"Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasib mereka sendiri. QS Al-Anfal (8): 53"

Baru dua hari yang lalu aku menulis status di akun facebookku. Mengenai orangtua yang melarang anak gadisnya untuk datang ke tempatku, hanya karena aku kerap memprovokatori anaknya untuk melanjutkan pendidikannya kembali. Tidak satu, dua, juga tiga anak yang datang dan bercerita tentang impiannya untuk bersekolah tinggi. Meski kendala datang dari kondisi ekonomi keluarga, atau kurangnya kesadaran dari orangtuanya tentang pentingnya sebuah pendidikan. Aku sendiri hingga saat ini masih berusaha dan berkeinginan kuat untuk bisa menempuh pendidikanku ke jenjang tertinggi di bangku universitas.

Aku berpikir sendiri. Apa karena faktor kesulitan hidup, hingga menikahkan anak gadis mereka di usia dini adalah jalan keluar satu-satunya? Miris. Walau sebenarnya mereka punya alasan tersendiri yang cukup kuat untuk melakukan semua itu. Tetapi bagaimana dengan diri sang anak yang nanti akan menjalani hakikat dari pernikahan itu sendiri? Bahagiakah? Siapkah? Mampukah? Atau justru menyesal, sedih, dan terbebani meski tak mampu berucap di hadapan orangtuanya. Bagaimana dengan keinginan sang anak yang jauh di lubuk hatinya masih menyimpan keinginan yang menggebu-gebu tentang sebuah impian yang ingin ia raih. Tentang cita-cita yang dalam sekejap mata harus kandas karena kehendak nasib. Benarkah kehendak nasib? 

Aku selalu mengulang kata-kataku di setiap kesempatan saat bertatap wajah dengan anak-anak yang sering datang. Bahwa tak ada yang tak mungkin jika kamu mau berusaha untuk keluar dari himpitan kesulitan hidupmu sendiri. Raih cita-citamu, sekolahlah yang tinggi, buktikan pada semua orang bahwa kalian mampu menjadi manusia yang berhasil mewujudkan impiannya. Bukankah ada banyak orang yang berhasil hingga menjadi tokoh dunia berkat kegigihan usahanya? Mereka mampu membuktikan keajaiban-keajaiban dari kekuatan kerja impian. Lewat jerih payah mereka yang tak kenal lelah dalam berusaha.

Masalah jodoh? Tenanglah. Ia takkan lari ke mana, Allah sudah mengaturnya dengan rinci. Namanya telah termaktub di lauhul mahfuzh untukmu. Jika ia sudah ditakdirkan untukmu, maka takkan mungkin tertukar dengan orang lain. Pikirkan dulu diri dan masa depanmu. Benahi diri dan perbanyak bekal. Mengapa harus takut melangkah? Mengapa harus ragu-ragu berusaha? Mengapa harus takut memperjuangkan impianmu sendiri? Takut atau minder dengan ucapan orang lain yang menyudutkan? Bukankah semua orang yang telah sukses dan berhasil pernah mengalami hal serupa? Anggap saja itu hanya ujian yang memang akan selalu dihadapi, oleh orang-orang yang tengah berjuang dalam meraih cita-cita.

Kembali ke topik awal *ala Tukul Arwana. :D 
Dari tadi serius mulu', kan garing. *Nyeruput teh.
Sebenarnya.. Aku sangat keberatan dengan pola pikir keluarga ini. Wajar saja, karena aku juga pernah mengalami kejadian yang sama saat ikut di keluarga ibu. Saudara-saudara ibu yang memang minim pengalaman dalam hal pendidikan memandang, bahwa pendidikan untuk anak perempuan itu tidak penting. Aku orang pertama yang menentang keras pendapat mereka dengan sifat keras kepala dan keinginanku yang kukuh. 

Usia gadis itu baru 15 tahun, rasa-rasanya negara juga punya ketentuan yang jelas mengenai batasan usia yang lazim untuk menikah. Usia yang memang sudah pantas untuk menikah. Sayang sekali, jika menikah dijadikan jalan keluar satu-satunya untuk lepas dari kesulitan hidup orangtuanya. Mereka salah. Apa setelah menikah hidup seseorang dijamin makmur dan tercukupi tanpa usaha dan kerja? Salah! Justru setelah menikah semua beban, tanggung jawab dan kewajiban menjadi lebih kompleks. Tak semata-mata menikah untuk hidup sehari, dua hari, lalu punya anak dan bahagia hingga tua. 

Apa mereka tidak berpikir tentang bekal untuk anaknya jika nanti telah menjadi orangtua? Apa bekal yang sudah dipersiapkan untuk mendidik anak, jika calon orangtuanya sendiri tidak punya bekal yang cukup untuk dirinya sendiri? Ini ucapan yang beberapa minggu lalu kukatakan pada Dek Ika. Kita kelak adalah madrasah pertama bagi anak-anak kita. Begitu ia lahir ke dunia, kita adalah guru pertama. Teladan pertama yang akan ia ikuti sebelum mengenal lingkungan maupun orang lain yang ada di sekitarnya. Lantas jika kita tak membekali diri dengan ilmu yang mapan, bagaimana hendak mendidik anak-anak yang telah dipercayakan oleh Allah dengan cara yang benar?

Intinya sih, aku ingin membuka mata mereka bahwa kehidupan kita akan berubah menjadi lebih baik jika kita sendiri berpikir untuk maju dan keluar dari kesulitan yang menghimpit. Bahkan ada orangtua yang meskipun sulit, mereka tetap berusaha mati-matian untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Semata agar anak-anak mereka tak mengalami kehidupan sekelam yang mereka jalani. Mereka ingin melihat anak-anaknya menjadi manusia yang berhasil. Mereka rela menahan bunyi perut yang menyiksa dengan rasa perih saat lapar menggigit. Hanya untuk mengirit pengeluaran demi mengumpulkan uang untuk pendidikan sang anak. Dalam diam, mereka berdoa penuh harap demi kecerahan masa depan anaknya. Mereka bangga dan bahagia hanya saat anak-anaknya telah berhasil setelah jerih payah dan keringat yang mereka peras selama ini.
Aku ingat nasihat ibuku sewaktu aku masih di bangku Sekolah Dasar, "Kalau tidak sekolah, kita hanya akan dijadikan sampah masyarakat. Hanya akan dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai manusia tak berguna. Kelak, sekolahlah yang tinggi."

Ucapan ibu yang masih terus mengapung di pikiranku. Aku masih menyimpannya hingga saat ini, kelak akan kupenuhi keinginannya. Aamiin, insha Allah. So, sekolah tinggi atau menikah dini sebenarnya ada di pilihan kita masing-masing. Kesadaran harus ditumbuhkan dari diri masing-masing. Allah menciptakan kesulitan sebab selalu ada jalan keluar bagi mereka yang berusaha dan yakin. Seperti halnya surah yang termaktub di atas, bukankah Allah sudah menjamin? Keragu-raguan dan rasa takut untuk mencoba hanya akan menghalang-halangi langkahmu dalam meraih cita-cita. Jangan pernah menyerah dengan kesulitan hidup yang saat ini mengungkung hidupmu. Sebab selalu ada kemudahan bersama kesulitan.  Siapapun dan di manapun, percayalah bahwa nasib ibarat sebuah kapal dengan kita sendirilah yang berperan sebagai nahkodanya. Jika kita pintar berlayar dan mengendalikan kapal yang kita kemudikan, maka sekuat apapun ombak dan badai yang menerjang di laut, akan dapat kita lewati dengan selamat. Pun sebaliknya, meski laut tenang tanpa ombak tetapi kita tak tahu bagaimana cara mengemudikan kapal, tidak mustahil kita akan tersesat, tenggelam di lautan dalam, atau terluntang-lantung di lautan luas tanpa tahu ke mana kapal akan kita arahkan untuk bisa menepi di sebuah pulau.

"Bukankah kesulitan datang bersama solusinya, sehingga tak ada alasan untuk berhenti dan kehilangan cita-cita. Kekuatan besar memang terletak pada mereka yang berhasil terhindar dari kesulitan, keterpurukan, dan kehancuran. Akan tetapi, kekuatan yang lebih besar justru terletak pada mereka yang bisa bangkit dari keterpurukan dan kesulitan.

Sahabat, sengaja kubuat postingan ini di blog agar dapat bermanfaat untuk teman-teman semua. Jika salah, mohon diluruskan. Semoga mengukuhkan keyakinan yang ada pada diri kita masing-masing untuk tak menyerah pada kesulitan hidup yang selalu ada dan menghimpit. Selamat malam dan salam pena sejiwa. :)

@Copyright_By_BianglalaHijrah
Magelang, 27 April.

4 Komentar

  1. kondisi lingkungan sekitar, kebiasaan yg tercipta di lingkungan sekitar mau tidak mau akan diadopsi oleh sebagian mereka yang berpikir statis dan tidak mau berpikir di luar lingkungan yang biasa mereka hadapi. mungkin itu lah yang menjadikan pikiran beberapa orang tua terlalu sempit. :) #IMHO

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuupp, kurangnya pengalaman juga tingkat pengetahuan seseorang sedikit banyak akan mempengaruhi pola pikir dan cara ia memandang sesuatu. Ia hanya tahu hitam dan putih. :)

      Hapus
  2. Kalau dari sudut pandang ini gmn " justru dg menikah dan mempunyai pasangan, smua mimpi dan cita cita akan lebih mudah terwujud .. karena ada yg saling mengingatkan ( janji rasulullah saw : gapailah smua rizkimu dg menikah )

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, benar. Tetapi menikahlah jika kamu benar-benar merasa siap dan mampu. Di atas lebih membahas tentang pernikahan dini yang harus dialami para remaja di bawah umur hanya karena suatu hal yang dijadikan sebagai pemicu pernikahan dini tersebut. Bukan tentang seorang dewasa yang memang harusnya menikah untuk memperoleh sudut pandang yang Antum jelaskan di atas :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)