Musim Semi di Sintanjin
Musim
Semi di Sintanjin
Oleh : Putri An-Nissa Nailathul
Izzah
Musim semi pun tiba, setelah menunggu
selama empat bulan menahan dinginnya udara yang sampai minus dua puluh derajat,
akhirnya pada minggu kedua di bulan April, musim semi di Korea Selatan pun
dimulai. Banyak hal menarik di musim semi ini, salah satu yang paling menarik
adalah mekarnya bunga Cherry atau yang dikenal sebagai bunga Sakura di Jepang.
Cuaca di kota Daejeon yang terletak di tengah-tengah Korea sangat bersahabat.
Langit biru dan udara sudah tidak terlalu dingin. Hampir semua taman dan juga
gunung mulai dipadati oleh masyarakat yang ingin menikmati indahnya musim semi.
Dua tempat yang selalu padat dikunjungi adalah Sintanjin dan Danau Daejeon,
hanya membutuhkan waktu perjalanan selama dua puluh menit dari pusat kota untuk
tiba di tempat ini.
Sebenarnya
ibu menyuruhku untuk pulang lebih awal hari ini, tetapi aku memutuskan untuk
mendaratkan kaki di Sintanjin. Sesekali aku melirik arloji yang ada di
pergelangan tangan kiriku, orang yang memintaku datang ke tempat ini belum juga
datang. Min Hoo selalu seperti itu, seharusnya ia bisa lebih awal dari waktu
yang ia janjikan.
Aku
baru saja ingin duduk di atas rumput di bawah pohon Cherry, Min Hoo datang dan
mengagetkanku dari belakang.
“Maaf
aku terlambat.” Ucapnya dengan nafas yang tidak teratur.
“Kau
dari mana saja? Aku menunggumu sejak tadi.”
“Hye
Sun, aku harus mengantar barang pesanan pelanggan saat meminta izin pada
pemilik toko untuk pulang lebih awal hari ini.”
“Hei,
matamu ada lingkaran hitamnya? Kau kurang tidur ya?”
“Hmm,
iya. Beberapa hari ini aku lembur mengerjakan tugas kuliahku. Aku tidak punya
waktu lain untuk belajar dan mengerjakan tugasku kecuali malam hari.”
“Jaga
kesehatanmu, kalau kau sakit aku juga yang khawatir.”
“Apa?
Kau khawatir?” Min Hoo tersenyum riang di hadapan Hye Sun.
“Jangan
senang dulu. Aku hanya peduli karena kau temanku.” Mendengar ucapan Hye Sun,
Min Hoo menunduk dengan lemah di sampingnya.
“Aku
sudah di sini, apa yang ingin kau bicarakan?” Hye Sun menatap wajah Min Hoo.
Tatapan mereka beradu untuk beberapa saat, Hye Sun jadi salah tingkah saat
menyadari tatapan mereka bertemu.
“Eh,
Hye Sun. Apa kau tidak ingin aku temani jalan-jalan dulu? Pemandangannya indah
sekali. Coba lihat orang-orang yang ada di sana, mereka begitu bahagia untuk
mengabadikan moment musim semi tahun ini.”
“Sudah,
langsung saja. Aku hanya minta izin sebentar untuk pulang terlambat hari ini.
Ibu dan keluarga besarku sedang menunggu di rumah.” Ucap Hye Sun tetap dengan
sikap acuh tak acuhnya.
“Sampai
kapan kau akan bersikap dingin padaku?”
“Aku
tidak pernah bersikap dingin.” Jawab Hye Sun singkat.
“Hye
Sun, percuma saja kau menanti hal yang tidak akan pernah lagi kembali…”
“Hentikan!
Jangan ungkit itu lagi. Kau tidak pernah tahu apa yang aku rasakan. Kau tidak
pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan.” Hye Sun berdiri dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Hye
Sun, aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu.” Min Hoo berdiri
memperhatikan langkah Hye Sun yang mulai menjauh. Tiba-tiba Min Hoo berteriak
yang membuat ia dan Hye Sun menjadi bahan tontonan orang-orang sekitar.
“Aku
tahu kau merasa kehilangan. Tetapi sampai kapan? Sampai kapan Hye Sun? Mengapa
kau masih saja menanti cinta yang sosoknya tidak akan pernah lagi hadir di
hidupmu. Kau harus tahu, aku… aku mencintaimu Hye Sun!!” Min Hoo berteriak
lantang dan berhasil membuat langkah kaki Hye Sun terhenti.
Untuk
beberapa saat Hye Sun memaku di tempatnya dengan airmata juga pikiran yang
berkecamuk. Kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya tanpa menoleh ke
belakang. Min Hoo tampak putus asa dengan sikap Hye Sun yang tetap dingin
terhadapnya.
“Hye
Sun, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tetapi aku juga tidak ingin
melihat kau berlama-lama tenggelam dalam kesedihanmu. Mengapa harus dia? Aku
yang jelas-jelas tulus mencintaimu selama ini. Mengapa bukan aku? Hye Sun…”
Keluh Min Hoo dan berlalu pergi.
***
Musim
semi di tahun sebelumnya…
Hye
Sun tertunduk lesu saat mendapat kabar bahwa Kim Hyun mengalami kecelakaan
dalam perjalanan pulang dari rumahnya. Rasanya baru tadi ia bersama laki-laki
yang baru menyatakan cintanya. Laki-laki yang memang telah ia cintai selama
satu tahun terakhir. Hye Sun menangis dalam diam sambil mendekap selulernya.
Tidak
ada yang tahu pasti, mengapa kecelakaan itu bisa terjadi. Hye Sun menangis
sejadi-jadinya saat tiba di rumah sakit. Rumah terakhir yang mengantar
kekasihnya untuk pergi ke tempat yang tidak akan pernah lagi memberikan kata
‘mungkin’ atau ‘iya’ untuk kembali.
Musim
semi yang sangat membahagiakan untuk Hye Sun, sekaligus musim yang sangat
menyakitkan baginya.
***
Malamnya…
“Hye
Sun! Hye Sun! Ada telepon untukmu!!” Teriak seorang wanita dari depan pintu
kamar Hye Sun.
“Dari
siapa?”
“Dari
Min Hoo. Dia ingin berbicara denganmu, katanya sangat penting.”
“Bilang
saja aku sedang tidak ingin diganggu.”
“Benar?
Kau tidak ingin berbicara dengannya?”
“Bu, aku sedang ingin sendiri.” Ucap Hye Sun.
“Ya
sudah.”
Ibunya
kembali turun ke lantai bawah dan memberi tahu Min Hoo, bahwa Hye Sun sedang
tidak ingin diganggu.
Di
tempat lain, Min Hoo menghempas gagang telepon rumahnya dan langsung berlari
keluar rumah menyalakan mesin motornya dan pergi. *Bersambung…
2 Komentar
waaah mbaknya juga suka nulis korean fanfiction yah :) Di lanjut dong mbak ceritanya
BalasHapusHehehe, ini tulisan pertama saya dalam genre korfanfict loh. Cuma coba-coba kok. Oke, kapan-kapan saya lanjut. :)
HapusAssalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)