25 = Mendewasa
Melihat lebih untuk memahami banyak hal yang tak cukup dicerna hanya lewat dua telinga yang mendengar. Betapa banyak kebohongan yang membelakangi kebenaran tatkala hanya mengandalkan salah satunya. Maka keduanya harus bekerja sama tanpa meninggalkan peran satu sama lain. Setelahnya, hati mengambil alih untuk menjadi filter. Sebab tak ada kepalsuan yang bisa menipu isi hati, tiap kebenaran berada di sana. Sadar atau tidak, diterima atau tidak, ia tetap ada di sana. Menunggu egomu menyingkir barang sejenak dan mau menerima kebenaran yang datang dalam rupa apa saja.
Nyaris di usia 25 tahun. Semua serupa refleksi yang memantulkan banyak hal dalam lakon kehidupan yang dijalani. Bermula dari segumpal darah, Allah tiupkan ruh hingga kemudian terlahir. Saat itu katanya takdir manusia mulai berjalan, kendati tertulis jauh sebelum itu pada lauhul mahfudz-Nya.
Semakin ke sini banyak hal yang berubah. Pelan-pelan berjalan sendiri dari zona lamanya. Entah diri yang mendewasa atau pengalaman itu sendiri lah yang membuat diri beranjak dewasa. Aku masih bertanya-tanya, dewasa itu seperti apa? Ketika diri masih bersikap kekanak-kanakan. Ketika perasaan pun jauh lebih mendominasi dari pada logika, barangkali sebab aku terlahir sebagai perempuan. Logika bekerja setelah fungsi perasaan menimbulkan efek sesal, atau pemikiran baru tersendiri.
Agustus dan 25 tahun. Aku setidaknya masih beruntung, Allah izinkan untuk menginjakkan kaki ke tempat-tempat yang sejauh ini bisa disambangi, walau belum sejauh apa yang ada pada angan. Setidaknya, mimpi belasan tahun lalu, impian si bocah ingusan kala itu mulai membiaskan pelangi di atas kepalanya sendiri.
Aku tetap beruntung untuk bertemu kemudian berpisah. Untuk beroleh lalu melepas. Untuk menerima setelahnya memberikan kembali. Untuk apapun yang ternggenggam tangan maupun yang harus direlakan begitu saja. Semua sejatinya hanya lakon sementara. Setidaknya, aku tak menjadi penonton bagi kisah orang lain. Tetapi Allah mengizinkanku menjadi pelakon untuk skenario yang telah ditulis-Nya untuk kisahku sendiri. Kendati tentu saja, berbeda jauh dari planning yang kutulis rapi sejak awal.
Menjelang 25 tahun, banyak rasa dan pemikiran yang berubah-ubah. Tetapi impian dan harapan sama masih menggema hingga kini. Karenanya aku hanya ingin terus menulis lebih baik. Ada banyak tempat lain pula yang ingin kusambangi setelahnya. Tentu saja sebagai muslimah Allah, sebagai diri sendiri yang mencari jawaban untuk banyak pertanyaan di dalam diri. Untuk menemukan apa yang ingin dicari, mengetahui apa yang belum diketahui, pun menyaksikan langsung kebesaran-Nya di belahan bumi yang lain.
Negara-negara bersalju itu masih berada dalam list impian. Jadi yakin saja, bahwa tak ada yang tak mungkin bagi-Nya. Cepat atau lambat, semua doa dan pinta yang pernah melangit akan kembali lagi ke pangkuan. Hari di mana kaki berpijak di tempat-tempat yang Allah jadikan mungkin.
Katanya, usia 25 tahun menjadi gerbang sesungguhnya tatkala seseorang sungguh-sungguh memasuki tahap usia dewasa yang seharusnya juga mendewasakan diri. Namun dewasa tak serta merta datang begitu saja. Ia tumbuh dari pengalaman, usaha, jerih payah, dan pembelajaran terus menerus. Kelapangan dada untuk tertempa lewat berbagai bentuk permasalahan hidup yang ada.
Dewasa itu tak sekedar sikap yang tahu betul bagaimana menempatkan diri di berbagai situasi pun lihai membaca keadaan. Dewasa tak sekedar cakap pengetahuan tetapi mampu mengaplikasikan. Dewasa tak hanya sekedar tahu tapi enggan memberi ilmu. Dewasa adalah definisi inti dari jutaan definisi yang mampu terangkum. Dewasa adalah saat di mana seseorang tak lagi bimbang untuk hal remeh temeh. Atau tentang perasaan cengeng yang terlalu menolak kenyataan. Entahlah.
Yang kutahu, memasuki usia 25 tahun adalah tahap di mana aku secara lahir batin berjuang keras dengan hukum alam yang berlaku. Mau tak mau, harus ada hal yang dilepas ke belakang sana. Dan komitmen beserta keberanian untuk menetapkan arah memutuskan langkah. Karenanya pula, akhir-akhir ini aku begitu melankolis. Mudah sekali menangis. Peka betul dengan apapun gesekan yang terjadi dengan orang-orang sekitar. Agaknya diri sendiri tengah mempersiapkan masa peralihan itu.
Agustus, 7 1994. Kata kedua orangtuaku, adalah masa di mana anak perempuan mereka terlahir dan menjadi satu-satunya putri di antara empat putra yang terlahir setelahnya. Satu-satunya anak perempuan yang memiliki karakter berbeda di tengah keluarga. Satu-satunya pula yang melangkahkan kaki ke luar dari tanah kelahiran, seorang diri, berbekal mimpi dan kekuatan doa untuk memperjuangkan jalannya sendiri walau dihujani caci maki dari kanan dan kiri.
Ah, terima kasih. Terima kasih sebab masa menghantarku untuk sampai pada tahap ini, tahap peralihan yang memerlukan perjuangan lahir dan batin tentang penyesuaian. Menentukan kembali jalan mana yang harus diambil, pun ketika orientasi berubah, harapan di depan langkah juga berganti haluan. Sosok-sosok di masa depan seperti slide hilang timbul, tetapi tetap satu dalam untaian asa.
Pada akhirnya, aku tetap harus menerima bahwa usia 25 tahun adalah gerbang kedewasaan yang menuntutmu menjadi dewasa entah siap atau tidak. Maka, mari mendewasa. Mari lebih dewasa. Ketimbang menjadi orang dewasa yang kekanak-kanakan. Selamat menyambut dewasa, duhai diri. Sebentar lagi untuk peringatan 1/4 abad dalam hidupmu. Berbahagialah, kian sukses, tergapai seluruh mimpi yang tertulis maupun melangit selama ini. Aamiin yaa mujibassailin. Barakallah.
____________________________________
#Day 16
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
_____________________________________
copyright : @bianglalahijrah
Magelang, 21 Mei 2019
6 Komentar
Saya pun menyesal di usia 25 tahun hanya disibukkan dengan kerja dan kerja. pengen travelling ambil cuti kemanalah tapi gak boleh harus sama temen nah ini susah. akhirnya menyesal udah di usia 27 tahun udah nikah baru bisa jalan2 meski diikutin anak2
BalasHapusHehe, justru bisa have fun bareng keluarga ya mbak :)
Hapussaya juga traveller nekat sama anak dan suami, ke mana pun ya sama mereka. Semangat.
Semakin tua usia, semakin sadar banyak waktu terbuang percuma untuk kesenangan semata.
BalasHapusUsia bertambah sekaligus berkurang, sejatinya rumus hidup manusia di dunia. Semoga apapun yang hendak dicapai, Allah dan akhirat tetap menjadi orientasi utama. Aamiin insyaa Allah. Terima kasih ya :)
HapusVisit blog KK..
BalasHapusihsaniaqiqah1.blogspot.com
Hi, thanks kak Ihsani.. ^^
HapusAssalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)