Untuk Aidan Fayyadh Al-Fatih. Malaikat kecil yang Allah amanahkan pada kami. Jundullah yang hadir di rahimku sebagai kado anniversary pernikahan yang kedua tahun.

Untuk waktu yang telah terlewati saat menunggu penuh harap, dengan debar-debar cemas sekaligus bahagia. Berdoa agar kehamilan dapat berjalan lancar sampai persalinan. Sebab menantinya pun dipenuhi sujud panjang dan airmata. Terlebih saat cibiran orang-orang menambah ruang stress di dalam diri.

Maka, teruntuk Aidan yang juga menjadi kado paling bermakna di anniversary ketiga kami. Ketika untuk kali pertama merasakan bagaimana rasanya menjadi orangtua di usia muda. Juga lega karena takkan lagi ada pertanyaan menyudutkan yang tertuju pada kami setiap kali bertemu orang-orang, terutama keluarga.

Walau kami berdua sempat sama-sama kaget begitu Aidan lahir. Mau tak mau langsung beradaptasi dengan segala hal baru setelah menjadi orangtua.

Dimulai dengan perjuangan mulia di detik-detik saat menempuh persalinan, dari bukaan satu sampai bukaan lengkap. Hingga rasa lelah yang tak lagi terasa setelah Aidan lahir. Suara tangis yang memecah hening dini hari itu. Moment kali pertama ketika kulit kami bersentuhan. Euforia yang masih terasa sampai kini. Airmata yang mengalir hangat, menggema takbir pada kebesaran Allah.

Untuk semua pengalaman pertama yang tak mungkin terlupakan.

Hidup mandiri terpisah dari orangtua, kami harus siap dengan segala kemungkinan. Terlebih saat Aidan jatuh sakit. Panas tinggi, diare, susah pup. Selain ke bidan terdekat, googling adalah sarana tempat bertanya banyak hal sebelum panik merajai diri masing-masing. Pun saat menerima masukan yang dipercaya sudah turun temurun walau sebenarnya tak lagi sesuai dengan kemajuan dunia medis dan ilmu kedokteran saat ini.

Situasi serba salah. Didengar dilema, tak didengar takut menyinggung perasaan mereka. Akhirnya aku memilih untuk menampung semua itu sebagai tambahan ilmu dan referensi dalam merawat bayi.

Jejak ngetrip kemarin di Wisata Mangrove, Kulon Progo Yogyakarta (14 Agustus 2017)

Antara cara turun temurun, dengan prosedur medis yang menurutku jauh lebih masuk akal. Karena ada penjelasan logis maupun ilmiahnya.

Jadi ingat, dulu waktu Aidan harus dibedong sampai sekujur tubuh kaku. Di dalam hati seperti ingin melarang, tetapi takut dikata melawan yang lebih berpengalaman. Alhasil, aku hanya diam pura-pura tak tahu apa-apa. Baru setelah semua orang pulang, Aidan kubebaskan dari kekangan ikatan bedong itu.

Termasuk untuk pengenaan gurita. Masih banyak yang menganggap bahwa fungsinya untuk menghangatkan perut anak agar tidak kembung. Padahal dari beberapa sumber terpercaya yang pernah kubaca, penggunaan gurita pada bayi sebenarnya tidaklah diperlukan. Karena di usia 0-6 bulan organ dalam atau pencernaan bayi juga masih dalam tahap penyempurnaan. Ikatan gurita yang terlalu kencang justru akan menghambat perkembangan itu dan membuat bayi sulit dalam bernafas. Itulah mengapa di KIA tertera bahwa usia yang baik untuk mulai memberi MPASI pada bayi setelah berusia 6 bulan. Saat percenaannya sudah benar-benar siap.

[Untuk lebih detilnya semoga bisa ngulas di postingan selanjutnya :)]

Sewaktu hamil Aidan aku memang sudah berkomitmen untuk memberi ASI ekslusif hingga usia 6 bulan. Dan di masa perjuangan itu, ada saja orang tua yang suka maksa buat ngasih makan Aidan. Termasuk keluarga suami. Kadang ada yang diam-diam mau memberi air putih. Kadang disuapi kue. Kadang diberi potongan buah yang katanya sekedar buat latih mengunyah. Semua godaan agar aku mau segera memberi makanan padat ke Aidan.

Finalnya? Big NO! Aku keukeuh untuk yang satu ini. ASI ekslusif harus sampai Aidan berusia 6 bulan dan akhirnya usahaku berhasil sukses.

Gemes ih! Kadang aku hanya bersulut di dalam hati. Cara paling jitu, meninggalkan mereka dari pada berlama-lama dengan sesuatu yang tak perlu diperdebatkan panjang lebar. Toh yang kuyakini adalah yang terbaik untuk Aidan, nggak mungkin juga mau mencelakakan anak sendiri.

Rasanya ada baiknya hidup mandiri terpisah dari orangtua. Setidaknya memberi ruang kebebasan sendiri untuk merawat dan mendidik anak sesuai dengan ilmu yang tidak berbentrokan dengan kebiasaan orang tua sejak zaman dulu. Walau aku juga tak menolak masukan yang datang dari luar. Selama itu baik, maka akan kutampung. Tetapi jika berseberangan karena alasan tertentu yang bukan hanya karena berbeda pendapat denganku, tetap akan kuterima, tapi... sebagai bahan pertimbangan. Kalau baik ya kuambil, jika tidak cukup tahu saja.

Setiap orang tentu melalui proses yang berbeda. Jadi maklum saja. Bukan berarti berbeda lantas kita boleh menilai orang lain terlalu kolot atau tak becus mengurus anak. Ya enggak begitu. Lagi pula cara dulu sama cara sekarang memang tidak bisa disamakan. Tetapi aku juga tak memungkiri bahwa tetap ada baiknya dari beberapa cara lama yang sampai kepadaku.

Selain itu, aku bersyukur Aidan jarang meneguk sufor sampai harus menghabiskan sekian kotak dalam satu bulan. Malah sampai Aidan berusia 2 tahun 1 minggu, masih menyusu ke ibunya ketimbang minum sufor.

Kalau mengingat semua proses dan moment by moment yang kulalui setelah jadi ibu. Aku ingin sekali bertemu mamak dan bilang pada beliau, " ... lihat, Mak.. anakmu ini sekarang juga sudah jadi ibu. Anakmu ini bisa mengurus cucu mamak dengan baik. Mamak jangan khawatir. Doakan saja kebaikan kami di sini.."

Ada banyak momentum tak terlupakan. Saat harus bangun setiap kali Aidan terjaga, mengompol, atau ingin menyusu. 

Moment di mana malam-malam panjang ditemani dengan setumpuk pekerjaan rumah tangga saat suami dan Aidan sudah lelap. Antisipasi agar besoknya aku bisa fokus momong tanpa dipusingkan pekerjaan rumah lagi. Terlebih karena suami berangkat kerja di pagi hari dan pulang pukul 3 sore. Di rumah yaa cuma berdua sama Aidan. Repot dan capek dinikmati sendiri.

Walau ada waktu di mana aku menangis saat puncak dari lelah yang dirasakan oleh batin seperti sampai pada batasnya. Ditambah dengan kondisi emosional yang naik turun begitu usai persalinan hingga masa menyusui di tahun pertama. Sering kali ada perasaan yang sulit dijelaskan.

Satu waktu merasa bahagia tanpa sebab. Satu waktu yang lain seperti hendak menangis tanpa tahu apa penyebab kesedihan itu. Aku merasa seperti mengalami gejala 'baby blues' atau mungkin kondisi normal yang sering melanda ibu baru pada umumnya.

Dan sekarang, Aidan kecilku mulai mengerti tentang apa yang ia inginkan. Menolak pada apa yang tak ia suka. Teman 24 jam yang sejak masih di dalam kandungan sudah menjadi sahabat bagi ibunya. Setiap hari aku melihat Aidan tumbuh. Cepat sekali waktu berlalu. Tahu-tahu Aidan bukan lagi bayi mungilku kemarin sore.

Tiba-tiba rindu menyeruak pada masa-masa saat Aidan masih bayi yang belum bisa apa-apa. Rindu pada bau khasnya. Rindu saat merengkuhnya di lenganku. Rindu pada hal-hal yang tak bisa dijabarkan lewat kata.

Satu hal yang selalu membahagiakan, Aidan yang seperti namanya adalah anak yang bersemangat dan selalu bisa jadi penyemangat orangtuanya.

Aidan yang selalu bilang, "peluk, peluk.." saat ia ingin memeluk atau minta dipeluk.

Aidan yang tak bisa sabar untuk menunda keinginan ngemil dan waktu makannya. Aidan yang kadang ketiduran saat bermain sambil menunggu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah. Aidan yang selalu berceletoh riang.

Aidan yang kadang membuat keluhan mengalir begitu saja, tetapi lantas membuatku berfikir ulang, bukankah fitrahnya serang anak yang masih dalam tahap pertumbuhan untuk mustahil tak memberikan rasa repot?

Aidan yang selalu menggelitik rasa rindu untuk segera pulang saat ibunya berada di luar rumah dengan suatu urusan.

Aidan yang selalu bisa menyabitkan senyum, syukur, dan bahagia dalam kesederhanaan apapun.

Aidan, Wisata Mangrove Kulon Progo Yogyakarta (14 Agustus 2017)

Dan hal yang akan aku sesali, saat tanpa sadar memarahi keaktifan Aidan yang selalu bisa menambah daftar pekerjaan rumah untukku. Ketika tanpa sadar tangan begitu ringan menjiwit, atau mungkin menepuk dalam keadaan refleks.

Walau begitu, tak ada yang lebih murni dan tulus dari cinta seorang ibu untuk anaknya. Walau marah, walau setiap hari ada keluhan, tetapi seorang ibu takkan tega melihat anaknya belum makan. Seorang ibu takkan tega melihat anaknya kesakitan. Seorang ibu akan sangat peduli dan jeli pada satu kotoran pun yang menempel di kulit atau pakaian anaknya.

Seorang ibu akan menangis, berdoa agar sakit yang dirasakan anaknya pindah ke dirinya ketika sang buah hati jatuh sakit.

Seorang ibu katanya adalah muara cinta yang tak pernah mensyaratkan apa-apa. Hanya ada kedamaian, keteduhan, keikhlasan, kesabaran, penerimaan, pengorbanan, semuanya.

Seorang ibu katanya malaikat tak bersayap yang memastikan bahwa anak-anaknya melesat ke tujuan yang benar. Memastikan anaknya tak kurang satu apapun dengan kelapangan dada yang membuatnya rela memberi tanpa pamrih.

Seorang ibu adalah cinta yang takkan pernah cukup jika diuraikan dengan kata-kata dan kalimat. Karena ibu adalah muara dari segala bentuk kasih maupun sayang itu. Cinta yang tak pernah bersyarat.

Teruntuk Aidan-ku, maaf dari ibu yang tak sempurna ini. Tetapi cintaku adalah sekumpulan doa-doa yang akan menaungimu hingga kapanpun. Barakallah fii dunya wal akhirat. Aamiin.



Magelang, 15 Agustus
Copyright : @bianglalahijrah

0 Komentar