Ia berjalan seiring gelap yang setia mengungkungnya. Kelam. Mencari sisa cahaya dalam bait-bait suci yang terkadang sulit ia eja. Merintih dalam tangis iba penuh sesal dan meratapi malu yang tidak berkesudahan. "Aku lemah, tuntun aku.." teriaknya hampir saja tidak terdengar. Sebab hanya Ia yang mampu mendengarnya.

Berlari mengeja sisa buih harapan yang ada pada sebilah cahaya yang mungkin datang untuk menyapanya. Tidak, ia hanya sekelebat cahaya darinya yang masih memiliki kesucian yang belum terjamahi oleh nista. Lalu? Ke mana lagi ia harus pergi jika tanpa cahaya? Sementara cahaya itu berpendar kian jauh meninggalkannya. Ia pun kembali berteriak meski sesekali dengan nada bisu, yang dapat mendengarnya hanya Ia. Ya, hanya Ia.

"Tolong, bukakan pintu itu. Aku ingin masuk. Biarkan aku tetap masuk. Jangan biarkan aku terkungkung dalam kesunyian dan kegelapan yang tidak pernah melegakan ragaku. Menghimpitku dalam pedih rajam dari penghuni perut bumi." Sama sekali tidak ada jawaban. Hanya suara tangisnya sendiri yang terdengar olehnya. Lama ia tertunduk dalam sepi dan ketakutan. Tanpa cahaya, pengap, hitam pekat, dan terkadang sulit baginya untuk menarik nafas walau hanya satu helaan.

Terdengar teriakan yang sama dari pintu lain yang tidak berbeda ratap dengannya. Namun itu hanya tinggal ratapan. "Jika saja imanmu lebih kuat dari nafsumu, maka pilihlah pintu mana yang kau sukai. Ia terbuka lebar untukmu." Suara yang entah dari mana datangnya. Membuat tangis yang tidak kunjung reda itu, kian jadi dalam ratap tanpa berkesudahan.

03102012, Rabu.

0 Komentar