“Anaknya kok nangis terus sih? Dikasih pisang kerok saja. Kasihan, cuma minum ASI ya jelas nggak kenyang.” Cerocos tetangga yang menghampiri Rina saat tengah menggendong bayinya di teras rumah.


“Maaf, Bu. Dokter menyarankan mpasi hanya diperbolehkan setelah anak berumur 6 bulan. Anak saya tidak punya keadaan khusus yang mengharuskan mpasi dini. Terima kasih sarannya.” Jawab Rina tegas sembari menyusui bayinya yang kemarin genap berumur empat bulan itu.

“Alah, dikit-dikit kok kata dokter. Orang zaman dulu juga anak-anaknya dikasih pisang kerok, makan nasi, terbukti pada hidup noh.” Si ibu yang julidnya setingkat Bu Tedjo tampak tak mau kalah.

“Itu kan bayi zaman dulu, Bu. Anak saya bayi zaman sekarang. Jelas berbeda ya, Bu. Asal ibu tahu, banyak kasus bayi meninggal karena diberi makan nasi dan pisang terlalu dini. Bukan karena ASI yang tidak mencukupi.” Mendengar ucapan Rina si ibu tadi seketika bungkam dan hanya memanyunkan bibirnya beberapa senti ke depan.

“O ya, Bu. Nggak ada sejarahnya bayi meninggal hanya karena tidak diberi pisang kerok apalagi nasi, tetapi yang ada kasus kematian bayi justru terjadi setelah dikasih dulang pisang sebelum waktunya. Karena pencernaan bayi belum siap, sekalipun mulut bayi menganga sewaktu disodorkan makan.” Mendengar itu si ibu semakin tak enak hati, kemudian pergi tanpa berkata-kata lagi.

Rina gemas, sekaligus jengkel. Ia menghempas napas berat, bersyukur bisa menjawab tegas pada si ibu yang memang bukan sekali itu memberikan saran serupa. Mengapa masih ada orang yang kekeuh menganggap cara kuno sebagai acuan meski tak lagi relevan untuk diterapkan saat ini? Masih saja ada orang tua yang mengharuskan pola asuh yang pernah mereka aplikasikan menjadi kiblat para ortu di masa kini?

Tak sedikit menantu yang tertekan karena mertua dan keluarga terdekatnya terlalu ikut campur perkara pengasuhan sang cucu. Padahal, tak ada ibu yang ingin mencelakakan anaknya.

Setiap ibu juga mewanti-wanti diri mereka pribadi demi mempersembahkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Sekalipun harus berhadapan dengan judgement tak mengenakkan atas pilihan yang diambil. Seringnya lagi, orang terdekat lah yang meruntuhkan upaya baik itu dengan dalih “orang zaman dulu juga begitu”.

Bagaimanapun, Rina meyakini bahwa MP-ASI lebih baik hanya diberikan setelah anak berusia 6 bulan. Jika ingin memberikan lebih awal sebelum itu, harus ada konsultasi dengan dokter spesialis anak atau bahkan dokter gizi dan memang sesuai dengan kebutuhan si anak berdasarkan pertimbangan medis.

Tak cukup hanya bermodalkan googling dan merasa ciri-ciri anak yang siap makan telah serupa ada pada bayinya. Seorang ibu tak boleh gegabah, mengira-ngira dan justru berakhir mala-petaka.

Baru-baru ini kembali mencuat kasus kematian bayi yang berumur empat bulan, karena mengalami pecah usus usai diberi makan nasi. Bayi Jihan terlambat dibawa ke rumah sakit. Berhari-hari ia dicekoki nasi utuh, kendati rewel dan menolak saat didulang, ia terus dipaksa menelan nasi. Sang ibu pun hanya bisa pasrah mendulang si bayi atas perintah ibu mertua. Ingin menolak berbuah bentakan, karena jelas si ibu hanya akan dicap sebagai menantu yang tak patuh.

Penyesalan selalu hanya tinggal penyesalan. Sang ibu menangis meraung-raung di atas jasad bayinya yang meregang nyawa usai melawan rasa sakitnya. Suami yang sejak awal tak bisa memihak, baru menyadari kesalahannya dan menyesali diri sejadi-jadinya.

Masyarakat pun jelas hanya menyorot ketidakbecusan si ibu yang menjadi sebab kematian anaknya. Di waktu bersamaan sang mertua bersikap biasa seolah tak ikut memikul dosa karena menjadi penyebab di balik itu semua.

Rina geram membayangkan si ibu. Bisa-bisanya ada orang yang bagai kerbau dicucuk hidungnya. Pasrah, manut, tanpa bisa membela diri atau paling tidak mengedukasi dirinya sebelum menjadi orangtua agar bisa mengambil sikap tegas.

Bagaimanapun, ujung-ujungnya tetap seorang ibu yang disalahkan atas apa-apa yang terjadi pada anaknya. Mertua, orangtua, tetangga, hingga pada kerabat yang tadinya memberi masukan.. toh pada akhirnya tak bisa berbuat apa-apa. Walau sekedar ikut memikul beban.

Rina teringat curhatan sahabat karibnya yang menangis karena bayinya diberi makan bakso dan gorengan oleh ibu mertuanya sendiri. 

“Untung anakku nggak kenapa-napa, Mbak. Tapi hatiku sakit banget pas tahu anakku dikasih macam-macam padahal belum waktunya. Aku berprinsip hanya makanan olahan tanganku sendiri yang jelas gizi, bahan dan cara pembuatannya yang boleh dimakan anakku nanti. Ini justru diberi makan jajanan ciki juga! Sudah jelas ketahuan tetapi mertuaku tak mengaku.” Curhat sahabatnya yang berprofesi sebagai ibu bekerja.

Sama seperti potret si ibu dalam berita. Sahabat karibnya ini tak bisa berbuat banyak, kecuali melampiaskan rasa kesal pada sang suami sambil berdoa anaknya tidak apa-apa. Pernah ketika ia mencoba berterus terang agar orang-orang sekitar menghargai pilihannya sebagai ibu, yang didapat hanya kalimat sindiran karena dianggap ‘sok keminter’. Lagi-lagi karena mereka berkiblat pada orang zaman dahulu yang sehat walafiat walau sudah didulang ketika baru lahir seminggu.

Meski sulit mengubah total sudut pandang orangtua perkara perbedaan cara dulu dan kini, Rina berharap tak ada lagi bayi-bayi serupa yang mengalami nasib tragis karena insiden mpasi dini. Sama halnya dengan penjelasan dokter kenalannya, “Beruntung kalau masih hidup, kenapa malah bangga! Dampak mpasi dini tidak boleh dianggap sepele. Apalagi hanya ajang coba-coba. Kaitannya nyawa kok berani coba. Kasihan bayinya!” Terang sang dokter saat Rina bertanya soal pemberian MP-Asi sebelum waktunya.

Rina sendiri berjuang keras untuk menolak rongrongan mpasi dini dengan ikhtiar mengedukasi diri. Informasi bisa didapat dengan mudah bermodalkan gawai dan akses internet. Rina memanfaatkan itu sembari momong bayi, dalam sekali duduk beberapa artikel terkait anak dan pengasuhan bisa ia pelajari. Kendati yang tampak di mata orang sekitar, seolah dirinya hanya sibuk bermain handphone.

Di kesempatan lain, Rina aktif mengikuti kelas ibu dan balita demi menambah pengalaman dan pentingnya memiliki circle untuk saling memberi dukungan. Bukan justru menghakimi pilihan ibu lain atas anak-anaknya. Entah itu terkait sufor atau ASI eksklusif. Diapers atau clodi. Gendongan jarit atau geos. Dan lain sebagainya yang kerap menjadi bahan perbincangan tak putus-putus antar orangtua satu dengan yang lainnya, ujung-ujungnya sebagai ajang merasa paling benar sendiri.

Padahal setiap ibu memiliki medan juangnya sendiri. Tak harus sama. Tak melulu serupa. Setiap ibu berjuang memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.

Sebuah kalimat bijak, hanya karena orang lain berbeda, bukan berarti mereka salah dan cara kita lah yang paling benar. Hanya karena orang lain tak menerapkan prinsip sama dengan apa yang kita yakini, tak lantas menjadikan kita yang mutlak paling tahu hingga berhak mempermasalahkan pilihan orang lain. Mari saling dukung. Saling mengedukasi, bukan justru mendiskriminasi.

So, teruntuk para mamak-mamak luar biasa. Dariku, ibu muda beranak dua. Saling support dan menguatkan ya! 💪🤗

———————

Magelang, 📝 Putri An-Nissa Nailathul Izzah
Jum’at, 20 November 2020
***
Disalin ulang dari tulisanku di facebook, sempat dipost di grup "Komunitas Bisa Menulis" sebelum grup hilang untuk kedua kalinya ^^ Semoga bermanfaat ..

2 Komentar

  1. Sejujurnya, saya salut dengan teman-teman yang selalu tak kenal lelah saling mengedukasi, karena ilmu zaman jebot itu masih banyak banget dipakai orang zaman sekarang.

    Di kalangan teman-teman dunia nyata saya aja, masih banyak yang kagok dan selalu ikut nasihat ibunya dengan teori jadul, sedih sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat mengedukasi ya Mbak Rey, walau tetap dibantah dan dianggap hanya sok tahu. Memang menyampaikan hal baik dan informasi positif itu gampang-gampang susah. Tak semua orang bisa menerima kebenaran dengan tangan terbuka, pikiran apalagi hihiiw :'D

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)