Alhamdulillah, editing naskah telah selesai. Bagiku naskah ini istimewa. Semua orang yang pernah bersinggungan denganku di dalam hidup juga mewarnai bab-bab dari novel ini. Terutama keluarga dan orangtua beserta teman-teman tentunya.

Kalau ditanya apa matanya nggak pedas setelah berjibaku selama berjam-jam di depan laptop, jawabannya tentu saja iya. Tetapi karena mengerjakannya dengan suka dan perasaan senang. Lelah yang terasa berubah menjadi energi positif. Semangat itu yang memijat-mijat pundak tatkala pegal menyergap.

Katanya, ada arti dari tiap perjuangan kita di hari ini. Terutama jika dilakukan untuk orang-orang yang dikasihi. Btw, lagi-lagi aku menulis saat detik pergantian waktu. Ketika tengah malam menggulirkan tanggal satu ke angka dua. Itu berarti, semakin dekat dengan hari milad sang suami. Tertanggal pada 3 Maret yaitu lusa. Akan ada yang bertambah tua, semoga bertambah pula segala kebaikan dan keberkahan yang menyertai usianya. Aamiin.

Tahu apa yang kulakukan di sela-sela mengedit naskah? Tentu saja untuk membunuh jenuh. Refresh dan penyegaran ide. Di antaranya, meluangkan cukup waktu membaca buku dan setelahnya kembali mengedit naskah. Pun membalas satu persatu chat yang masuk, kemudian kembali berjibaku dengan layar. Menyambi pekerjaan lain-lain sebagai istri sekaligus ibu. Sebab ada kewajiban di rumah yang tak kalah penting tentunya. Jika bisa dibilang, peran ini memerlukan tingkat profesionalitas super tinggi. Halah, nggak sebegitunya juga sih. Hahaha.

Hari ini kondisi mood sedang baik. Alhamdulillah. Semua betul-betul terkendali jika kamu berhasil memanage situasi hati sendiri. Apapun yang sedang dihadapi, mengelola qalbu menjadi PR agar bisa senantiasa waras dan menjernihkan kemungkinan apapun yang dapat membuat hati menjadi keruh.

Itu pula yang menjadi pertanyaan dari seorang teman via chat WhatsApp. Tadinya, ia mengaku salah sambung. Tetapi tiba-tiba melempar pertanyaan padaku ditutup dengan emotikon sedih. Kurang lebih begini, "Kak, apa yang harus kita lakukan agar hati tak senantiasa iri pada pencapaian orang lain?"

Bagiku, menerima beragam pertanyaan dari sahabat yang tak dikenal adakalanya menjadi ruang bermuhasabah tersendiri. Terlebih, ada banyak curhat yang masuk ke direct massage Instagram dengan berbagai cerita penuh intrik dan konflik. Bertujuan untuk beroleh solusi tentu saja.

Mengapa kusebut ruang bermuhasabah? Padahal kamu hanya diharuskan menjawab pertanyaan orang lain. Ya, karena aku harus bercermin dari diri sendiri terlebih dulu. Bagaimana jika aku? Apa yang harus/baik/benar untuk aku lakukan tatkala di posisi mereka?

Menjawab pertanyaan di atas, aku meneropong dalam diri. Pernah kah aku merasa iri pada pencapaian orang lain? Jika dibilang tak pernah, rasanya mustahil. Sebab hati manusia itu seperti kaca yang berdebu *bukan judul nasyid di sebelah ya. Mudah sekali terpengaruh. Sampai akhirnya, aku menarik kesimpulan. Mengapa seseorang merasa iri? Apa yang menyebabkannya iri?

Jawabannya, karena kita nggak percaya pada kemampuan diri sendiri. Kita sibuk mengukur sepatu orang lain dengan ukuran sepatu yang dipakai. Kita sibuk menghitung berapa banyak lauk di piring orang lain, ketimbang bersyukur dengan isi piring sendiri. Kita merasa bahwa pencapaian orang lain adalah kekalahan bagi kita. Padahal, itu bukan lagi soal menang atau kalah.

Ketika orang lain beroleh apa yang tidak kita beroleh, kemungkinannya hanya dua. Ia hanya beruntung atau ia betul-betul memperolehnya setelah melewati jerih payah hasil rentetan usahanya sendiri. Ini bukan soal dia menang dan kita kalah. Sama sekali tidak. Justru, ketika kemudian kita merasa lemah karenanya. Berarti hati kita sendiri lah yang perlu direcharge ulang.

Ingat? Di balik semua yang terjadi di atas muka bumi. Ada tangan Tuhan yang memprakarsai apa-apa yang tak bisa masuk dalam perhitungan kita. Apa-apa yang bahkan tak bisa kita kemudikan sendiri sebab tak ada kendali untuk itu. Jadi tak bijak jika menilik pencapaian orang lain sebagai tolok ukur bagi diri. Kecuali jika kita menjadi termotivasi lebih baik karenanya. Atau dengannya rasa syukur tetap bertambah.

Dan mempercayai apa-apa yang telah Allah porsikan bagi diri masing-masing. Kita semua tak sungguh-sungguh berkelebihan atau pun berkekurangan, karena apa yang diperoleh sudah sesuai takaran menurut-Nya. Pemikiran ini juga berangkat dari muhasabah diri sendiri. Bahwa adakalanya, kita perlu untuk menyadari batasan diri yang tak bisa dipompa melebihi kapasitasnya. Tetapi apa yang bisa kita lakukan? Yaitu memaksimalkan potensi yang dimiliki dengan sebaik mungkin. Sadari dan syukuri apa yang dimiliki saat ini.

Pada akhirnya, setiap kita akan beroleh pintu kesuksesan masing-masing. Insyaa Allah. Sudah sampai di sini, rasanya sudah cukup panjang. Semoga catatan tengah malam ini, memberikan oase kecil ya. Lebihnya berasal dari Allah, kurangnya dari diri sendiri. Semoga bermanfaat. Selamat tengah malam :)


copyright @bianglalahijrah
Magelang, 02 Maret 2019
[Image source : Pinterest]

4 Komentar

  1. Wah, selalu indah tulisannya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Alhamdulillah, terima kasih sudah berkunjung dan tinggalkan jejak di sini bebs :)
      jangan bosan-bosan stay tune di postingan teranyar selanjutnya yaa hehee

      Hapus
  2. Tulisan yang keren, sesekali boleh lah berbagi cerita tentang nikah muda wkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, terima kasih vian. Di postingan sebelumnya sudah ada sepertinya. Coba deh, intip yang lain :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)