Aku berada pada suatu keadaan yang dipenuhi orang-orang dengan serba-serbi humor. Kadang mau tak mau aku harus ikut membaur. Ikut tertawa atau sekedar mengimbuhi. Kadang-kadang ikut melontarkan apa yang mungkin terasa lucu. Tetapi tetap saja terasa aneh. Tertawa hanya untuk lelucon yang sengaja dibuat-buat? Atau hanya agar seseorang tertawa atau ditertawakan?

Beberapa ada yang pernah berujar dengan nada sindiran, bahkan ada pula yang terus terang berkata, "...Kalau aku orangnya tuh seriusan. Kalau aku orangnya jarang bercanda. Kalau aku orangnya begini dan begitu.."

Tetapi tak masalah. Kuanggap ucapan mereka sebagai masukan.

Walau sering kali aku merasa bingung. Apa harus tertawa saat mereka tertawa? Apa harus merasa lucu pada lelucon yang mereka anggap lucu? Apa harus ikut mengeluarkan lelucu seperti hal-nya stand up comedy?

Sebenarnya.. aku bisa saja melucu. Sebenarnya aku bisa tertawa lepas sebanyak yang kumau. Sebenarnya aku bisa diajak guyon. Dan sebenarnya aku bisa mencair seperti orang lain.

Hanya terkadang aku menimbang-nimbang lagi di dalam diri. Apa semua itu ada manfaatnya bagiku? Apa ada manfaatnya bagi orang lain? Apa seperti itu sudah baik, atau hanya agar orang lain bisa menerimamu? Menerima sosok yang berbeda dari dirimu yang sebenarnya, karena kau tanpa sadar terpaksa harus berbaur untuk bisa dinilai sama.

Seringnya, aku merasa takut jika guyonan itu akan menyakiti orang lain.

Ketika aku sendiri juga sering merasakan hal itu, saat beberapa orang ada yang terlalu ringan melontarkan guyonan dan tanpa mereka sadari telah menyakiti orang lain. Mereka tak sadar telah menyinggung perasaan orang lain.

Tetapi anggap saja [aku] hanya semacam gambaran. Bagaimana jika itu orang lain? Orang yang mungkin diam-diam hanya dapat menahan diri namun sulit sekali melupakan. Meski sebagian hanya menganggap itu sebagai lelucon belaka, selingan penghilang stress katanya. Tetapi siapa yang bisa mengontrol isi hati seseorang yang mungkin merasa sakit atau sedih?

Jadi tak peduli meski mungkin lingkungan tempatmu berkontribusi memang dipenuhi orang-orang dengan kesenangan serupa. Namun menjaga lisan dan perkataan tentu jauh lebih baik.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.”
Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in, “.. Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara ..”
Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.

Karena itu, tak peduli meski ada yang berkata bahwa mereka adalah orang-orang yang easy going, pembawaan santai, suka bercanda, dan semacamnya. Tetapi menjaga perasaan orang lain tetap harus diutamakan, bahkan wajib.

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya..”

Bukan berarti bercanda itu nggak boleh ya. Boleh saja kok, tetapi tetap pada batasnya. Meski orang lain mungkin tak akan merasa tersinggung, tetapi muslim yang baik tentu yang bisa menjaga lisannya dari perkataan sia-sia.

Bagiku, bercanda itu perlu jika memang dibutuhkan. Tetapi jika apa-apa dijadikan bahan bercandaan, coba koreksi lagi, jangan-jangan kita punya mental pembully di dalam diri. Yang senang mengetahui kekurangan orang lain. Yang bahagia jika bisa menertawakan orang lain.

Bicara itu perlu, jika memang diperlukan. Bukan sekedar mampu berucap kata-kata padat tetapi tak berisi. Bagai tong kosong berbunyi nyaring. Sepanjang waktu hanya berbicara tanpa jeda, tapi kata-kata tak memiliki makna.

Apa setiap kata-kata yang mungkin jelek, kata-kata yang tak memiliki arti, ucapan yang tak memberi manfaat, harus selalu dianggap 'hanya guyon' atau 'hanya sekedar bercanda' agar orang lain memaklumi? Padahal tak semua orang memiliki sifat yang sama. Setiap orang berbeda dan tak mungkin dituntut sama. Ada yang bisa menganggap itu hal biasa, ada juga yang tidak.

Rasa-rasanya setiap orang boleh memegang pendirian yang tegak di dalam dirinya. Selama memang tak ada paksaan untuk merubah diri hanya demi berbaur dengan banyak orang. Walau untuk menjadi diri sendiri, kadang kau harus terima dicap aneh. Karena mungkin orang lain merasa kau tak sama dengan mereka.

Tetapi bertahan pada sesuatu yang memang kau yakini, lebih baik dari pada sekedar ikut-ikutan pada apa yang tak kau ketahui sama sekali.

As reflections and reminders for self :

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.
Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya dari pada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.
Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Sebuah renungan untuk diri sendiri, semoga tak hanya menjadi catatan semata melainkan pengingat yang terpasung di dalam hati senantiasa. Aamiin Allahumma Aamiin.


~ Sometimes, silence is better than bullshit ~
Magelang, 05 Agustus
Copyright : @bianglalahijrah_

0 Komentar