Mental illness atau luka batin, tak sesederhana teori yang berkata bahwa melupakan dan merelakan adalah kunci untuk berbahagia dan melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang rasa sakit yang sama. Nyatanya, ada orang yang berhasil memahami seberapa dalam luka batin yang menderanya kemudian sembuh lebih cepat dengan cara yang tepat. Tentu saja sebelum sempat merasakan mimpi buruk menahun dan begitu membekas di alam bawah sadarnya.

Tetapi bagaimana dengan mereka yang sejak kecil hingga tumbuh remaja, besar di lingkungan toxic yang mendarah daging? Jauh sebelum dia menyadari ada luka pada batinnya yang begitu teramat dalam, dia sudah lebih dulu tersesat. Tersiksa seorang diri. Mencoba memahami kondisi diri tetapi tak ada definisi gamblang yang menafsirkan semua itu.

Berharap belas kasih dari orang yang dianggap peduli, tetapi tanggapan yang diperoleh jauh panggang dari api. Mereka yang diharapkan dapat mengerti dan mau memahami, tak juga menunjukkan empati bahkan tega menghakimi.

Tak semua orang bisa sehebat sosok lain yang mengaku dirinya pun pernah terluka tetapi kuat dan melangkah tegak tanpa sekalipun goyah atau pun menyerah. Tak semua orang bisa sesederhana caramu melerai simpul permasalahan yang kau anggap bukanlah apa-apa ketimbang benang kusut yang merongrong hidupmu sebelum itu.

Everyone has their own battle. Ya, setiap kita memiliki pertarungannya masing-masing.

Medan pertarungan itu berbeda, lawan dan jalannya pun bisa berbeda.

Pengalaman, lingkungan, bagaimana didikan yang pernah diperoleh, latar belakang keluarga tempat kita bertumbuh.. secara complicated semakin menambah perkara luka yang dari semua itu lah ia bermuara.

Alih-alih mendengar cecaran intimidasi yang bertopeng nasihat agama. Jauh dari Tuhan, lemah iman, kurang takwa, dan berbagai label minus lainnya. Sebab nyatanya menyembuhkan mental illness tak semudah melontar kalimat "kembalikan seluruhnya pada Tuhan yang mengatur segalanya.."

Ini yang dinamakan pertarungan diri pribadi. Bagaimana untuk menyembuhkan luka. Bagaimana agar rasa trauma tak lagi hadir serupa mimpi buruk yang menyiksa. Bahkan ketika hatimu berkata telah memberi maaf, ada waktu di mana ingatan itu menarik kembali airmata yang kau simpan sekian lama dan menderas begitu saja.

Ini bukan perkara seberapa dekat atau jauh seseorang dengan Tuhannya. Kendati peran spiritual adalah tiang penyangga di antara alasan-alasan lain untuk terus berdiri tegak dan kembali melangkah tanpa pernah mundur ke belakang. Sebab Dia adalah orientasi utama.

Bukan juga perkara melemahnya iman, ketika seseorang menangisi sayatan luka yang tetap basah walau untaian dzikir telah tanpa putus terapal olehnya.

Ini adalah pertarungan seorang individu, untuk kembali menemukan kedamaian dan ketenangan dalam jiwanya.. setiap orang memiliki luka batinnya, setiap orang melalui pertempurannya. Setiap orang berjuang menyembuhkannya.

Lantas, apa maksud dari mental illness karena luka pengasuhan yang pernah diperoleh seseorang?

Ini salah satu komentar yang pernah kutulis di status Facebook saat menjawab pertanyaan seseorang yang mempertanyakan maksud tatkala aku menulis mengenai cara menyembuhkan trauma dari luka pengasuhan.

Setiap anak punya trauma dan luka pengasuhan yang diperoleh dari orangtua maupun keluarga.

Sedikit banyak hal itu akan mempengaruhi kehidupan dan karakter seseorang setelah dewasa, terutama untuk mereka yang belum bisa sembuh total. Kebanyakan inner child tersebut terbawa sampai dewasa.

Untuk anak-anak yang semasa kecilnya mengalami berbagai perlakuan negatif dari orang sekelilingnya terutama lingkup keluarga, itu akan sangat-sangat berpengaruh. Entah itu karena sering mendapat kekerasan, caci maki, pukulan/sering dipukuli, sampai pada perundungan yang didapat dari orang-orang terdekatnya (banyak orangtua tak sadar melakukan bullying ke anaknya dan mengikis mental anaknya secara perlahan).

Bisa jadi juga luka pengasuhan itu dampak dari obsesi orangtua, kesalahan pola asuh, dan hal-hal negatif lainnya yang didapat dari orang tua maupun keluarga dan itu yang menjadi inner child dari luka pengasuhan.

Namanya luka pengasuhan tentu berkaitan dengan pengalaman masa kecil, terkait pola asuh yang diterima di lingkup keluarga.

Ada orang yang begitu dewasa mudah sekali marah, sentiment, tempramen, egois, keras kepala, bisa jadi karena ada luka batin masa janin/inner child yang tak tuntas dalam dirinya.

Ini juga bagian dari ilmu psikologi, kok. Setiap manusia punya inner child dalam dirinya. Ada yang berhasil sembuh dan hidup normal, tetapi ada yang tak berhasil sembuh dan terus membawa lukanya sampai dewasa bahkan usia tua.

Tetapi yang ditakutkan, jika trauma yang didapat terlalu dalam... luka pengasuhan itu akan berdampak bagi seseorang setelah dewasa dan berulang kembali ketika dia telah berkeluarga dan memiliki anak. Imbas dari luka batin yang tak disembuhkan itu menjadi semacam dorongan untuk berbuat perlakuan sama, entah sadar atau pun tidak.

Karena itu, rantai trauma dari pengalaman buruk yang pernah dialaminya harus diputus terlebih dahulu. Agar tidak terulang ke anak-anak sedang dirinya sebagai pelaku. Misal, jika sewaktu kecil dia sering mengalami kekerasan atau dipukuli fisiknya... yang ditakutkan jika inner child-nya tak sembuh, setelah memiliki anak dia akan mengulang pola yang sama ke anaknya sebab trauma dan luka pengasuhan itu tadi.

Ini bukan soal lemah iman lagi, ini berkaitan dengan kesehatan mental seseorang. Memerlukan dukungan, perhatian dan waktu untuk bisa sembuh. Banyak metode self healing (penyembuhan diri) yang tak semata menekankan seseorang untuk terus saja mendekatkan diri pada Tuhannya tanpa memerlukan sokongan lain dari luar.

Terlebih lagi, karena mengikhlaskan apalagi melupakan pengalaman buruk yang pernah ada tak semudah melempar nasihat begitu saja.

Karena itu, aku pribadi jadi banyak belajar ilmu parenting terutama karena sudah menjadi ibu. Berharap sekali tak pernah mengadopsi hal-hal buruk yang menjadi luka pengasuhan dari apa yang pernah dialami.

Oh ternyata, memang tak ada anak yang nakal, orangtua lah yang kehilangan sabar.

Tak ada anak yang bodoh, orangtua lah yang enggan menjadi guru dan belajar lebih banyak.

Tak ada anak yang gagal menjadi sesuai kehendak orangtuanya, namun orangtua lah yang barangkali menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada anak-anaknya.

Berharap anaknya menjadi persis seperti keinginannya tetapi lupa menjadi teladan utama.

Mari mendidik tetapi bukan dengan cara menghardik.

Mendidik bukan dengan cara memukul mental maupun fisik. 

Untukku yang juga tengah berjuang menyembuhkan inner child dalam diri. Ada hal-hal yang tak sesederhana perkataan orang lain tentang cara melakoni hidup normal dengan berbahagia.

Ya, karena bukan mereka yang mengalami persis kejadian-kejadian tak mengenakkan dan tumbuh di lingkungan toxic selama belasan tahun lamanya.

Ada yang tak bisa mereka pahami sebab tak melihat langsung dengan mata kepala sendiri. Bahkan ketika mereka mendengar informasi yang tak utuh, semua bukan hanya tentang mana yang benar, jika kalimat yang keluar dari lisan mereka adalah kata-kata menghakimi alih-alih memberikan dukungan yang jauh lebih berarti.

Tak ada orang yang ingin menjadi buruk dan tak berharga sama sekali. Siapapun ingin menemukan cahaya dalam gelapnya jalan yang dilalui. Aku percaya, orang yang tampaknya memiliki banyak aib dan keburukan sekalipun.. jauh di dalam dirinya, di dalam hati kecilnya, ada sesosok manusia yang menunggu uluran tangan.

Ada seorang baik dalam dirinya yang butuh dirangkul, diberi kesempatan, dipahami, untuk kembali pada apa yang benar di dalam hidup. Karena fitrah manusia adalah bersih. Terlahir tanpa setitik pun noda dosa. Kekurangan manusia lah yang mencipta kesalahan dan berbagai bentuk penyimpangan.

Sekali lagi, kita mungkin adalah sekumpulan kesalahan dan kegagalan yang jika tidak dibenahi maka seterusnya akan menjadi salah. Tetapi jika beroleh kesempatan, dukungan yang tepat, setiap orang akan berhasil melalui masa terberatnya dan menjadi manusia baru yang jauh lebih baik lagi.

Bahkan jika berkiblat ke masa lalu, di mana para sahabat yang dirindukan surga, tadinya juga seorang pendosa. Seorang yang pernah bergelimang kejahiliyahan.

Untuk memahami luka orang lain, jangan beri masukan dari sudut pandangmu tentang apa yang harus dilakukannya. Pahami saja rasa sakitnya. Terkadang, di titik terpuruk seseorang.. beroleh pendengar tanpa harus dicecar, itu sudah jauh lebih baik. Berkata tentang salah atau benar, mereka mungkin sudah tahu lebih dari apa yang ingin kau katakan. Hanya saja, ada kala setiap kita akan tersesat dalam kegelapan dan yang dibutuhkan hanya secercah cahaya untuk kembali menemukan arah yang tepat. Yaitu kepedulian, rasa empati, telinga yang sanggup menjadi penyimak tanpa perlu menghakimi.



a deep reminder for myself

Semoga bermanfaat 😊

______________________


Magelang, 5 Januari 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

0 Komentar