Dia bisa memiliki ragamu seperti laut yang senantiasa berlabuh di bibir pantai. Menyapamu kapan ia mau, tetapi tidak dengan hatimu. Kau bisa mengetahui rasa ini lewat hatimu meski ragaku tidak dapat menjagamu. Rasakan seluruh dialog alam yang ada di sekitarmu. Aku ada. Aku ada di antara desiran angin yang berhembus lambat menerpa wajahmu. Aku ada di antara kegelapan malam yang menjaga lelapmu. Aku senantiasa ada di jejak-jejak embun pagi yang menyambut senyummu. Hingga pada satu titik kau berhenti bertanya, mengapa bukan aku yang menjagamu? Kini kau jelas tahu. Aku senantiasa menjagamu. Lirih aku dengar kata itu terucap dari ranum bibirmu. "David..."

Ya, aku menjawab meski kau tidak mendengarnya. Aku di sini. Di dekatmu, di sampingmu. Kau tersenyum dalam dengan wajah menunduk, angin sesekali masih mempermainkan anak rambutmu yang menari gemulai bersamanya. Tersenyumlah, setelah tujuh tahun dari hari pertama kau mencatat tanggal kepergianku. Senyum itu baru dapat aku nikmati kembali. Jangan pernah bertanya lagi. Karena kau jelas tahu jawabannya. Aku mencintaimu seperti angin, malam, embun, pasir, laut, pantai, semuanya. Mereka yang terkadang tidak kau sadari begitu setia menyapa hadirmu dan menjadikanmu ada di antara setiap kegiatan mereka. Mereka yang selalu menjadi pondasi utuh sebagai hamba hidupmu. Menggantikan hadirku sebagai sosok pelipur di sisimu.

Tersenyumlah... Sudah saatnya aku pergi ke tempatku seharusnya. Cinta ini akan selalu ada untukmu, biarkan alam yang senantiasa menjadi perantara baginya. Bahwa cintaku tidak akan pernah punah untukmu, meski tanah memusnahkan jasadku. Selamat tinggal, Bella. 
 
Magelang, 13 Desember 2012. Copyright @Putri An-Nissa Nailathul Izzah.

 

0 Komentar