Lelaki di Serambi Rindu (2)

15 Maret 2014 pukul 14:31
Mungkin ada baiknya seperti ini. Saat aku lagi-lagi hanya dapat memandangi punggungmu yang kian jauh berlalu dari ujung penglihatanku. Kemarin, aku dapat menatap senyummu sekilas. Senyum yang terus membekas hingga kini. Aku tak berharap banyak. Menikmati senyummu dalam bayangan yang tak dapat kurengkuh adalah hal bodoh yang membuatku bahagia.

Dalam diam aku ingin tahu sebaik apa kabarmu hari ini, yang terus menjelma abu-abu saat aku tak lagi dapat menemukan pelangi yang membatasi bias tepian kau dan aku. Kau tahu? Kemarin malam pun kau hadir di mimpiku dalam rupa yang tak dapat kueja. Entah bahagia apa yang tersisa, saat bangunku tak menemukan sosokmu. Kegilaan ini terus mengunciku dalam kebodohan dan cinta yang bisu. Kau selalu saja seperti angin. Memelukmu adalah hal mustahil yang ada di daftar keinginanku. Hanya hampa hingga kudapati kau kian jauh bersama harapku yang memupus. 

Ibrah Berharga

15 Maret 2014 pukul 14:09
Kali ini bersama desau angin yang mengusik imajiku untuk menuangkan kata. Tak ada yang istimewa di sekitarku, kecuali beberapa rutinitas harian pokok yang telah tuntas. Rasa ngantuk menyergap mataku segera setelah tubuh seharian diforsir untuk terus bekerja. Semoga lelah ini menjadi BCA untukku. Bank Cicilan Akhirat.

Beberapa kali daun yang jatuh di hadapanku telah mengering. Menari bersama angin, meliuk sesaat, lalu jatuh di atas rerumputan itu. Ah, rinai hujan telah turun kembali. Dan kali ini pula, ada sketsa-sketsa lalu yang kembali hadir memenuhi ruas-ruas pikiranku. Betapa masa lalu memang kerap menjadi ibrah terbaik, saat diri telah tiba di gerbang keberhasilan. Satu langkah lagi. Kan selalu ada langkah-langkah baru saat langkah lama terlampaui dalam jejak yang terkadang tak dapat dihapus. Hanya pembelajaran dan kemauanlah yang dapat merubah kesulitan menjadi peluang. 

Kita; sama tapi tak serupa.

22 Maret 2014 pukul 21:16

Malam ini tak ada kesan istimewa ala remaja yang dimabuk cinta. Kita sama-sama menyibukkan diri kendati lelah siang hari belum juga sirna karena padatnya kewajiban yang menjadi rutinitas. Kau dengan ide dan desain-desainmu, sedang aku meracik kata dalam pikiranku. Mengubah semua rasa dalam bentuk aksara yang kan terbaca. Sesekali aku melirik buku yang belum tuntas kubaca begitu menggodaku untuk segera kutuntaskan, sebab barangkali ia akan merajuk, atau akulah yang tak dapat tidur saat mengeja kata di tubuhnya.

Kita diam dalam kecamuk pikiran masing-masing. Sesekali mencuri pandang dengan senyum menguatkan. Ya, kita sama-sama berjuang untuk menjemput impian masing-masing dengan tetap menguatkan. Kita sama tapi tak pernah serupa. Namun aku tahu, cinta yang menyatukan kita. Harapan dan impian-impian kita yang membuat segalanya terasa berbeda namun kian istimewa. Kita sama-sama berjalan, beriring, demi impian kita.. sama tapi tak serupa.

Cerita Sore itu...

20 Maret 2014 pukul 17:16
Kemarin anak-anak kembali berkumpul, duduk rapi di hadapanku untuk mendengar kisahku mengenai proses hingga aku bisa seperti saat ini. Alasan mengapa aku lebih memilih untuk menjadi seorang penulis yang bertolak belakang dari mimpi-mimpi besarku sebelumnya.

"Kalian tahu cita-cita pertama Mbak Putri sewaktu kecil?"
Anak-anak saling pandang lalu geleng kepala.
"Mbak Putri mau jadi artis!"
Dahi anak-anak mengkerut. Aku tersenyum menatap mereka.

"Iya, Mbak mau jadi artis. Setiap kali berdiri di hadapan cermin, tak jarang Mbak berlagak menjadi seorang aktris yang memerankan perannya dengan sangat lihai, atau menyanyi dengan sisir yang Mbak Putri jadikan sebagai mic. Bahkan Mbak sering diundang di perayaan ulang tahun teman-teman untuk nyanyi sambil joget bersama dua teman Mbak yang lain."

Anak-anak mulai riuh. Aku melanjutkan kembali ceritaku

"Lalu beberapa tahun kemudian saat duduk di kelas 4 SD, karena keseringan dipuji kalau suara Mbak Putri bagus, tiba-tiba Mbak punya cita-cita baru untuk jadi seorang penyanyi, karena Mbak Putri memang suka nyanyi. Bahkan Mbak Putri paling jago nyanyiin adik-adik Mbak biar cepat tidur di ayunan."

Anak-anak tertawa geli.
"Terus, Mbak?"

"Terus... Ternyata mimpi untuk jadi seorang penyanyi pun terlalu muluk. Setiap hari Mbak hanya bisa memandangi peta Ibu kota yang ada di pulau Jawa, hanya untuk berharap bisa ke sana dan meraih impian ini. Namun perlahan Mbak lupa pada cita-cita ini, terlebih saat insiden tak mengenakkan menimpa keluarga Mbak Putri. Waktu itu Mbak sangat sedih, saat tahu kalau orangtua Mbak sedang bermasalah. Simpang siur kabar jelek yang tak mengenakkan sampai di telinga, Mbak. Dari sinilah awal semua kisah yang sebenarnya bermula. Karena terlalu sering dicibir oleh orang-orang dan teman-teman yang ada di sekolah, Mbak jadi murung dan minder bergaul. Tapi Mbak masih berpegang pada satu keyakinan, walau bagaimanapun kesedihan mendera, Mbak tak boleh menjerumuskan diri ke hal yang tak baik. Akhirnya Mbak lari ke buku, Mbak berjanji apapun yang terjadi Mbak akan tetap berteman dengan buku dan menjadi seorang kutu buku. Ruang yang paling Mbak Putri senangi mulai saat itu adalah perpustakaan daerah dan perpustakaan yang ada di sekolah, walau Mbak Putri sudah jadi anggota tetap perpustakaan daerah sejak kelas 3 SD. Hemm, kejadian ini tepatnya sewaktu Mbak duduk di bangku kelas satu Madrasah Tsanawiyah."

"Beberapa teman pernah ada yang berterus terang bahwa mereka merasa kehilangan sosok Mbak Putri yang periang dan bawel. Mbak jadi lebih sering diam, ke mana ada Mbak di situ ada buku, dan tak jarang menyepi dari keramaian. Lambat laun Mbak benar-benar jatuh cinta dengan dunia membaca. Mbak yang sejak SD memang sering menulis puisi, akhirnya mencoba untuk menggali bakat menulis tersebut dengan kembali menulis. Kadang Mbak Putri nulis atas pesanan teman-teman, rata-rata tentang cinta, maklum remaja puber. Lalu beralih ke naskah drama kemudian cerpen. Karya Mbak juga sering terpajang di mading sekolah walau ada saja yang jahil, karena karya itu takkan bertahan lama. Esoknya cuma tinggal bekasnya saja, kertasnya tak tahu ke mana."

Anak-anak tertawa. Saat aku ingin melanjutkan ceritaku, ada suara motor yang berhenti di depan kios, suami baru pulang kerja. Aku menyudahi cerita hari itu dengan berjanji akan melanjutkan kembali cerita hari itu di waktu lain. Mereka pulang dengan isi pikiran yang tak dapat kutebak. Namun ada bias rona bahagia yang entah sebab apa, tiba-tiba aku mendengar salah satu dari mereka nyeletuk, "Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi..."

Subhanallah. Aku tersenyum dan terharu dalam hati mendengar keinginannya. Semoga tercapai ya adik-adikku. :')

Copyright@Bianglala_Hijrah. Magelang, 20 Maret 2014.
Untuk tahu cerita utuh di atas teman-teman bisa membeli buku keduaku.

0 Komentar