diri. Tapi dosa ghibah harus dibagi-bagi, sekalipun tadinya hanya sebagai pendengar. Ibu-ibu kalau sudah ngumpul sekalipun peluangnya kecil, kadang-kadang nyerempetnya ke ghibah. Sudah tradisi barangkali.

Ketika diam, memang menjadi pilihan bijak saat kita sendiri tak dapat menakar kata-kata yang terlontar dari mulut.

Ah, perempuan.. tak marem jika kebiasaan berkomentar tidak melayang begitu saja. Sepet jika tak mengoreksi orang lain. Sampai-sampai adab tak lagi jadi patokan apalagi filter bagi lisan yang berkata. Seringnya, ucapan satu ummahat ke ummahat lain terkesan lembut tetapi menusuk telak ke ulu hati.

Siapapun yang terlahir sebagai perempuan, tampak cantik dan dipuji cantik adalah fitrah. Tetapi tak semua makhluk bernama hawa Allah ciptakan rata soal kadar kecantikannya. Ada yang terlahir cantik dari sananya, ada yang cantik karena dananya, ada pula yang biasa-biasa saja karena memang berusaha qana'ah tanpa banyak memaksakan keadaan yang ada.


Cantik di mata setiap orang itu relatif. Cantik menurut standart kita belum tentu sesuai dengan cantik menurut standart orang lain. Tetapi yang terpenting adalah menjadi diri sendiri dengan segenap rasa syukur pada apa yang Allah beri, tanpa perlu bersusah payah merubah ciptaan Allah.

Bukan berarti kita dilarang berhias dan mempercantik diri, tetapi suguhkan itu hanya teruntuk suami. Tak perlu berlomba-lomba di luar sana demi terlihat wah. Cukup Allah yang menilai kecantikan hakiki yang tersemat dalam dada. Cukup suami yang tahu betul seperti apa wajah dan tampilan cantik diri, dengan atau tanpa polesan.

Jangan karena ikut-ikutan trend kecantikan hingga tak sadar melanggar syariat. Dari Abdullah bin Mas'ud, "Rasulullah melaknat perempuan yang menggambar tahi lalat (tato, garis-garis palsu, dan sejenisnya), perempuan yang minta digambari, perempuan yang mencukur serta menipiskan alis mata, dan yang mengikir giginya dengan maksud mengubah ciptaan Allah."

Ketika seorang istri berhias, tak lebih sebab upaya berhias itu untuk memberi kenyamanan dan menyenangkan suami. Menyuguhkan keindahan di mata sang suami disertai niat ibadah.

Sebab kecantikan sejati seorang wanita adalah kecantikan yang tak hanya berpusat pada kulit luarnya saja, melainkan pula ruhiyahnya.

Inner beauty : kecantikan hati yang terpancar keluar sehingga membuat seorang wanita terlihat cantik kendati tak memenuhi kriteria cantik secara fisik. Outer beauty : cantik yang tampak dari luar ditunjang oleh penampilan maupun dandadan. Dan yang kita kejar adalah keseimbangan antara inner beauty maupun outer beauty.

Cantik dari dalam dan luar. Dengan terus meng-upgrade kapasitas ilmu, meningkatkan kualitas ruhiyah. Dengan tetap merawat tubuh dan kecantikan sebagai syukur pada pemberian Allah, juga hadiah teruntuk suami. Lebih cantik lagi jika lisan terjaga dari kebiasaan berkomentar buruk tentang orang lain. Aamiin insyaa Allah.

Jika boleh berkata, "Akan kurawat cantikku, untukmu suamiku." :D


________________________

Magelang, 14 Oktober 2019 .. a remind for myself ..
Copyright :@bianglalahijrah

3 Komentar

  1. Setuju.
    Pailng penting itu adalah menerima keadaan diri sendiri dan bagaimana kita di mata pasangan.
    Dan memang perlu di akui bahwa perempuan perlu meng-upgrade terus dirinya, baik fisik maupun manner-nya.

    Semuanya balik lagi ke diri kita.
    semangat Nyonya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, pertama dipanggil Nyonya :D
      Thanks for blogwalking ya, jangan bosen main ke sini.

      Hapus
  2. betul ya, apalagi aku mah kudu, krn suamiku banyak penggemarnya

    BalasHapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)