Sekumpulan wanita yang bekerja di luar rumah sedang duduk bergerombol di salah satu meja kerja. Si A mulai membicarakan tentang apa saja kesibukannya setelah bekerja. Si B menimpali bahwa dirinya tak kalah sibuk menjadi tulang punggung sekaligus tulang rusuk bagi suaminya. Si C menambah bahwa dirinya lah yang paling memiliki jam terbang lebih, dari bangun tidur sampai ke tidur lagi. Si D dan seterusnya saling sahut menyahut, menasbihkan diri bahwa mereka lah ibu pekerja yang mendedikasikan waktu dan tenaga untuk keseimbangan keluarga.

Di tempat lain. Layaknya posyandu di luar jadwal. Para ibu rumah tangga duduk berbaris sembari menimang bayi dalam gendongan. Ada tangan yang sibuk menepuk-nepuk pantat si anak agar lelap. Beberapa ada yang sedang meneriaki anaknya yang bermain sejauh satu meter darinya. Barangkali takut jika si anak terjatuh atau luka, tatkala emak sedang sibuk merumpi. Dan yang lainnya, duduk memangku anak sembari mematut diri sebagai pendengar yang baik.

Satu persatu ambil giliran angkat suara. Mereka bercerita tentang penatnya rutinitas seorang ibu rumah tangga. Tak berjeda, tak ada kata penat, sehat atau sakit tak boleh alpa barang sejenak. Mereka duduk melingkar membentuk regu akur. Satu sebagai pendengar, satu sebagai pencerita yang menyampaikan kabar paling up to date tentang emak-emak yang kebetulan saat itu tidak ikut melingkar. Yang lain menjadi komentator paling tahu segalanya.

Pada intinya, dua gerombolan di atas adalah para ibu terbaik yang berjuang bagi keluarga masing-masing. Tetapi banyak yang lupa mengapresiasi barangkali. Hingga mereka mencari peluang membuktikan diri, ajang untuk beroleh puji, hingga menilik kekurangan orang lain menjadi solusi. Pada akhirnya, mereka sibuk mencari kekurangan satu sama lain. Tak sadar sama-sama menjadi objek rumpi.

Mereka-mereka ini, sejatinya para ibu yang tengah jenuh. Sebab andai setiap ibu telah merasa berbahagia dengan apa yang ada di dalam rumahnya.. mereka takkan menyibukkan diri untuk sempat memilah menelaah kekurangan para ibu yang lain.

Terlepas setiap ibu, sama-sama ibu pekerja atau hanya ibu rumah tangga biasa. Bukan berarti yang bekerja lantas tak becus di rumah, tidak semua. Bukan berarti yang hanya diam di rumah lantas hanya tinggal 'ngendelke' saja nafkah dari suami, walau itu memang haknya. Jelas sekali bahwa beroleh nafkah dari suami adalah hak semua istri apakah ia memilih tetap bekerja atau mengurus keluarga.

Percayalah, jika setiap ibu merasa cukup dengan apa yang ia punya. Bahagia dengan keluarga yang dimilikinya. Cukup perhatian, apresiasi, dan kasih sayang.. tak perlu ada ibu yang masih keluar rumah hanya untuk membuang waktu membicarakan kekurangan orang lain.

Tak perlu lah menonjolkan diri sebagai yang paling tahu, paling baik, paling ahli, sebab setiap ibu berperan di medan juang yang berbeda. Memiliki predikat yang sama sebagai ibu tak lantas harus serupa pengalaman di lapangan. Perbedaan itu ada bukan untuk dicela. Tak ada yang harus lebih baik dari pada yang lain. Tak perlu pula saling menjatuhkan, diam-diam menusuk dari belakang.

Setiap ibu luar biasa. Setiap ibu berharga. Setiap ibu berjasa.

Lantas, siapa yang bertanggung jawab untuk mengisi kekosongan hati para ibu yang tengah dilanda jenuh ini? Tentu saja peran suami dan keluarga dekatnya menjadi penentu paling penting. Ia, si ibu, berjuang untuk apa yang diperjuangkannya. Sedikit saja ia merasa tak dianggap, tak diapresiasi minimal mendengar ucapan terima kasih atas lelahnya, pun tatkala ibu mulai merasa bahwa tanah yang ditandurinya seolah gersang. Maka tinggal menunggu waktu, pada akhirnya ia akan meledak. Yang ditakutkan jika ledakan itu menjadi sebuah cara yang salah. Tidak pada tempat yang tepat dan keliru dalam waktu.

Moms, menjadi ibu sungguh dedikasi seumur hidup. Kita harus memberi lebih tanpa bisa mengharap lebih. Sekalipun balasan dari mereka yang dibersamai setiap hari. Karenanya, membangun prasangka positif dari dalam diri harus senantiasa dipupuk. Sebab orang lain tak selalu bisa bertanggung jawab atas kebahagiaan dalam diri, kita sendirilah yang punya kendali.

Juga tak perlu menilik lebih isi piring orang lain. Fokus saja pada apa yang dipunya. Rumput di halamanmu itu indah, tugasmu untuk menemukan seni yang tepat bagaimana cara agar membuatnya lebih indah. Tak kalah indah dengan rumput di halaman tetangga sebelah.

Jadi jangan lupa cara bersyukur. Kendati acap kali lelahmu tak beroleh apresiasi, walau sekedar puji dari suami. Tetapi semoga malaikat di pundak kananmu tak jeda mencatatkan kebaikan juga pahala demi pahala yang memperberat timbanganmu kelak.

Menjadi seorang ibu, seorang istri, memang melelahkan. Dengan dua tangan, satu raga, banyak nian peran beserta pekerjaan yang harus dilakoni di waktu bersamaan. Jenuh yang tak beroleh peluang untuk lapang dapat meranggas keikhlasan hati sewaktu-waktu. Dan saat itu lah para ibu keluar, duduk melingkar, untuk mulai saling menunjukkan kemampuan diri. Diam-diam hanya ingin beroleh pengakuan bahwa dirinya lah yang paling bisa, paling mumpuni. Tanpa sadar menjatuhkan ibu lain demi terlihat lebih baik.

Tetapi untuk apa? Percuma jika ruang di hatimu tetap kosong.

Jadi, semoga syukur dan keikhlasan di dalam dada tetap jembar. Pun dirimu wahai suami, membahagiakan istri tak melulu dengan rupa perhiasan mahal yang kau beri. Jangan lupa apresiasi lelah belahan jiwamu itu. Ia barangkali tengah tertidur pulas di sampingmu, hari ini kau tak sempat menanyakan bagaimana hari yang ia lalui ketika dirimu sedang berada di luar sana. Kau lupa bertanya sepenat apa ia? Apa yang perlu dibantu? Bahkan lupa sekali saja berterima kasih untuk menjaga rumah tetap terawat. Anak-anak yang sehat, tercukupi makannya. Segala macam tetek bengek pekerjaan rumah tangga yang kadang tak cukup waktu hanya 24 jam sehari. Namun tetap harus dihandel dengan dua tangan.

Semoga setiap ibu yang merasa lelah, Allah ganjar kebaikan dan pahala berlipat ganda. Beserta kebahagiaan tak berjeda, pada akhirnya. Aamiin insyaa Allah.


Kadang, tak sadar berlomba-lomba ujub. Berlomba-lomba untuk menarik pujian manusia. Berlomba-lomba dalam terlihat hebat. Manusia itu lemah, hatinya mudah sekali berbolak-balik. Condong pada keinginan semu. Condong pada pujian. Condong untuk terlihat lebih di mata manusia lain. Betapa hanya penilaian Allah yang mutlak. Tak absurd. Tak keliru. Tahu betul menakar seberapa jauh kualitas diri. Allah hanya menilai takwamu, apapun warna baju yang dikenakan. Sebagus apapun wajah yang dipasang, Allah lebih dari tahu #selfreminder #noteforme
________________________________

#Day 6
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
_________________________________

Copyright : @bianglalahijrah
Magelang, 11 Mei 2019
[Image Source : Google Pinterest]

6 Komentar

  1. memang jadi ibu itu harus tangguh harus setrong ya mbak dalam situasi dan kondisi apapun nggak mudah mengeluh apalagi nangis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, mbak. Sebab itu, peran ibu umpama jihad kita dalam keluarga. Pintu untuk meraih ridho-Nya pula. Aamiin insyaa Allah. Terima kasih sudah meninggalkan jejak, mbak :)

      Hapus
  2. Hikz... Saya baper bacanya mba, mau berkarir atau tetap di rumah, itu kan pilihan. Tapi yang jadi irt doang kadang dipandang sebelah mata. Padahal niatnya pengen ngejaga anak sebaik mungkin. Begitu juga dengan ibu yang bekerja, dikatain GA peduli anak, padahal apalah orang luar tau tentang keadaan keduanya. Baper nian aku bacanya. Para suami musti baca juga nih. Biar bisa mengisi kekosongan hati istrinya. Terimakasih tulisan bermaknanya mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masyaa Allah, alhamdulillah. Terima kasih ya :)
      Semoga apapun yang orang lain pikirkan tentang kita, situasi seperti apa yang tengah dihadapi saat ini, Allah beri balasan ridho untuk para ibu luar biasa yang berdedikasi untuk keluarga tercinta. Aamiin.

      Hapus
  3. Aku mengerti betul bagaimana pentingnya dihargai sebagai seorang ratu dikeluarga. Aku juga merasakan, ketika hati mamakku bahagia aku tertular bahagia. Dan begitu sebaliknya. Maka dari itu, menjaganya tetap dengan hati yang baik menjadi PR ku tiap hari .Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat, sebab ibu adalah jantung bagi sebuah rumah beserta keluarga. Jika ia bahagia, maka bahagia pula seisi rumah. Jika ibu bersedih, maka muramlah seisi rumah. Semoga tak pernah lelah untuk menyabitkan senyum pada wajah sang ibu ya, aamiin :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)