Saat ini konten-konten terkait mental health awareness sudah banyak beredar ya. Terutama dari akun-akun pegiat mental health enthusiast yang pro menggalakkan issue-issue terkait kesehatan mental. Tak jarang ada ucapan yang tak seharusnya dilontarkan sebagai bahan candaan, datang dari orang-orang yang hanya melabeli diri sebagai penyintas gangguan kejiwaan. Ada pula yang mengaku bahwa dirinya sedang mengalami suatu kondisi gangguan mental, walau sebenarnya ia sendiri belum pernah memeriksakan diri secara langsung di dokter spesialis penyakit jiwa. 

Entah itu kita dengar di dunia nyata atau dunia maya, seolah-olah mengidap gangguan mental adalah istilah yang keren ketika disebut-sebut.

Tak jarang sebagian remaja sampai pada orang dewasa begitu mudah melabeli dirinya dengan suatu diagnosis yang sebenarnya tak bisa hanya berdasarkan self diagnose. Kecuali, ia memang telah memeriksakan diri ke psikolog klinis atau pun psikiater. Lagi pula, kebanyakan penyintas atau orang-orang yang berjuang atas diagnosa yang dimiliki.. justru tak semudah itu untuk 'speak up' ke muka umum. Kebanyakan justru harus melalui fase denial, terpuruk, terpukul, menolak kenyataan yang terjadi pada diri sendiri, benar-benar butuh waktu sampai kemudian ia bisa berdamai atas itu semua.

Kalau menurut dokter Jiemi Ardian lewat postingan akun instagram miliknya, menganggap gangguan jiwa sebagai hal yang keren, unik, istimewa, justru akan menyakiti orang-orang yang sedang struggle dengan kondisi mentalnya. Alih-alih mewakili kondisi apa yang sebenarnya para penyintas alami, justru menggiring stigma pada mereka yang tak sepenuhnya paham, bahwa mental illness bukanlah perkara besar.

Alhasil muncul statement "aku dulu juga pernah depresi, tapi tak berlebihan juga, akhirnya bisa sembuh sendiri kok.."

Padahal yang berbicara demikian tak pernah benar-benar memeriksakan diri ke profesional. Diagnosa yang ia sebut bukan berdasarkan hasil analisa psikiater atau psikolog klinis, melainkan hanya berupa self diagnose. Itu mengapa, "merasa depresi" sangat berbeda dengan benar-benar sedang mengalami "depresi".

Bahayanya, saat ini banyak orang yang mudah sekali melakukan self diagnose hanya berdasarkan apa yang dia rasakan bukan dari hasil pemeriksaan.

Jika seseorang merasa sedih berkepanjangan, dia otomatis menganggap dirinya tengah depresi.

Seseorang yang cemas berlebihan akan banyak hal, langsung melabeli dirinya dengan anxiety.

Seseorang yang mudah sekali mengalami mood swing yang berubah-ubah seketika menganggap dirinya mengidap gangguan bipolar.

Padahal, semua hanya berdasarkan diagnosa diri sendiri, bukan berdasarkan diagnosa tegak yang berasal dari psikiater maupun psikolog klinis. Parahnya lagi, jika statement itu hanya berkiblat dari cocokologi berdasarkan situasi yang dialami dengan apa yang dipelajari lewat informasi google.

Sebentar-bentar, kita jadi sering mendengar keluhan seseorang yang mengaku dirinya tengah mengalami stress. Entah itu dalam maksud serius atau hanya menggambarkan kondisi sementara yang penuh dengan tekanan.

Bisa dikatakan sejak pandemi hadir, tak sedikit orang yang mengalami burnout sampai pada memvonis diri sendiri sudah di tahap depresi.

Dalam kehidupan sehari-hari kita memang sering dihadapkan dengan situasi tertentu yang mendatangkan perasaan tak nyaman, tak jarang keadaan yang berlangsung menjadi tekanan tersendiri yang menyebabkan kita menjadi stress, maupun burnout. Akan tetapi dua hal ini tak bisa dipukul rata, disamakan dengan kondisi depresi yang sebenarnya. Sebab baik stress, burnout dan depresi ternyata memiliki pengertian yang berbeda, terlebih rentang waktu untuk masing-masing gangguan ini.

Aku jelaskan di sini ya.



Apa sih yang dimaksud dengan stress?

Stress adalah persepsi, dan respon kita terhadap tekanan yang sedang dihadapi, atau reaksi kita terhadap situasi yang dirasa berbahaya sehingga membuat kita merasa terancam pada saat itu. Stress pertama kali digunakan istilahnya untuk ilmu fisika. Sedang di bidang ilmu psikologi/kesehatan jiwa, istilah stress digunakan untuk menggambarkan kondisi psikologis atau mental pada seseorang yang menghadapi suatu tekanan, sampai pada titik ambang batas stress itu sendiri. 

Apabila ambang itu telah terlampaui maka akan menimbulkan adanya gejala distrees. Pada normalnya manusia memang memerlukan stress/tekanan tertentu untuk bisa melakukan produktivitas sesuai goal yang dimiliki. Jadi stress itu lebih pada dorongan untuk menyelesaikan target yang telah dibuat.

Bisa dibilang stress terbagi menjadi dua macam, ada yang negatif (distress) ada pula yang positif (eustress). Stress yang positif apabila bersifat membangun, lebih pada sebagai pendorong atau stimulus sehingga meski dalam kondisi tekanan pekerjaan, kita tetap bisa memiliki motivasi untuk menyelesaikan pekerjaan itu tepat pada waktunya. Sedangkan stress yang negatif, apabila kondisi tersebut sudah menghambat kita menjadi lebih produktif, dan aktif.

Misal, jika seorang pelajar menghadapi ujian kendati dia merasakan adanya sebuah tekanan.. tetapi hal itu tidak menghambat dirinya untuk belajar lebih giat, sehingga dapat melalui ujian dengan hasil yang baik.

Penting bagi kita untuk mengetahui sejauh apa batas kemampuan diri terkait stressor tadi supaya tidak menjadi distress. Sebab stress yang buruk dapat mengakibatkan munculnya rasa cemas, khawatir pada hal-hal yang belum terjadi, sampai pada gangguan mental maupun fisik. 


Apa saja tanda-tanda orang yang mengalami stress, karena kebanyakan kita tidak menyadari kondisi stress yang sedang dialami. Diantaranya:

- Seseorang menjadi sulit untuk fokus, dan berkonsentrasi.

- Mengalami sakit kepala, biasanya tak hanya berlangsung satu hari saja.

- Memiliki gangguan tidur atau insomnia, kesulitan untuk tidur di malam hari.

- Menderita gejala fisik (tension type headache) yaitu nyeri pada leher beserta punggung, dikarenakan beban stress yang berlebih.

- Mengalami gangguan psikosomatis.

Terkait apa saja gangguan psikosomatis, penyebab, dan bagaimana mengatasinya.. bisa dilihat pada postingan ini Kondisi Psikologis Menyebabkan Gangguan Psikosomatis.

- Mood swing yang fluktuatif.

- Denyut jantung meningkat, napas memburu, otot mengencang, dan tekanan darahnya naik.

- Persepsi yang dimiliki buruk, merasa pesimis, dan negatif.

- Perubahan pada pola makan (Makan berlebih atau kehilangan nafsu makan)

- Menunda-nunda pekerjaan yang biasa dilakukan, etc.

Parahnya, sebab stress berkepanjangan ternyata berdampak pada kesehatan mental juga loh.

 

Bagaimana cara mengatasi stress (coping with stress)?

- Fokus untuk menyelesaikan masalah. Alih-alih menghindari masalah yang ada.

- Berolahraga, tak perlu meluangkan waktu ke gym. Berjalan kaki di sekitaran rumah selama 30 menit setiap harinya, lari pagi, yoga, atau kardio di rumah.

- Stretching atau perengangan tubuh, untuk melemaskan otot-otot yang tadinya mengencang.

- Latihan pernapasan, bisa dibarengi dengan mendengar meditation sound supaya lebih rileks. Lakukan senyaman mungkin, dengan posisi yang nyaman, dan kondisi yang memungkinkan kita untuk tidak merasa terganggu.

- Konsumsi makanan bergizi. Pada sebagian orang ketika stress menyerang ia akan kehilangan nafsu makannya, padahal makan adalah kebutuhan tubuh yang harus tetap dipenuhi. Dari pada melampiaskan itu pada makanan instant lebih baik makanlah makanan sehat, bergizi, atau real food.

- Ambil jeda untuk memanjakan diri.

Barangkali kita terlalu sibuk pada target yang dikejar, sampai-sampai lupa merawat diri sendiri. Tak ada salahnya break untuk me time, dan lakukan hobby yang disenangi. Berkumpul dengan teman-teman satu frekuensi, atau mengunjungi tempat-tempat yang membuatmu merasa refresh kembali. Bisa juga dengan membaca buku, menonton drakor atau list film favorit, dll.


Jika dibandingkan dengan stress, ada kondisi lain yang juga tak berbeda jauh tetapi levelnya berada pada satu tingkat di atas stress, yaitu burnout.



Apa yang dimaksud dengan burnout?

Fenomena burnout adalah sebuah kondisi kelelahan psikologis akibat stressor yang berlangsung secara terus menerus. Sehingga mengakibatkan tubuh kita mengalami kelelahan emosional maupun fisik. Burnout sendiri berada satu tingkat di atas level stress. Seseorang yang mengalami burnout tidak memiliki motivasi, terkesan sinisme, bahkan pula nyinyir terhadap banyak hal, itu karena ia memiliki pandangan secara negatif pada apa yang ada di sekitarnya. 

Burnout sendiri bukan termasuk pada gangguan mental, tetapi bisa saja berpotensi menjadi gangguan jika dibiarkan berlangsung lama tanpa beroleh penanganan yang tepat. 

Burnout sulit dihilangkan hanya dengan upaya seperti halnya mengatasi kebosanan pada rutinitas yang biasa dikerjakan. Berbeda dengan kondisi stress ringan yang bisa saja membaik dengan mendistraksi pada hal-hal yang disenangi.

Burnout bisa jadi adalah sinyal terkait kondisi kesehatan kita. Sebab apabila burnout berlangsung sangat lama, maka berpengaruh pada kondisi hormon, imunitas tubuh, sampai pada gangguan kardiovaskular.

Ada banyak hal yang bisa menjadi penyebab seseorang mengalami burnout, diantaranya rutinitas yang konstan secara terus menerus untuk jangka waktu lama seperti halnya profesi ibu rumah tangga, pekerja kantoran, dan masih banyak lagi. Tekanan dari pekerjaan atau peran yang sedang dijalani, kejenuhan pada rutinitas yang sama setiap harinya, seringkali membuat profesi ibu rumah tangga begitu erat dengan gangguan kejiwaan. Belum lagi ditambah dengan berbagai ekspektasi masyarakat yang melekat pada diri seorang ibu rumah tangga, seolah menjadi tuntutan tersendiri baginya. 

Tatkala dihadapkan pada kendala dan situasi yang bertolak belakang, seorang ibu bisa saja merasa dirinya tak cukup baik atau pun layak mengemban peran. Di lingkungan pekerjaan, juga berlaku hal demikian. Tekanan dari atasan, beban pekerjaan yang ditumpukan secara tidak adil, persaingan tak sehat yang ada di antara para pegawai, juga bisa menyebabkan seseorang mengalami burnout di tempat kerja.

Seringnya tak hanya karena kelelahan saja, miskomunikasi, tetapi juga faktor kurangnya apresiasi/penghargaan pada diri seseorang atas apa yang telah dikerjakan. Hal ini pula yang seringkali memicu seseorang mudah mengalami burnout.


Apa saja gejala burnout?

- Mudah merasa cemas, merasa insecure, atau mengalami serangan panik.

- Mengabaikan kebersihan diri sendiri

- Mulai menarik diri dari lingkup sekitar, atau enggan bersosialisasi.

- Mudah marah, menyalahkan orang lain, hingga pada konflik keluarga.

- Produktivitas yang kian menurun.

- Keletihan berlebih, baik secara fisik maupun emosional. Sehingga tampak tidak bersemangat.

- Merasa tak lagi memiliki hasrat terkait aktivitas yang menjadi rutinitas sehari-hari.

- Jenuh, bosan, dan hilang minat pada apa yang tadinya disenangi.


Bagaimana cara mengatasi burnout :

- Rutin berkumpul bersama keluarga atau pun sahabat di waktu senggang.

- Meluangkan waktu untuk me time. Kembali pada hal-hal yang diminati, dan telah cukup lama kita tinggalkan. Beri diri kesempatan untuk bereskpresi menjadi seperti apa yang diinginkan, selama masih di jalur positif.

- Berhenti bersikap keras pada diri sendiri. Berusahalah untuk berdamai dengan keadaan, sadari bahwa kita adalah manusia, mustahil mencapai kesempurnaan. Diharapkan dengan menyadari keterbatasan diri sendiri, kita bisa lebih menerima diri dengan segala kelemahan yang dimiliki. Maafkan diri atas hal-hal yang mungkin belum bisa berada di dalam kendali.

- Berolahraga secara teratur. Tak perlu olahraga berat, olahraga ringan selama kontinu itu jauh lebih baik. 

- Streching atau perengangan tubuh, untuk melemaskan otot-otot.

- Latihan pernapasan, bisa dibarengi dengan mendengar meditation sound.

- Konsumsi makanan bergizi (real food).

- Ambil jeda untuk memanjakan diri.

- Selalu lakukan hal-hal yang membuat diri bahagia. Seperti pergi berlibur, melakukan hal-hal yang sangat ingin dikerjakan. Cari dan temukan apa yang membuat diri kita menjadi bahagia, tanpa merasa terbebani, dan tak pula menyulitkan orang lain. 

- Tantang diri untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan pengalaman/kesenangan baru.

 

Perlu diingat burnout bisa saja tanda, bahwa mungkin ada sesuatu yang terjadi pada diri kita. Apabila dibiarkan berlarut untuk jangka waktu yang lama, maka seseorang bisa saja terkena depresi. Depresi sendiri sudah termasuk pada gangguan kesehatan mental tahap serius, atau satu tingkat di atas level burnout tadinya.



Apa yang dimaksud dengan depresi?

Setiap kita tentu sering mendengar kata depresi. Sampai-sampai kondisi kesedihan yang dialami oleh seseorang tak jarang langsung dilabeli dengan depresi itu sendiri. Padahal, depresi adalah gangguan kesehatan mental serius yang mengakibatkan suasana hati seseorang merasa sedih terus menerus, merasa hampa dan kosong, sulit untuk fokus dan berkonsentrasi, kehilangan minat pada hal apapun sekalipun pada apa yang tadinya sangat digemari. Orang yang mengalami depresi juga merasa kehilangan energi untuk memulai aktivitas sehari-sehari. Bawaannya lemas, bukan malas, karena sekalipun dia sangat ingin bergerak tetapi tak ada daya untuk memulai itu.

Belum lagi disusul gejala fisik seperti nyeri di pundak, leher belakang terasa berat, sering sakit kepala, maupun keluhan fisik lain yang sering disebut sebagai gangguan psikosomatis.

Dari segi emosional, seseorang yang depresi seringkali menjadi over sensitif, overthinking, mudah sekali untuk marah, gampang menangis, kemarahan yang meluap-luap, dll.

Orang yang depresi juga mengalami gangguan tidur (insomnia akut) kendati ada pula yang cenderung banyak tidur seakan enggan meninggalkan tempat tidurnya. Hilang nafsu makan, atau terlalu banyak makan. Memiliki perasaan tertekan yang jauh lebih intens dan berat sehingga mempengaruhi kehidupan pribadi seseorang dalam keseharian.

Gejala yang ada mungkin hampir-hampir mirip dengan apa yang dirasakan seseorang ketika baru saja di tahap stress atau mungkin burnout. Akan tetapi untuk dua kasus sebelumnya, lebih pada deskripsi yang dialami oleh seseorang terkait kondisi. Sedang depresi sendiri adalah diagnosis yang hanya bisa diberikan oleh psikiater maupun psikolog klinis berdasarkan analisa maupun penilaian-penilaian tertentu yang telah dilakukan oleh profesional tersebut.

Jadi, seseorang mungkin saja mengalami atau merasakan gejala-gejala stress maupun burnout yang sekilas memang hampir mirip dengan depresi. Akan tetapi seseorang hanya bisa dikatakan benar-benar depresi jika sudah memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog klinis, dan memperoleh diagnosa tegak langsung dari ahli profesional yang didatangi, alih-alih hanya berdasarkan asumsi pribadi.

Nah, jika kamu mengalami gejala stress atau mungkin burnout dalam intensitas yang cukup sering bahkan sudah lebih dari satu bulan, jangan langsung melabeli diri dengan depresi kecuali memang sudah berdasarkan diagnosis dokter psikiatri. Yang harus kamu lakukan adalah mencari pertolongan ke profesional. Apalagi jika kondisi tersebut sudah mulai mengarah pada perilaku destruktif, seperti menyakiti diri sendiri, maupun orang terdekat.

Salah satu penyebab depresi, selain dari masalah biologis, gangguan kimia pada otak, gangguan hormon, faktor keturunan, tetapi juga karena terbiasa memendam emosi negatif yang seharusnya dikeluarkan tetapi dibiarkan mengendap. Istilahnya ngampet, kita menahan emosi-emosi diri. Nah, jika itu sudah teramat sering kita lakukan, bisa saja perasaan kita menjadi overload, karena sudah saking banyaknya keluhan, permasalahan, atau bahkan hal-hal yang sangat ingin kita ungkapkan.

Jadi kebiasaan kognitif ternyata dapat berdampak buruk. Itu karena kita sering berpikir negatif dan pesimistis pada kehidupan yang dijalani. Lama kelamaan, tak hanya kehilangan harapan, tetapi juga tak menyehatkan bagi kondisi mental kita.

Pengalaman hidup yang dialami juga bisa meningkatkan resiko terkena depresi. Mungkin seseorang pernah mengalami kekerasan atau terjerat di hubungan yang toxic untuk jangka waktu lama. Diskriminasi dari lingkup yang ditinggali. Mengalami kekerasan seksual, maupun konflik dengan anggota keluarga.

Karena itu, depresi sangat mungkin berangkat dari luka batin yang tak disembuhkan. Ada banyak sekali perasaan marah yang terakumulasi pada gudang jiwa kita. Orang yang depresi juga memiliki pola berpikir yang terdistorsi.

Jadi, depresi adalah diagnosis kesehatan mental yang hanya bisa diberikan oleh dokter psikiatri dari hasil pemeriksaan fisik, tes laboratorium, sampai pada pemeriksaan mental.

Jika bingung harus ke psikolog klinis atau psikiater dulu, selengkapnya bisa baca di sini ya.

Di tahap kamu merasa bahwa gejala yang datang sudah menyebabkan produktivitas menurun, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari, ada keinginan untuk self harm (menyakiti diri sendiri), menurunnya harapan untuk bertahan hidup, dan berlangsung lebih dari dua minggu.. maka itu sudah menjadi alarm agar kamu dapat segera mengunjungi psikiater terdekat.  


Ada tiga jenis depresi yang bisa kita kenali, diantaranya:

1. Depresi mayor, atau depresi yang sudah berada di tahap parah. Selain dipicu oleh berbagai masalah sehari-hari yang terus menumpuk, tetapi juga oleh pengalaman traumatis yang pernah dialami oleh si penderitanya.

2. Dysthymia, digolongkan pada depresi ringan. Kendati ciri-ciri yang ada hampir sama dengan depresi mayor, biasanya penderita depresi jenis ini sering tidak sadar kalau dirinya tengah depresi karena mereka sendiri masih bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik.

3. Bipolar disorder atau manik-depresif, orang yang menderita depresi jenis ini memiliki mood yang seringkali berubah-ubah. Adakalanya mereka terlihat sangat sedih, murung, tak bersemangat. Namun di satu waktu mereka juga tiba-tiba menjadi sangat gembira, dan berenergi. 


Apa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang terdiagnosis depresi untuk terus survive?

- Setelah mendatangi profesional, ikuti saran dari dokter psikiatrimu untuk rutin meminum obat beserta menjalani terapi yang disarankan.

- Kabari keluarga terdekat agar mereka bisa memberikan support yang tepat bagimu. Cari teman yang dapat mendukung kondisimu terkait gangguan kesehatan mental yang dialami, dan sewaktu-waktu mereka ini bisa menjadi pengingat ketika kamu terlupa.

- Sampaikan apa yang dirasakan pada psikolog atau pun psikiatermu, secara jujur, perlahan tak masalah. Jangan sungkan bercerita pada orang terdekat yang benar-benar bisa menerima sekaligus memahami, terkait apapun yang tengah kamu rasakan.

- Berusahalah untuk mengatasi cemas dan overthinking dengan selalu berpikir positif, optimis, senantiasa bersyukur. Pahami kondisi diri sendiri untuk mengantisipasi pikiran, maupun perasaan, setiap kali ada pemicu/trigger dari hal-hal yang tidak diinginkan.

- Jangan lupa untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya, sebab hanya Dia yang dapat membantumu keluar dari jerat awan gelap itu :)


Apa yang bisa kita lakukan pada mereka yang menderita depresi?

- Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah validasi emosinya, akui perasaannya bahwa tak masalah kok untuk merasa tidak baik-baik saja. Dukung mereka untuk tetap bertumbuh.

- Jangan salahkan emosinya. Ketika seseorang menangis kita buru-buru memintanya untuk berhenti menangis, padahal justru dengan menangis ia akan merasa lebih lega setelahnya. Karena menangis juga salah satu cara untuk release emosi itu sendiri.

- Bantu dia untuk mencari pertolongan ke psikolog atau psikiater sebagai caregiver.

- Jangan sungkan atau enggan untuk sering bertanya bagaimana kabarnya?

- Berusahalah untuk mendengarkan mereka dengan empati.

- Buat mereka nyaman menjadi dirinya sendiri, serta hargai batasan mereka.

- Jangan menghakimi kondisi mereka, karena terkadang yang mereka butuhkan lebih pada dukungan, didengarkan, dirangkul, bukan saran atau nasihat apapun.



Langkah-langkah self healing untuk mengatasi depresi secara alamiah :

1. Ingatlah bahwa ada banyak orang yang tak lebih beruntung darimu. Di sekitar kita barangkali ada yang sedang membutuhkan bantuan orang lain. Kita bisa berkunjung, menengok kehidupan orang-orang tersebut, untuk menemukan makna hidup kembali. Mungkin dengan begitu kita bisa tercerahkan oleh realita, bahwa kita bukan satu-satunya orang yang mengalami kesulitan, dan berjuang atas hidup yang dijalani saat ini.

2. Lakukan katarsis sebagai tujuan untuk melepaskan emosi-emosi negatif yang terpendam selama ini. Hadirkan emosi itu ke alam sadar kita, sadari, terima, dan validasi emosi tersebut. Beri waktu bagi diri hingga benar-benar bisa berdamai dengan semua itu.

Apa saja bentuk katarsis yang bisa kita lakukan? Diantaranya, mendengarkan lagu-lagu yang menenangkan atau membantu kita untuk bisa lebih mudah me-release emosi yang tertahan selama ini. Menangis bersama itu, boleh kok. Jika setelahnya akan membuat perasaanmu jauh lebih ringan. Tetapi jangan lama-lama nangisnya ya, setelah itu segera bangkit kembali :)

Yang hobby nulis bisa menuangkan apa yang ada di dalam benak dan pikiran untuk dituang ke dalam bentuk tulisan. Baik itu di buku diary, jurnal harian, blog, etc. Sudah tidak diragukan lagi ya, ada banyak penelitian pula yang membuktikan bahwa aktivitas menulis ekspresif itu bisa menjadi terapi bagi kesehatan mental seseorang. Bahkan mengurangi aktivitas Amygdala yaitu bagian otak kita yang terhubung dengan emosi, dan meningkatkan aktivitas bagian depan korteks yang mengatur pikiran kita.

Menurut Dr. Matthew Lieberman, ahli saraf di Universitas California, bahwa semakin banyak kita menulis terkait emosi jiwa akan sangat bermanfaat untuk menurunkan tekanan pada otak sehingga membangun keseimbangan mental.

Kadang kita sering terlalu jaim untuk menangis karena emosi yang dirasakan. Kita lebih memilih untuk buru-buru mendistraksi itu ke hal lain. Padahal, ini tak baik bagi kesehatan mental kita. Karena jika kondisi batin kita sudah kelebihan muatan, emosi-emosi yang tadinya kita pendam, diampet, ditahan terus menerus, justru akan meledak sendiri dengan cara yang tak terduga.

Katarsis bisa pula dengan menonton film yang membuat kita ikut mengekspresikan emosi apa yang sedang dirasakan, terutama emosi sedih.

3. Afirmasi diri sendiri, self talk positif itu penting. Bahkan jika perlu tulis sederet list tentang apa saja kebaikan-kebaikan, pencapaian sekecil apapun yang pernah kamu lakukan hingga detik ini. Baca kembali setiap kali kamu merasa tak berharga, hilang harapan, putus asa, bahkan kekecewaan atas kondisi diri sendiri. You are love. You are enough. You are worthy. You are beautiful.

4. Keluar, dan jangan mengurung diri terlalu lama. Sapa orang-orang sekitar. Datangi orang-orang yang sudah lama tak ditemui. Sulit ya awal-awalnya? Iya, aku tahu. Tetapi jika tak memulai dari diri sediri, kita akan semakin lama terjebak di kungkungan awan gelap pekat yang mengitari diri dan kehidupan kita. Ayo bangkit! Pertarungan sebenarnya adalah melawan dirimu sendiri. Fighting ya! You can do it! Semangati diri terus menerus, tanpa henti, untuk tetap berjuang melakukan perubahan-perubahan penuh makna walau bermula dari hal-hal kecil terlebih dahulu.

5. Bagaimana? Sudah siap? Jangan tunggu lama, yuk mulai sekarang juga!!!


Nah, sudah tahu kan bedanya stress, burnout, hingga depresi? :)

Stop stigma, jangan lagi self diagnose. Depresi itu bukan hal ringan, karenanya memerlukan diagnosa dari ahlinya, yaitu dokter penyakit jiwa. Jika kamu mengalami satu diantaranya selama rentang waktu minimal 2 minggu atau lebih, jangan terpaku pada apa yang ada di google. Penting sekali untuk self awareness, bergegas minta pertolongan ke ahlinya. 

Tak ada yang mau benar-benar terjebak di situasi demikian, karena mereka yang benar-benar terdiagnosa pun, ada yang sampai berulang kali berganti psikolog maupun psikiater hanya agar memastikan bahwa mereka mungkin saja tak benar-benar menderita seperti apa yang didiagnosakan. Percayalah, para survivor sejati melalui proses yang berat jika pun pada akhirnya memberanikan diri untuk speak up terkait kondisi mental mereka. Jadi, mulai sekarang stop mengaitkan segala sesuatu pada depresi. Karena bisa jadi kamu hanya sedang mengalami stress atau burnout.


Semoga bermanfaat ya :)

Dariku, Bipolar survivor, ibu muda yang berbahagia.


_________________________


Magelang, 1 September 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

Sumber gambar : Pixabay

3 Komentar

  1. Terima kasih ulasannya, sangat bermanfaat.

    BalasHapus
  2. aku kalo stress auto pusing kepala sebelah mba..
    dan sepakat aku, untuk ambil jeda sebentar dan me time, manjakan diri biar fresh..

    BalasHapus
  3. Naah beneeer, semua sebaiknya berdasarkan diagnosa dokter, bukan dari kitanya yang menyatakan sedang depresi..

    Tapi kalo cuma membaca dari tanda2nya di atas, aku pikir selama ini aku palingan cuma sampai tahap stress. Kalo based on tanda2 loh yaaaa. Soalnya diingat2 ga prnh ngelamin gejala yg burnooit apalagi depresi. Mostly sih kalo udah dapat banyak tekanan, dari kantor Trutama, aku pasti berusaha cari healing way nya supaya ga terlalu merasa tertekan. ATO jadiin trigger buat mencapai target. Krn sejujurnya kadang ada orang2 yg justru lebih bagus performancenya di saat dalam tekanan :).

    BalasHapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)